Oleh : Dr. Yusuf Qardhawi
Kaum muslim pada zaman dulu telah bersikap sangat ketat dengan alasan "membendung pintu
fitnah" (saddudz dzari'fah ila
al-fitnah), lalu mereka mengharamkan wanita pergi ke masjid. Dengan demikian, mereka telah
menghalangi kaum wanita untuk
mendapatkan kebaikan yang banyak, sedangkan
ayah atau suaminya belum tentu dapat menggantikan apa-apa yang seharusnya mereka dapatkan dari masjid,
seperti ilmu yang bermanfaat atau
nasihat-nasihat yang dapat menyadarkannya. Sebagai akibatnya, banyak wanita muslimah yang hanya hidup bersenang-senang dengan
tidak pernah sekali pun ruku kepada
Allah. Padahal Rasulullah saw. dengan tegas
mengatakan:
"Janganlah kamu larang hamba-hamba perempuan Allah datang ke masjid-masjid Allah." (HR Muslim)
Secara berkala terjadilah diskusi-diskusi di kalangan kaum muslim seputar masalah kegiatan belajar kaum
wanita dan kepergiannya ke sekolah atau
kampus. Yang menjadi hujjah golongan
yang melarangnya ialah saddudz dzari'ah. Sementara itu, kenyataan menunjukkan
bahwa wanita yang berpendidikan lebih
mampu membuat keterampilan dan berbagai kesibukan tulis-menulis atau
surat-menyurat. Akhirnya, diskusi itu
berkesudahan dengan keputusan bahwa kaum wanita boleh mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk
dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya,
baik mengenai ilmu agama maupun ilmu
dunia, dan kondisi inilah yang dominan di semua
negara Islam tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, kecuali hal-hal yang menyimpang dari adab dan
hukum Islam.
Cukuplah bagi kita hukum-hukum dan adab-adab yang telah ditetapkan oleh syara' untuk menutup pintu
kerusakan dan fitnah. Seperti kewajiban
mengenakan pakaian menurut aturan syara', tidak boleh bertabarruj (membuka aurat), haramnya berduaan antara laki-laki dan perempuan, wajib bersikap serius dan sopan dalam berbicara, berjalan, dan beraktivitas, serta wajib menahan pandangan
terhadap lawan jenis. Kiranya hal ini sudah cukup bagi kita sehingga tidak
perlu lagi kita memikirkan larangan-larangan lain dari kita sendiri.
H. Diantara dalil mereka lagi: 'urf
(kebiasaan) yang berlaku di kalangan kaum
muslim selama beberapa abad, bahwa kaum wanita menutup wajahnya dengan selubung
muka, cadar, dan sebagainya.
Sebagian ulama berkata: "'Urf didalam syara' mempunyai penilaian, karena itu diatasnya hukum
ditegakkan."
Selain itu, Imam Nawawi dan lainnya telah meriwayatkan dari Imam al-Haramain - dalam berdalil tentang
tidak bolehnya wanita memandang
laki-laki - bahwa kaum muslim telah sepakat melarang wanita keluar rumah dengan wajah
terbuka.
Akan tetapi, saya tolak alasan dan anggapan ini dengan beberapa alasan
sebagai berikut:
1.Bahwa 'urf ini bertentangan dengan 'urf yang
berlaku pada zaman Nabi, zaman sahabat,
dan pada zaman generasi terbaik, yaitu
generasi yang mengikuti jejak langkah para sahabat (yakni tabi'in).
2.Bahwa 'urf itu bukan 'urf umum, bahkan 'urf
itu berlaku di suatu negara tetapi tidak
berlaku di desa-desa dan
kampung-kampung, sebagaimana yang sudah dimaklumi.
3.Bahwa perbuatan Nabi al-Ma'shum saw. tidak
menunjukkan hukum wajib, tetapi hanya
menunjukkan kebolehan dan pensyariatan
sebagaimana ditetapkan dalam ushul, maka
bagaimana lagi dengan perbuatan orang lain?
Karena itu, 'urf atau kebiasaan ini - meskipun kita terima sebagai 'urf
umum sekalipun - tidak lebih hanya menunjukkan bahwa mereka menganggap bagus
memakai cadar itu, sebagai sikap kehati-hatian mereka, dan tidak menunjukkan
bahwa mereka mewajibkan cadar sebagai
ketentuan agama.
4.'Urf ini bertentangan dengan 'urf atau
kebiasaan yang terjadi sekarang, sesuai
dengan tuntutan kebutuhan dan
perkembangan zaman, tuntutan kebutuhan hidup, tata kehidupan masyarakat, dan perubahan kondisi kaum
wanita dari kebodohan kepada keilmuan (berpengetahuan), dari kebekuan kepada pergerakan, dan dari cuma duduk di dalam
rumah menuju ke aktivitas dalam berbagai
lapangan yang bermacam-macam.
Sedangkan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf atau kebiasaan di suatu tempat dan pada suatu
waktu, ia akan berubah sesuai dengan
perubahannya.
SYUBHAT TERAKHIR
Akhirnya saya kemukakan juga di
sini suatu syubhat
yang ditimbulkan oleh sebagian orang yang peduli terhadap agama yang ingin
mempersempit ruang kebebasan
wanita, yang ringkasnya sebagai
berikut:
"'Kami menerima
argumentasi yang Anda
kemukakan tentang disyariatkan (diperbolehkan)-nya wanita
membuka wajahnya, sebagaimana kami
juga menerima bahwa
kaum wanita pada periode pertama - masa Nabi dan Khulafa
ar-Rasyidin - tidak
memakai cadar
melainkan pada keadaan
tertentu saja yang
sedikit jumlahnya.
Tetapi kita harus mengerti bahwa
zaman itu merupakan zaman yang
ideal, akhlaknya bersih,
rohaniahnya tinggi, wanita aman
membuka wajahnya tanpa
ada seorang pun
yang mengganggunya. Berbeda dengan
zaman kita dimana kerusakan sudah
merajalela, dekadensi moral
terjadi dimana-mana, fitnah menimpa
manusia dimana-mana, maka
tidak ada yang lebih utama bagi wanita daripada menutup wajahnya, sehingga tidak menjadi mangsa
serigala-serigala lapar yang senantiasa mengintainya di setiap penjuru."
Terhadap syubhat ini dapat saya kemukakan
jawaban sebagai berikut:
PERTAMA: bahwa meskipun periode awal merupakan periode
yang ideal, yang tidak ada tandingannya dalam hal kesucian akhlak dan ketinggian
rohaninya, tetapi mereka
masih termasuk periode manusia
juga, yang didalamnya ada kelemahan,
hawa nafsu, dan kesalahan. Karena
itu di antara mereka ada orang yang berbuat zina, ada yang dijatuhi hukuman
had, ada
yang melakukan
tindakan-tindakan yang masih
dibawah zina, ada
orang-orang yang durhaka, dan ada
pula orang-orang gila dan sinting
yang suka mengganggu kaum wanita dengan melakukan ulah-ulah
yang menyimpang. Dan telah turun ayat (dalam surat al-Ahzab) yang
menyuruh wanita-wanita beriman
mengulurkan jilbab ke tubuh mereka agar
mereka dapat dikenal
sebagai wanita-wanita
merdeka yang sopan
dan menjaga diri hingga tidak diganggu:
"... Yang demikian itu
supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu
..." (Al-Ahzab:59)
Selain itu, telah turun
pula beberapa ayat
dalam surat al-Ahzab yang mengancam kaum durhaka dan
"sinting" itu jika mereka tidak mau meninggalkan perbuatan
mereka yang hina itu. Allah berfirman:
"Sesungguhnya jika
tidak berhenti orang-orang
munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, d n orang- orang yang
menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya kami
perintahkan kamu (untuk
memerangi) mereka kemudian mereka
tidak menjadi tetanggamu
(di Madinah) melainkan dalam
waktu yang sebentar,
dialam keadaan terlaknat. Dimana
saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan
sehebat-hebatnya." (al-Ahzab: 60-61)
KEDUA: bahwa dalil-dalil syariah
- apabila telah
sah dan jelas-bersifat umum
dan abadi. Ia bukan dalil untuk satu atau dua periode
saja, kemudian berhenti dan tidak dijadikan
dalil lagi.
Sebab, jika demikian, maka syariat itu hanya bersifat
temporal, tidak abadi, dan hal
ini bertentangan dengan
predikatnya sebagai syariat terakhir.
KETIGA: kalau
kita buka pintu
ini, maka kita bisa saja menasakh (menghapus)
syariat dengan pikiran
kita, orang-orang yang ketat
dapat saja menasakh hukum-hukum yang
mudah dan ringan dengan alasan
wara' dan hati-hati,
dan orang-orang yang longgar
dapat menasakh hukum-hukum yang telah
baku dengan alasan perkembangan zaman dan sebagainya.
Yang benar, bahwa syariat adalah
yang menghukumi bukan yang dihukumi, yang diikuti bukan yang mengikuti, dan kita
wajib tunduk kepada hukum syariat, bukan hukum syariat yang tunduk kepada
peraturan kita:
"Andaikata kebenaran
itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan
bumi ini, dan
semua yang ada di
dalamnya ..." (al-Mu'minun: 71 )
BEBERAPA PERNYATAAN YANG MENGUATKAN PENDAPAT JUMHUR
Saya
percaya bahwa persoalan ini telah begitu jelas setelah saya kemukakan
argumentasi kedua belah pihak, dan
semakin jelas bagi kita
bahwa pendapat jumhurlah yang lebih rajih (kuat) dalilnya, lebih mantap
pendapatnya, dan lebih lempang jalannya.
Namun demikian, perlu kiranya saya
tambahkan disini beberapa pernyataan yang menambah kuatnya pendapat jumhur,
dan dapat melegakan hati
setiap muslimah yang
taat dan mengikuti pendapat ini
tanpa merasa kesulitan, insya Allah.
PERTAMA: Tidak Ada Penugasan dan
Pengharaman Kecuali dengan Nash yang
Sahih dan Sharih
Bahwa pada dasarnya manusia itu
terbebas dari tanggungan dan taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif
kecuali dengan nash
yang pasti. Karena
itu, masalah mewajibkan
dan mengharamkan dalam ad-Din itu merupakan suatu
urusan yang serius, bukan
urusan sembarangan, sehingga
kita tidak mewajibkan kepada manusia apa yang
tidak diwajibkan oleh Allah,
atau kita mengharamkan
kepada mereka apa
yang dihalalkan oleh Allah,
atau kita membuat
syariat atau peraturan dalam ad-Din
yang tidak diizinkan oleh Allah.
Karena itu, para imam salaf dahulu
sangat berhati-hati dalam mengucapkan kata haram kecuali terhadap sesuatu yang
sudah diketahui
pengharamannya secara pasti
sebagaimana yang dikemukakan Imam
Ibnu Taimiyah dan saya sebutkan dalam kitab
saya al-Halal wal-Haram fil-Islam.
Disamping itu,
pada asalnya segala
sesuatu dan segala tindakan yang merupakan adat
kebiasaan adalah mubah. Maka apabila tidak
didapati nash yang
shahih tsubut (periwayatannya) dan
sharih (jelas) petunjuknya
yang menunjukkan
keharamannya, tetaplah hal
itu pada asal kebolehannya. Dan
orang yang memperbolehkannya tidak dituntut dalil, karena apa yang ada
menurut hukum asal tidak perlu ditanyakan 'illat-nya,
justru yang dituntut
agar mengemukakan dalil ialah orang yang mengharamkan.26
Sedangkan mengenai
masalah membuka wajah dan tangan
tidak saya jumpai nash yang sahih dan sharih
yang menunjukkan keharamannya. Andaikata Allah hendak mengharamkannya niscaya sudah
diharamkan-Nya dengan nash yang jelas dan qath'i yang
tidak meragukan, karena Dia telah
berfirman:
"... sesunguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya..."
(al-An'am: 119)
Sedangkan dari apa-apa yang telah dijelaskan-Nya tidak
kita dapati masalah haramnya membuka wajah
dan telapak tangan. Maka
tidak perlulah kita
mempersukar apa yang
telah dimudahkan Allah, sehingga kita
tidak tergolong ke
dalam kaum yang disinyalir oleh
Allah karena mengharamkan makanan yang halal:
"... Katakanlah:
'Apakah Allah telah
memberikan izin kepadamu (tentang
ini) atau kamu
mengada-adakan saja terhadap
Allah?'" (Yunus: 59)
KEDUA:Perubahan Fatwa karena
Perubahan Zaman
Diantara ketetapan yang tidak
diperselisihkan lagi ialah bahwa
fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, adat
kebiasaan, serta situasi dan kondisi.
Saya percaya bahwa zaman kita yang
telah memberikan sesuatu kepada kaum
wanita ini telah
menjadikan kita menerima pendapat-pendapat yang mudah, yang
menguatkan posisi dan kepribadian kaum wanita.
Sungguh, musuh-musuh Islam baik dari kalangan
misionaris, Marxis, orientalis, atau lainnya, telah mengekspos kondisi buruk
kaum di beberapa negara Islam, dan menyandarkannya kepada Islam
itu sendiri. Mereka juga berusaha menjelek-jelekkan hukum-hukum syariat
Islam beserta ajarannya mengenai wanita, dan digambarkannya dengan gambaran yang
tidak cocok dengan hakikat yang
dibawa oleh Islam.
Karena itu saya
melihat bahwa keunggulan
pendapat dari sebagian orang pada zaman kita sekarang ialah pendapat
yang menyadarkan kaum wanita dan peran serta
kaum wanita serta kemampuannya menunaikan hak-hak fitrahnya dan
hak-hak syar'iyahnya, sebagaimana yang
telah saya jelaskan
dalam kitab saya al-Ijtihad fi asy-Syari'ati Islamiyyah.
Lanjutan : Apakah Memakai Cadar Itu Wajib ? ( Bag. 06 ) Habis
Sebelum : Apakah Memakai Cadar Itu Wajib ? ( Bag. 04 )
______________________________________________________________________________________
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84
Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama