Dalam
praktek shalat, sebagian kaum muslimin ada yang meletakkan tangan
dahulu sebelum lutut pada saat akan sujud dan ada yang sebaliknya lutut
dahulu kemudian tangan. Jelaskan mana yang benar dalam masalah ini !.
Sebelum
menguraikan perbedaan pendapat para ulama dan dalil setiap pendapat
dalam masalah ini, terlebih dahulu kami akan detailkan letak perbedaan
pendapat para ulama tersebut guna memahami masalah ini dengan baik dan
benar.
Mendetailkan
letak perbedaan pendapat termasuk perkara yang penting. Dan
menelantarkan hal tersebut akan menimbulkan beberapa dampak yang
negatif, diantaranya :
-Penggambaran masalah tidak di atas hakikat sebenarnya.
-Timbulnya ketimpangan dalam penerapan masalah.
-Lahirnya masalah-masalah lain yang membuat permasalahan tersebut semakin rumit dan bertele-tele.
-Bisa
mengantar ke jalur berlebihan dalam masalah agama, padahal sikap
berlebihan tersebut merupakan perkara yang tercela dalam syari’at Islam
yang penuh dengan kemudahan ini.
Letak Perbedaan Pendapat Dalam Masalah
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa 22\449 : “Adapun
sholat dengan keduanya (yaitu dengan meletakkan lutut sebelum tangan
atau meletakkan tangan sebelum lutut-pent.) adalah boleh menurut
kesepakatan para ‘ulama. Bila orang yang sholat menginginkan, (boleh) ia
meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan bila ia
menginginkan, (boleh) ia meletakkan kedua tangannya kemudian kedua
lututnya dan sholatnya shohihah (sah/benar) pada dua keadaan (tersebut)
menurut kesepakatan para ‘ulama. Tapi (para ‘ulama) berselisih tentang
(mana) yang lebih afdhol”.
Dari uraian Ibnu Taimiyah di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
-Para
ulama sepakat bahwa siapa yang sholat, baik ia meletakkan tangan dahulu
kemudian lutut ketika akan sujud atau ia mendahulukan lutut lalu
tangannya, maka shalatnya adalah sah dan benar.
-Para
ulama sepakat bahwa meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau
sebaliknya, keduanya adalah perkara yang boleh dilakukan dalam shalat.
-Letak
perbedaan pendapat para ulama hanyalah pada yang mana lebih afdhol
(utama) antara meletakkan tangan dahulu lalu lutut dan mendahulukan
lutut kemudian tangan.
Uraian Pendapat Para Ulama
Tentang
mana lebih afdhol antara meletakkan tangan dahulu lalu lutut atau
mendahulukan lutut kemudian tangan, ada tiga pendapat dikalangan para
‘ulama :
Pendapat pertama : Tangan dahulu kemudian lutut.
Ini pendapat Imam Al-Auza’iy dan salah satu riwayat dari Imam Malik dan
Imam Ahmad. Bahkan Ibnu Hazm berlebihan dalam menguatkan pendapat ini
sehingga beliau menganggap bahwa meletakkan tangan sebelum lutut adalah
perkara yang wajib.
Pendapat kedua : Lutut dahulu kemudian tangan.
Ini pendapat Muslim bin Yasar, An-Nakh’iy, Sufyan Ats-Tsaury, Abu
Hanifah dan dua muridnya Muhammad dan Abu Yusuf, Asy-Syafi’iy, Ahmad,
Ishaq bin Rahawaih dan Ibnul Mundzir. Pendapat ini juga dihikayatkan
dari ‘Umar bin Khaththab dan anaknya ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma.
At-Tirmidzy dan Al-Khaththaby mengatakan bahwa ini adalah pendapat
kebanyakan para ‘ulama.
Pendapat ketiga : Boleh tangan dahulu kemudian lutut dan boleh lutut dahulu kemudian tangan. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Malik dan Ahmad.
Baca
: Al-Mughny 2/193, Al-Inshof 1/65, Al-Majmu’ 3/395, Syarah Ma’any
Al-Astar 1/254-256, Al-Muhalla 4/128, Al-Fatawa 22/449 dan Fathul Bary
2/291.
Dalil-dalil setiap pendapat dan pembahasannya
Dalil-dalil Pendapat Pertama
Ada dua hadits yang dijadikan dalil oleh orang menganut pendapat pertama ini :
Hadits pertama : Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا سَجَدَ أَحُدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian (hendak) sujud maka janganlah ia turun bersimpuh sebagaimana turun bersimpuhnya onta tapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya“.
Dikeluarkan oleh Ahmad 2/381, Al-Bukhary dalam At-Tarikh Al-Kabir 1/1/139, Abu Daud no 840, An-Nasa`i 2/207 dan dalam Al-Kubra no. 678, Ath-Thahawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/254, Ad-Daruquthny 1/344-345, Al-Baihaqy 2/99-100, Al-Hazimy dalam Al-I’tibar Fii An-Nasikh Wal Mansukh minal Atsar hal. 59-60, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.520-522, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 4/128-129 dan Al-Baghawy dalam Syarah As-Sunnah 3/134-135 semuanya dari jalan Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy dari Muhammad bin Hasan dari Abu Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah.
Dan
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud no 841, At-Tirmidzy no 628,
An-Nasa`i 2/207 dan dalam Al-Kubra no 677 dan Al-Baihaqy 2/100 semuanya
dari jalan Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasan dari
Abuz Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dengan lafazh :
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَبْرُكُ فِيْ صَلاَتِهِ كَمَا يَبْرُكُ الْجَمَلُ
“Apakah salah seorang dari kalian sengaja turun bersimpuh dalam sholatnya sebagaimana onta turun bersimpuh kebumi ?!”
Pembahasan
Dari keterangan Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam Zadul Ma’ad 1/225-231 dan dalam Tahdzib As-Sunan 3/399-400 terkumpul sepuluh sisi kelemahan hadits Abu Hurairah ini dari segi matan maupun sanad.
Tentu saja seluruh keterangan dari Ibnul Qoyyim tersebut tidak bisa
diterima secara mutlak karena banyak dari keterangan beliau tidak
dibangun diatas dasar yang kuat. Tapi secara global, pelemahan beliau
terhadap hadits Abu Hurairah ini sangat kuat dan sangat beralasan serta
sejalan dengan kaidah para ‘ulama Ahli Hadits.
Penjelasannya sebagai berikut :
Ibnul
Qoyyim menyebutkan bahwa hadits ini telah dicacatkan oleh tiga ulama
besar pakar Ilalul hadits (cacat-cacat hadits) yaitu Imam Al-Bukhary,
Imam At-Tirmidzy dan Imam Ad-Daruquthny.
Berkata Imam Al-Bukhary : “Muhammad bin Abdillah bin Hasan laa yutaba’u ‘alaihi (tidak ada mutaba’ah-nya/pendukung baginya)“. Dan beliau juga berkata : “Saya tidak tahu apakah ia (Muhammad bin Abdillah) mendengar dari Abuz-Zinad atau tidak“. Lihat At-Tarikh Al-Kabir 1/1/139.
Berkata Imam At-Tirmidzy : “Gharib kami tidak mengetahuinya dari hadits Abuz Zinad kecuali dari jalan ini (yaitu dari jalan Muhammad bin Abdillah-pent)“.
Berkata Ad-Daruquthny : “Abdul ‘Aziz Ad-Darawardy bersendirian dengannya dari Muhammad bin Abdillah bin Hasan Al-’Alawy dari Abuz Zinad“.
Dan berkata Imam Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/100 : “Bersendirian dengannya Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasan“.
Pelemahan hadits Abu Hurairah dan perkataan Imam At-Timidzy sangatlah jelas karena dua perkara .
Satu : Kalimat “Gharib” dalam penggunaan Imam At-Tirmidzy adalah bermakna lemah.
Dua : Perkataan beliau : “kami tidak mengetahuinya dari hadits Abu-Zinad kecuali dari jalan ini” merupakan alasan pelemahan beliau, karena para ulama Ahli Hadits sering melemahkan riwayat seorang rawi bila :
Ia bersendirian dalam suatu hadits atau potongan hadits dari seorang rawi yang mempunyai murid yang sangat banyak.
Hadits yang ia riwayatkan merupakan tumpuan/patokan dalam suatu masalah.
Dan
ternyata Abuz Zinad Abdullah bin Dzakwan adalah rawi yang mempunyai
banyak murid. Dan tidak seorangpun dari murid beliau yang meriwayatkan
hadits ini, seperti Imam Malik, Al-Laits bin Sa’ad, Sufyan Ats-Tsaury,
Ibnu ‘Uyainah, Al-A’masy, Syu’aib bin Abi Hamzah, ‘Ubaidillah bin ‘Umar
Al-’Umary dan lain-lainnya. Maka tentunya sangatlah aneh kalau Muhammad
bin ‘Abdillah bin Hasan bersendirian meriwayatkan hadits ini dari Abuz
Zinad sedangkan murid-murid seniornya yang jauh lebih kuat dari Muhammad
bin ‘Abdillah tidak meriwayatkannya. Ini makna pelemahan Imam
At-Tirmidzy disini dan serupa dengan perkataan Ad-Daruquthny dan
Al-Baihaqy di atas.
Kalau ada yang bertanya : “Bukankah
Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasan adalah rawi tsiqoh (terpercaya), maka
tidak apa-apa kalau ia bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini“.
Maka
jawabannya adalah tidak semua tafarrud (bersendiriannya) seorang rawi
di terima bahkan kadang-kadang ia tertolak dan tidak diterima dalam
beberapa keadaan yang dikenal di kalangan para ulama ahli ‘ilalul
hadits. Dan tafarrud Muhammad bin ‘Abdillah bin Hasan di sini termasuk
dari tafarrud yang tidak bisa diterima sebagaimana dalam uraian diatas.
Dan
untuk kejelasan bahwa tidak semua tafarrud diterima, perhatikan kaidah
yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-’Ilal jilid 1 hal. 463-464
no. 1392 berikut ini :
“Dikatakan kepada ayahku (Imam Abu Hatim pakar ‘ilalul hadits di zamannya-pent.) :
“Apakah
hadits Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam tentang sumpah bersama saksi, shohih ?”, maka beliaupun diam
sejenak kemudian berkata :
“Apakah kamu tidak melihat kepada perkataan Ad-Darawardy ?, -yaitu perkataan dia :
“Saya menyebutkan hadits ini kepada Suhail dan dia tidak mengenalnya”.- Maka saya berkata :
“Lupanya
Suhail tidaklah menolaknya (hadits ini -pent.) karena Robi’ah
menghikayatkannya darinya (Suhail) dan Robi’ah tsiqoh (terpercaya) dan
seseorang kadang menceritakan hadits kemudian dia lupa”. Maka (Abu
Hatim) berkata : “Betul, memang demikian, akan tetapi kami tidak melihat
ada mutabi’ (penguat) terhadap riwayatnya dan telah meriwayatkan dari
Suhail jama’ah yang sangat banyak (tapi) hadits ini tidak ada pada
seorangpun diantara dari mereka”. Saya berkata : “(Bukankah) dia
berpendapat akan diterimanya khabar (hadits) dari satu orang”. Beliau
berkata : “Benar, akan tetapi saya tidak mengetahui ada patokon yang
bisa saya anggap bagi hadits ini dari Abu Hurairah, dan ini adalah
patokan dari patokan-patokon yang tidak ada mutaba’ah bagi Robi’ah di
atasnya”.
Adapun perkataan Imam Al-Bukhary : “Laa
yutaba’u ‘alaihi”, ini adalah isyarat akan lemahnya riwayat Muhammad
bin ‘Abdillah. Dan juga perkataan beliau “Saya tidak tahu apakah ia
(Muhammad bin Abdillah) mendengar dari Abuz-Zinad atau tidak” adalah
suatu pensifatan yang menunjukkan sebab pelemahan tersebut walaupun
bukan bentuk pelemahan secara mutlak tapi Syeikh ‘Abdurrahman bin Yahya
Al-Mu’allimy rahimahullah dalam Muqaddimah Al-Fawa`id Al-Majmu’ah dalam
kaidah yang keempat menyebutkan bahwa kadang seorang Imam menganggap
mungkar suatu hadits yang zhohir sanadnya shohih walaupun kadang tidak
ditemukan didalamnya ‘Illat yang tercela maka mereka mencacatkannya
dengan ‘Illat yang tidak tercela. Wallahu A’lam.
Sebagai
kesimpulan bahwa hadits ini lemah karena dilemahkan oleh Imam
Al-Bukhary, Imam At-Tirmidzy, Ad-Daruquthny dan Ibnul Qoyyim dan
pelemahan ini juga dikuatkan oleh Syeikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muqbil
bin Hady Al-Wadi’iy rahimahullah.
Dan
jangan terkecoh dengan anggapan bahwa hadits ini shohih dari sebagian
‘ulama belakangan karena mereka hanya melihat zhohir sanad yang shohih.
Wallahu A’lam.
Hadits kedua : Hadits Ibnu Umar
أَنَّهُ
كَانَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَقَالَ كَانَ النَّبِيُّ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
“Sesungguhnya beliau (Ibnu Umar) meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya dan (Ibnu Umar) berkata : “Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengerjakan hal tersebut“.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhary secara Mu’allaq 2/290 –Al-Fath- dan disambung oleh Abu Daud sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 6/156-157, Ibnu Khuzaimah no. 627, Ath-Thohawy 1/254 Ad-Daraquthny 1/344, Al-Hakim 1/348, Al-Baihaqy 2/100 dan Al-Hazimy dalam Al-I’tibar hal. 59. Semuanya dari jalan Abdul ‘Azis bin Muhammad Ad-Darawardy dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar.
Pembahasan
Zhahir hadits ini nampak baik, karena itu sebagian ‘ulama menshohihkannya. Tapi yang benar hadits ini adalah hadits yang mungkar, berikut penjelasannya :
Berkata Abu Daud sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 6/57 : “‘Abdul ‘Azis meriwayatkan dari ‘Ubaidullah hadits-hadits yang mungkar”.
Berkata Al-Baihaqy 2/100 : “Saya tidak melihatnya (hadits ini-Pent.) kecuali hanya sebagai suatu kekeliruan”.
Dan
lihat keterangan mungkarnya riwayat Abdul ‘Azis Ad-Darawardy dari
‘Ubaidullah dalam Syarah Ilal At-Tirmidzy 2/810-811 dalam Ghorotul
Fishol karya syaikh Muqbil rahimahullah.
Dalil-dalil pendapat kedua
Hadits Pertama : Hadits Wa`il bin Hujr.
Hadits Wa`il ini mempunyai dua jalan dan semuanya lemah :
Jalan Pertama :
رَأَيْتُ
النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ
وَضَعَ رُكْبِتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ
قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Saya
melihat Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau
sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan
apabila beliau bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua
lututnya“.
Dikeluarkan oleh Abu Daud no.388, An-Nasa`i 2/207,234 dan dalam Al-Kubra no.676,740, Ibnu Majah no.838, Ad-Darimy 1/303, Ibnu Khuzaimah no. 626,629, Ibnu hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1912, Ath-Thohawy 1/255, Ad-Daraquthny 1/345, Al-Baihaqy 2/98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 518, Al-Baghawy 3/133, Al-Hazimy hal. 60-61, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al-Jama’ Wat Tafriq 2/501 dan Adz-Dzahaby dalam Mu’jamul Muhadditsin hal.218-219 semuanya dari jalan Syarik bin Abdillah An-Nakha’iy dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Pembahasan
Sanad hadits ini lemah sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Baihaqy dalam sunannya 2/100 dan Imam Ad-Daraquthny berkata :” dan
tidak ada yang menceritakan (hadits ini) dari Ashim bin Kulaib selain
dari Syarik dan Syarik tidak kuat pada apa-apa yang ia bersendirian
darinya“.
Dan
orang yang memperhatikan biografi Syarik bin Abdillah An-Nakha’iy dari
buku-buku Al-Jarh wat Ta’dil (buku-buku yang memuat pujian dan kritikan
terhadap para rawi), akan memastikan bahwa Syarik ini adalah dho’iful
hadits (lemah haditsnya).
Kemudian
Syarik ini telah diselisihi oleh Hammam bin Yahya sebagaimana dalam
Sunan Abu Daud no.839 dan dalam Al-Marasil hal. 93, Syarah Ma’any
Al-Atsar 1/255, Sunan Al-Baihaqy 2/99, Mu’jam Al-Ausath no. 5911 karya
Ath-Thobarany dan Al-I’tibar hal. 61 dari jalan Hammam bin Yahya dari
Syaqiq Abu laits dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam secara mursal.
Syaqiq Abu Laits guru Hammam pada sanad diatas kata Imam Ath-Thohawy : Laa Yu’raf (tidak dikenal).
Dan jalan Hammam ini yang mahfuzh (terjaga/benar) sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hazimy dalam Al-I’tibar hal.61.
Dan
diriwayatkan pula Abu Daud no.839 dan Al-Baihaqy 2/98-99 dari jalan
Hammam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah dari Abdul Jabbar bin Wa’il
dari ayahnya yaitu Wa`il bin Hujr dari nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam, dan Abdul Jabbar tidak mendengar dari ayahnya.
Jalan Kedua :
Diriwayatkan
oleh Imam Al-Baihaqy 1/99 dari jalan Muhammad bin Hujr dari Sa’id bin
Abdul Jabbar bin Wa`il dari ibunya dari Wa`il bin Hujr, beliau berkata :
صَلَّيْتُ
خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
ثُمَّ سَجَدَ وَكَانَ أَوَّلَ مَا وَصَلَ إِلَى الْأَرْضِ رُكْبَتَاهُ
“Saya sholat bersama dibelakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian beliau sujud dan yang pertama sampai kebumi adalah kedua lututnya“.
Dalam hadits ini terdapat dua kelemahan :
Satu : Muhammad bin Hujr, kata Imam Adz-Dzahaby : lahu manakir (ia mempunyai hadits-hadits mungkar)
Dua : Sa’id bin Abdul Jabbar, disimpulkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : Dho’if (lemah).
Hadits Kedua : Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :
رَأَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ
ثُمَّ انْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ
“Saya melihat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam turun dengan takbir, maka kedua lutunya mendahului kedua tangannya“. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny 1/345, Al-Hakim 1/349,
Al-Baihaqy 2/99, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 2310, Ibnu Hazm Dalam Al-Muhalla 4/129 dan Al-Hazimy hal.60, semuanya dari jalan Al-’Ala’ bin Isma’il Al-’Aththor dari Hafsh bin Ghiyats dari ‘Ashim Al-Ahwal dari Anas.
Pembahasan
Berkata Abu Hatim ketika ditanya oleh anaknya tentang hadits dengan jalan yang tersebut diatas : “Ini adalah hadits yang mungkar“. Lihat Al-’Ilal 1/188.
Berkata Ad-Daruquthny 1/345 : “Al-Ala` bin Isma’il bersendirian dengannya dari Hafsh dengan sanad ini”.
Dan berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisanul I’tidal 4/183 menjelaskan letak mungkarnya riwayat Al-Ala` : “Dan
ia (Al-Ala`) telah diselisihi oleh Umar bin Hafsh bin Ghiyats dan ia
adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ayahnya, yaitu dia (Umar
bin Hafsh) meriwayatkan dari ayahnya dari Al-A’masy dari Ibrahim dari
Alqomah dan lainnya dari ‘Umar secara Mauquf dan ini yang Mahfuzh
(terjaga)”.
Riwayat ‘Umar bin Hafsh yang tersebut diatas bisa dilihat dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/256.
Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/229 : “Dan Al-Ala` ini majhul (tidak dikenal), sama sekali tidak ada penyebutannya dalam Kutubus Sittah”.
Catatan
Orang
yang berpendapat lutut dahulu yang turun kemudian tangan mempunyai
beberapa hadits yang lain, tapi semuanya lemah tidak bisa dipakai
berhujjah. Silahkan lihat dalam ‘Irwa`ul Gholil no.75 dan Risalah Nahyu
Ash-Shuhbah ‘Anin Nuzul Bir-Rukbah.
Dalil-dalil pendapat ketiga
Para ‘ulama yang menguatkan pendapat ketiga ini, ada dua jalan dalam menguatkannya :
-Ada
yang menguatkan pendapat ini dengan alasan bahwa dalil dari pendapat
pertama dan kedua semuanya shohih bisa dipakai berhujjah. Dengan
demikian maka kandungan dari dalil-dalil tersebut bisa diamalkan
sehingga boleh meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau lutut dahulu
kemudian tangan.
-Ada
yang menguatkan pendapat ketiga ini dengan alasan bahwa seluruh hadits
yang berkaitan dengan cara turun untuk sujud, baik tangan dahulu
kemudian lutut atau lutut dahulu kemudian tangan, adalah hadits-hadits
yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Karena tidak ada aturan dalam
hadits yang shohih yang menjelaskan tentang cara turun untuk sujud
tersebut maka ada keluasan, boleh meletakkan tangan dahulu kemudian
lutut atau lutut dahulu kemudian tangan.
Kesimpulan Pembahasan
Dari
uraian diatas, nampak dengan jelas bahwa dalil-dalil dari pendapat
pertama dan pendapat kedua semuanya lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Dari pendapat ketiga, alasan yang bisa diterima hanyalah alasan kedua. Dengan demikian pembahasan ini bisa disimpulkan bahwa dalam cara turun untuk sujud ada keluasan, boleh meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau lutut dahulu kemudian tangan.
Kesimpulan ini merupakan kesimpulan dari ahli hadits dan mujaddid
negeri Yaman Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullahu wa balla
bil maghfirati tsarahu dan kesimpulan dari beberapa ‘ulama lain.
Wallahu Ta’ala A’lam Wa fauqo kulli dzi ‘ilmin ‘alim.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama