As-Sunnah
berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula
dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur’an dan dalil
penguat yang datang dari Rasulullah.
berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan
larangan. Ada perintah shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang
menyekutukan Allah I, menyakiti kedua orang tua serta banyak lagi yang lainnya.
Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal (global) dalam Al-Qur’an, atau memberikan taqyid (batasan), atau memberikan takhshish (pengkhususan) dari ayat-ayat Al-Qur’an yang muthlaq dan ‘am (bersifat umum). Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur’an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur’an dengan firman-Nya.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. [An-Nahl : 44]
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. [An-Nahl : 44]
AS-SUNNAH MEN-TAKHSHISH AL-QUR’AN
Diantara contoh As-Sunnah men-takhshish Al-Qur’an adalah (firman Allah I):
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu,
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan”. [An-Nisaa : 11]
Ayat ini di-takhshish oleh As-Sunnah, (Rasul e bersabda) :
“Para
nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang
mereka tinggalkan adalah sebagai sadaqah. tidak boleh orang tua kafir
mewariskan kepada anak yang muslim atau sebalinya, dan pembunuh tidak
mewariskan apa-apa.” [Hadits Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah]
AS-SUNNAH MEN-TAQYID KEMUTLAKAN AL-QUR’AN
(Allah I berfirman : )
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya..” [Al-Maidah : 38].
Ayat
ini tidak menjelaskan sampai dimanakah batas tangan yang akan di
potong. Maka dari As-Sunnahlah di dapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan. (Subulus Salam, Syarah Bulughul Maram, 4 : 53-55, Imam Ash-Shan’ani)
AS-SUNNAH SEBAGAI BAYAN (PENJELAS) DARI MUJMAL AL-QUR’AN
Menjelaskan tentang cara shalat Nabi, Rasulullah bersabda : “Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.” [Hadits Riwayat Bukhari]
Menjelaskan tentang cara haji Nabi, Rasulullah bersabda : “Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu.” [Hadits Riwayat Muslim]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah karena masih mujmal (bersifat umum).
Terkadang
As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum-hukum yang tidak terdapat di
dalam Al-Qur’an. Diantara (contoh) hukum-hukum itu ialah tentang
haramnya keledai negeri, binatang buas yang mempunyai taring, burung
yang mempunyai kuku tajam, juga tentang haramnya mengenakan kain sutera
dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam
hadits-hadits yang shahih. Dengan demikian tidak mungkin terjadi
kontradiksi antara Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Apa-apa yang telah disunahkan Rasulullah yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah I juga. Sebagaimana Allah I mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya :
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus,
(Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allahlah kembali semua
urusan.” [Asy-Syuura : 52-53]
Rasulullah
telah menerangkan hukum yang terdapat dalam Kitabullah, dan beliau
menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam
Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah I mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah I menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang demikian itu tidak boleh seorang mahluk pun melakukannya.
Dan Allah I tidak memberikan kelonggaran kepada siapapun untuk tidak mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah. [Ar-Risalah hal. 88-89]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur’an, maka hal itu merupakan tasyri’ (syari’at) dari Nabi
yang wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya.
Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu
sebagai perwujudan pelaksanaan perintah Allah I supaya kita mentaati Rasul-Nya e. Seandainya Rasulullah tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah I
tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap
apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur’an dan terhadap apa-apa yang beliau
tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an. Allah I berfirman :
Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah.” [An-Nisaa : 80]”
Jadi ringkasnya hubungan Al-Qur’an dengan As-Sunnah adalah sebagai berikut :
· Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an.
· Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal (global) di dalam Al-Qur’an.
· Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari'at Islam oleh Yazid Abdul Qadir Jawas, hal 52-55 terbitan Pustaka Al-Kautsar]
KEBUTUHAN AL-QUR’AN TERHADAP AS-SUNNAH
Diriwayatkan dari Makhul, ia berkata : “Al-Qur’an lebih membutuhkan As-Sunnah daripada As-Sunnah membutuhkan Al-Qur’an.“, [diriwayatkan oleh Said bin Mansur] Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Katsir, ia berkata : “As-Sunnah memutuskan (menetapkan) Al-Qur’an dan tidaklah Al-Qur’an memutuskan (menetapkan) As-Sunnah.” [diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan Said bin Manshur]
Imam Al-Baihaqi berkata : “Maksud
dari ungkapan di atas, bahwa kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
adalah sebagai yang menerangkan sesuatu yang datang dari Allah I, sebagaimana firman Allah I :“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” [An-Nahl : 44] Bukan berarti bahwa sesuatu dari As-Sunnah bertentangan dengan Al-Qur’an.”
Saya (penulis, yakni Al-Imam Al-Hafizh As-Suyuthi) mengatakan:
Kesimpulan
bahwa maksud Al-Qur’an membutuhkan As-Sunnah adalah bahwa As-Sunnah
menerangkan Al-Qur’an, As-Sunnah merinci segala ungkapan yang bersifat
umum dalam Al-Qur’an, karena ungkapan dalam Al-Qur’an adalah ringkas dan
padat
hingga
dibutuhkan seseorang yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi dalam
Al-Qur’an untuk diketahui dan yang mengetahui hal itu tidak lain
hanyalah manusia yang diturunkan kepadanya Al-Qur’an yaitu Muhammad e.
Inilah yang dimaksud dari ungkapan bahwa As-Sunnah memutuskan
(menetapkan) Al-Qur’an, dan Al-Qur’an diturunkan bukan untuk menerangkan
As-Sunnah dan bukan untuk memutuskan (menetapkan) As-Sunnah, karena
As-Sunnah sudah jelas dengan sendirinya, karena As-Sunnah belum sampai
pada derajat Al-Qur’an dalam hal keringkasan dan dalam hal keajaibannya,
karena As-Sunnah merupakan penjelasan Al-Qur’an, dan sesuatu yang
menerangkan harus lebih jelas, lebih terang dan lebih mudah daripada
yang diterangkan. Wallahu a’lam.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Hisyam bin Yahya Al-Makhzumy, bahwa seorang laki-laki dari Tsaqif datang kepada Umar bin Khaththab t, ia bertanya kepadanya tentang seorang wanita haidh yang mengunjungi Ka’bah, apakah wanita itu boleh pergi sebelum bersuci?, maka Umar berkata : “Tidak.” lalu laki-laki dari Tsaqif itu berkata kepada Umar : “Rasulullah telah memberi fatwa kepadaku dalam hal wanita seperti ini dengan fatwa yang tidak seperti apa yang telah engkau fatwakan.”, maka Umar memukul laki-laki itu dan berkata : “Mengapa engaku meminta fatwa dariku pada sesuatu yang telah difatwakan Rasulullah“.
Diriwayatkan dari Ibnu Khuzaimah, ia berkata : “Tidak boleh seorang berpendapat dengan pendapatnya jika terdapat kabar yang shahih dari Rasulullah tentang hal tersebut.”
Diriwayatkan dari Yahya bin Adam, ia berkata :”Tidaklah dibutuhkan pendapat manusia pada suatu masalah jika terdapat sabda Nabi tentang masalah itu, dan hendaklah dikatakan bahwa itu adalah Sunnah Nabi, Abu Bakar dan Umar, agar diketahui bahwa Nabi wafat dengan ketetapan seperti demikian.”
Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata : “Pendapat setiap orang boleh diambil dan juga boleh ditinggalkan kecuali pendapat (ucapan) Nabi.”
[Disalin dari buku Mifthul Jannah fii Al-Ihtijaj bi As-Sunnah, edisi Indonesia KUNCI SURGA Menjadikan Sunnah Rasulullah Sebagai Hujjah, oleh Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi terbitan Darul Haq, hal 94-96, penerjemah Amir Hamzah Fachruddin]
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama