Apakah Memakai Cadar Itu Wajib ? ( Bag. 01 )

oleh : Dr. Yusuf Qardhawi  

PERTANYAAN

Saya telah membaca tulisan Ustadz yang membela cadar dan menyangkal pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa cadar itu bid'ah, tradisi luar yang masuk ke dalam masyarakat Islam,dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Ustadz juga menjelaskan bahwa pendapat yang mewajibkan cadar bagi wanita itu terdapat dalam fiqih Islam. Anda bersikap moderat terhadap  persoalan cadar dan wanita-wanita bercadar, meskipun kami tahu Anda tidak mewajibkan cadar.

Sekarang kami mengharap kepada Anda - sebagaimana Anda telah bersikap moderat mengenai wanita bercadar ini dari wanita yang suka buka-bukaan, yang suka membuka aurat - agar Anda bersikap moderat terhadap kami yang berjilbab (tetapi tidak bercadar) dan saudara-saudara kami yang bercadar, termasuk terhadap kawan-kawan mereka yang selalu menyerukan cadar. Mereka yang dari waktu ke  waktu tidak  henti-hentinya menjelek-jelekkan kami, karena  kami  tidak menutup  wajah. Mereka beranggapan bahwa yang demikian itu mengundang fitnah karena wajah merupakan pusat keindahan (kecantikan). Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa kami telah menentang Al-Qur'an dan As-Sunnah serta  petunjuk  salaf karena kami membiarkan wajah terbuka.

Kadang-kadang celaan ini dialamatkan kepada Anda sendiri, karena Anda membela hijab (jilbab) dan tidak membela cadar. Demikian pula yang di alamatkan kepada Fadhilah asy-Syekh Muhammad al-Ghazali. Beberapa ulama mengemukakan  sanggahan terhadap beliau melalui beberapa surat kabar di negara-negara Teluk.

Kami harap Anda tidak menyuruh kami untuk membaca kembali tulisan Anda  dalam kitab al-Halal wal-Haram fil-lslam dan kitab Fatawi Mu'ashirah meskipun dalam kedua kitab tersebut sudah terdapat keterangan yang memadai. Namun, kami masih menginginkan tambahan penjelasan lagi untuk memantapkan hujjah,  menerangi jalan, menghilangkan udzur,menghapuskan keraguan dengan keyakinan, serta untuk menghentikan polemikdan perdebatan yang terus berlangsung mengenai masalah ini.

Semoga Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan tulisan Anda.

JAWABAN

Tidak ada alasan bagi saya untuk diam dan merasa cukup dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya.

Saya tahu bahwa perdebatan mengenai masalah-masalah khilafiyah itu tidak akan selesai dengan adanya makalah-makalah dan tulisan-tulisan lepas, bahkan dalam bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun.

Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu masih ada, maka ikhtilaf (perbedaan  pendapat) itu akan senantiasa adadiantara manusia, meskipun mereka sama-sama muslim, patuh pada agamanya, dan ikhlas.

Bahkan kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama menyebabkan   perbedaan pendapat itu semakin tajam. Masing-masing pihak ingin mengunggulkan dan memberlakukan pendapat yang diyakininya benar sebagai ajaran agama yang akan diperhitungkan dengan mendapatkan  pahala (bagi yang melaksanakannya)  atau  mendapatkan   hukuman   (bagi   yang melanggarnya).

Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama nash-nashnya sendiri - yang merupakan sumber penggalian hukum - masih menerima kemungkinan perbedaan pendapat tentang periwayatan dan petunjuknya, selama pemahaman dan kemampuan manusia untuk mengistimbath (menggali dan mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang masih ada kemungkinan untuk mengambil  zhahir   nash   atau kandungannya,  yang  tersurat  atau  yang tersirat, yang rukhshah  (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.

Perbedaan pendapat akan  senantiasa  muncul  selama  manusia masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang bersikap longgar seperti Ibnu  Abbas;  dan  selama  diantara mereka  masih  ada  orang yang  menunaikan  shalat ashar di tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya  melahnkan  di perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana).

Adalah  merupakan  rahmat  Allah  bahwa  perbedaan  pendapat seperti ini tidak terlarang dan bukan perbuatan  dosa,  dan orang  yang  keliru  dalam  berijtihad  ini dimaafkan bahkan mendapat pahala satu. Bahkan  ada  orang  yang  mengatakan, "Tidak  ada  yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini, semuanya benar."

Para sahabat dan orang-orang yang  mengikuti  mereka  dengan baik  juga  sering  berbeda pendapat antara yang satu dengan yang lain  mengenai  masalah-masalah  furu'  (cabang)  dalam agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya. Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.

Dengan   menyadari   bahwa   perbedaan   pendapat  itu  akan senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan saya   akan  mengulangi  tema  tersebut  dengan  menambahkan penjelasan. Mudah-mudahan Allah memberi taufik  kepada  saya hingga  mampu mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat memutuskan  perselisihan  atau  -   minimal   -   mengurangi ketajamannya,  yang  melunakkan kekerasannya  sehingga hati wanita yang berhijab (tetapi tidak bercadar)  merasa  riang dan memudahkan urusan bagi yang mengumandangkan cadar (untuk memakainya).

MEMPERLIHATKAN MUKA DAN TANGAN MENURUT PENDAPAT JUMHUR ULAMA

Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang sebenarnya  sudah  tidak perlu penegasan, karena di kalangan ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah masyhur  dan  tidak asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang tidak wajibnya memakai cadar serta  bolehnya  membuka  wajah dan  kedua  telapak  tangan  bagi  wanita  muslimah di depan laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah  pendapat  jumhur fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a..

Karena  itu  tidak  perlu  dipertengkarkan, sebagaimana yang ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi  tidak  berilmu dan  oleh  sebagian  pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat terhadap pendapat  yang  dikemukakan sdorang da'i kondang Syekh Muhammad al-Ghazali dalam beberapa   buku  dan makalahnya. Mereka beranggapan  seakan-akan  beliau  membawa bid'ah atau  pendapat  baru,  padahal  sebenarnya  apa yang beliau  kemukakan  itu  merupakan pendapat  imam-imam  yang mu'tabar  dan  fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya jelaskan kemudian. Selain itu,  apa  yang  beliau  kemukakan merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar, disandarkan pada penalaran dan i'tibar,  dan  didukung  pula oleh realitas dalam beberapa zaman.

MAZHAB HANAFI

Dalam  kitab  al-Ikhtiyar,  salah  satu kitab Mazhab Hanafi, disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain  kecuali wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul syahwat. Dan diriwayatkan  dari Abu  Hanifah  bahwa  beliau menambahkan  dengan  kaki, karena pada yang demikian itu ada kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal wajahnya   ketika   bermuamalah  dengan  orang  lain, untuk menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena  tidak  adanya orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.

Beliau  berkata:  Sebagai  dasarnya ialah firman Allah, "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali  apa  yang biasa tamp`k daripadanya." (an-Nur: 31 )

Para  sahabat  pada  umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud ayat  tersebut  ialah  celak dan  cincin, yaitu  tempatnya (bagian  tubuh  yang  ditempati  celak  dan cincin). Hal ini sebagaimana telah saya jelaskan bahwa  celak,  cincin,  dan macam-macam  perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat maupun orang  lain. Maka yang  dimaksud  disini   ialah   'tempat perhiasan itu,' dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan mudhaf ilaih pada tempatnya.

Beliau berkata, adapun  kaki,  maka  diriwayatkan  bahwa  ia bukanlah  aurat  secara mutlak, karena bagian ini diperlukan untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan timbulnya  syahwat  karena melihat muka dan tangan itu lebih besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.

Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah  aurat  untuk dipandang, bukan untuk shalat.1

MAZHAB MALIKI

Dalam  syarah  shaghir  (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:

"Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing, yakni yang bukan mahramnya,  ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat."

Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya, katanya,  "Maksudnya, boleh melihatnya, baik bagian luar maupun bagian dalam (tangan   itu), tanpa maksud berlezat-lezat dan merasakannya, dan jika tidak demikian maka hukumnya haram."

Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib menutup wajah dan kedua  tangannya?" Itulah pendapat Ibnu Marzuq yang mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.

Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan tangannya hanya si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh.

Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah antara wanita yang cantik  dan yang tidak, yang cantik wajib menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2

MAZHAB SYAFI'I

Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab al-Muhadzdzab mengatakan:

"Adapun  wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan - Imam Nawawi berkata: hingga pergelangan tangan - berdasarkan firman Allah 'Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali  apa  yang biasa tampak daripadanya.' Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan kedua telapak tangannya.'3








Lanjutan : Apakah Memakai Cadar Itu Wajib ? ( Bag. 02 )


---------------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II Nn. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

Share on Google Plus

About Admin

Khazanahislamku.blogspot.com adalah situs yang menyebarkan pengetahuan dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikutnya.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment


Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com

Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama