Apakah Memakai Cadar Itu Wajib ? ( Bag. 02 )

Oleh : Dr. Yusuf Qardhawi
 
Disamping itu, karena Nabi saw. 'melarang wanita yang sedang ihram  mengenakan kaos tangan dan cadar'.4 Seandainya wajah dan telapak tangan itu aurat, niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya. Selain itu, juga karena dorongan kebutuhan untuk menampakkan wajah pada waktu jual beli, serta perlu menampakkan tangan untuk  mengambil  dan memberikan sesuatu, karena itu (wajah dan tangan) ini  tidak dianggap aurat.

Imam Nawawi menambahkan dalam syarahnya terhadap al-Muhadzdzab, yaitu al-Majmu', "Diantara  ulama  Syafi'iyah ada yang menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahwa telapak kaki bukanlah  aurat.  Al-Muzani  berkata,  'Telapak kaki  itu  bukan  aurat.'  Dan  pendapat  mazhab adalah yang pertama."5

MAZHAB HAMBALI

Dalam mazhab Hambali kita  dapati  Ibnu  Qudamah  mengatakan dalam  kitabnya  al-Mughni  (1:  601) sebagai berikut: Tidak diperselisihkan dalam mazhab tentang bolehnya wanita membuka wajahnya  dalam  shalat,  dan dia tidak boleh membuka selain wajah dan  telapak  tangannya.  Sedangkan  mengenai  telapak tangan ini ada dua riwayat.
 
Para  ahli  ilmu  berbeda pendapat, tetapi kebanyakan mereka sepakat  bahwa  ia  boleh  melakukan  shalat dengan   wajah terbuka.  Dan  mereka  juga sepakat bahwa wanita merdeka itu harus mengenakan tutup kepalanya jika melakukan shalat,  dan jika  ia  melakukan  shalat  dalam keadaan seluruh kepalanya terbuka, maka ia wajib mengulangmya.
 
Imam Abu Hanifah berkata,  "Kaki  itu  bukan  aurat,  karena kedua  kaki  itu  memang  biasanya  tampak. Karena  itu, ia seperti wajah."
 
Imam Malik, al-Auza'i, dan Imam  Syafi'i  berkata,  "Seluruh tubuh  wanita  itu  adalah aurat kecuali muka dan tangannya, dan selain itu wajib ditutup pada waktu shalat, karena dalam menafsirkan ayat dan janganlah   mereka   menampakkan perhiasannya kecuali apa  yang  biasa  tampak  daripadanya," Ibnu Abbas berkata, 'Yaitu wajah dan telapak tangan."
 
Selain  itu,  karena  Nabi  saw.  melarang  wanita  berihram memakai kaus tangan dan cadar. Andaikata wajah  dan  tangan itu aurat niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya. Selain itu, karena diperlukan  membuka  wajah  dalam  urusan jual beli, begitupun kedua tangan untuk mengambil (memegang) dan memberikan sesuatu.
 
Sebagian sahabat kami berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah aurat,  karena  diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa wanita itu aurat."  Diriwayatkan  oleh  Tirmidzi  dan  beliau  berkata, "Hadits  hasan  sahih."  Tetapi beliau  memberinya rukhshah (keringanan) untuk membuka wajah dan tangannya  karena  jika ditutup  akan menimbulkan  kesulitan.  Dan  diperbolehkan melihatnya pada waktu meminang karena ajah itu  merupakan pusat   kecantikan.   Dan  ini  adalah  pendapat  Abu  Bakar al-Harits bin Hisyam, beliau berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah aurat hingga kukunya."
 
Demikian keterangan dalam kitab al-Mughni.

MAZHAB-MAZHAB LAIN

Dalam  menjelaskan  berbagai  pendapat ulama tentang masalah aurat, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya al-Majmu':
 
Aurat wanita itu ialah seluruh tubuhnya  kecuali  wajah  dan telapak  tangannya. Disamping Imam Syafi'i, yang berpendapat demikian adalah Imam  Malik,  Abu  Hanifah,  al-Auza'i,  Abu Tsaur,  dan  segolongan ulama, serta satu riwayat dari Imam Ahmad.
 
Selain itu, Imam Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzani  berkata "Kedua kakinya juga bukan aurat."
 
Imam  Ahmad  berkata, "Seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajahnya saja"6
 
Ini juga merupakan  pendapat Daud  sebagaimana  dikemukakan dalam Nailul Authar (2: 55).
 
Adapun  Ibnu  Hazm,  maka  beliau  mengecualikan  wajah  dan telapak tangan, sebagaimana disebutkan dalam al-Muhalla, dan akan kami kemukakan alasan-alasan yang beliau berikan.
 
Ini  juga  merupakan  pendapat  jamaah  sahabat  dan tabi'in sebagaimana  yang  tampak  jelas  dalam  penafsiran   mereka terhadap  ayat  "apa  yang bisa tampak daripadanya" (an-Nur:31).

DALIL-DALIL GOLONGAN YANG MEMPERBOLEHKAN MEMBUKA WAJAH DAN TELAPAK TANGAN

Saya akan kemukakan beberapa dalil syar'iyah terpenting yang dijadikan dasar oleh golongan yang berpendapat  tidak  wajib memakai cadar serta boleh membuka wajah dan telapak tangan - yaitu jumhur ulama - seperti berikut ini,  dan  insya  Allah hal ini sudah memadai.
 
1. Penafsiran sahabat terhadap ayat "kecuali apa yang biasa    tampak daripadanya."
  
   Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang yang  mengikuti mereka dengan baik (para tabi'in) menafsirkan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 31 ("Dan janganlah  mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya") bahwa yang dimaksud adalah "wajah dan telapak tangan, atau celak dan cincin, serta perhiasan-perhiasan yang serupa dengannya."
  
   Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan sejumlah besar pendapat mengenai masalah ini dalam kitabnya Ad-durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur.
  
   Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas mengenai firman Allah "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yang maksudnya adalah "celak dan cincin."
  
   Sa'id bin Manshur, Ibnu Jarir, Abdullah bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. mengenai bunyi ayat tersebut dengan "celak, cincin,   anting-anting, dan kalung."
  
   Abdur Razaq dan Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "pemerah kuku dan cincin."
  
   Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim meriWayatkan dari Ibnu Abbas mengenai "apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "wajah, telapak tangan, dan cincin."
  
   Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "raut wajah dan telapak tangan."
  
   Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi dalam sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa beliau pernah ditanya mengenai perhiasan yang biasa
   tampak itu, lalu beliau menJawab, "gelang dan cincin." Beliau mengatakan demikian sambil mengatupkan ujung lengan bajunya.
  
   Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya." Menurut beliau yang dimaksud adalah "wajah dan lingkar leher (antara dua tulang selangka)."
  
   Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair mengenai ayat tersebut dengan penafsiran "wajah dan telapak tangan." Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari 'Atha mengenai ayat yang sama dengan penafsiran "kedua telapak tangan dan wajah."
  
   Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Qatadah, menasirkan ayat tersebut dengan "kedua gelang, cincin, dan celak." Menurut Qatadah, "Telah sampai berita kepadaku bahwa Nabi saw.   bersabda:
  
   "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir (untuk menampakkan tangannya) kecuali hingga ini, seraya beliau memegang separo lengannya."
  
   Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij, yang mengutip perkataan Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud bunyi ayat "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" adalah "cincin dan gelang."
  
   Menurut Ibnu Juraij, Aisyah pernah berkata, "Anak perempuan dari saudara laki-lakiku seibu, yaitu Abdullah bin Thufail, pernah masuk ke tempatku dengan mengenakan perhiasan. Dia masuk ke tempat Nabi saw., kemudian beliau berpaling." Lalu Aisyah berkata "Sesungguhnya dia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dan dia seorang pembantu." Kemudian beliau bersabda:
  
   "Apabila seorang wanita telah dewasa, ia tidak boleh menampakkan selain wajahnya dan selain yang di bawah ini."
  
   Seraya beliau memegang lengannya sendiri, lalu beliau biarkan antara pegangannya itu dengan telapak tangan sepanjang segenggam tangan."7
  
   Namun, dalam hal ini Ibnu Mas'ud berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas, Aisyah, dan Anas radhiyallahu 'anhum. Ibnu Mas'ud berkata, "Apa yang biasa tampak itu ialah pakaian dan   jilbab."
  
   Menurut pendapat saya, penafsiran Ibnu Abbas dan yang sependapat dengannya itu merupakan penafsiran yang rajih (kuat), karena pengecualian dalam ayat "kecuali apa yang   biasa tampak daripadanya" itu datang setelah larangan menampakkan perhiasan, yang hal ini menunjukkan semacam rukhshah (keringanan) dan pemberian kemudahan, sedangkan   tampaknya selendang, jilbab, dan pakaian-pakaian luar lainnya sama sekali bukan rukhshah atau kemudahan, atau  menghilangkan kesulitan, karena tampak atau terlihatnya pakaian luar itu sudah otomatis. Oleh karena itu, pendapat ini dikuatkan oleh ath-Thabari, al-Qurthubi, ar-Razi, al-Baidhawi, dan lain-lainnya, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.
  
   Adapun al-Qurthubi menguatkan pendapat ini karena sudah lumrah wajah dan tangan itu tampak baik dalam adat maupun dalam ibadah, seperti dalam shalat dan haji. Oleh karena   itu, tepatlah apabila istitsna' (pengecualian) itu kembali kepadanya.
  
   Pendapat ini dimantapkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap Nabi saw. dengan mengenakan pakaian yang tipis, lalu Nabi saw. berpaling seraya berkata:
  
   "'Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid (sudah dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain ini dan ini,' dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua   tangannya."
  
   Memang, kalau hanya hadits ini saja tidak dapat dijadikan hujjah karena kemursalannya dan kelemahan perawinya dari Aisyah, sebagaimana yang sudah dimaklumi, tetapi ia   mempunyai syahid (pendukung) dari hadits Asma binti Umais sehingga kedudukannya menjadi kuat, ditambah lagi dengan praktek kaum wanita pada zaman Nabi saw. dan para   sahabatnya. Oleh karena itu, pakar hadits al-Albani menghasankannya dalam kitab-kitabnya, seperti: Hijab al-Mar'ah al-Muslimah, al-Irwa', Shahih al-Jam'i ash-Shaghir, dan Takhrij al-Halal wal-Haram.
  
2. Perintah Mengulurkan Kerudung ke Dada, bukan ke Wajah Allah berfirman:
  
   "... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya  ..." (an-Nur: 31 )
  
   Lafal al-khumuru adalah bentuk jamak dari kata khimaaru, yaitu tutup kepala, sedangkan lafal al-juyuubu adalah bentuk jamak dari kata jaibu, yaitu belahan dada pada baju atau   lainnya. Maka wanita-wanita mukminah diperintahkan menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya sehingga dapat  menutupi leher dan dadanya, dan jangan membiarkannya   terlihat sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah.
  
   Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya dijelaskan dengan tegas oleh ayat itu dengan memerintahkan wanita menutup wajahnya, sebagaimana dengan tegas ayat itu memerintahkan  mereka menutup dadanya. Karena itu, setelah mengemukakan ayat ini Ibnu Hazm berkata, "Maka Allah Ta'ala memerintahkan mereka (kaum wanita) menutupkan kerudungnya ke dadanya, dan  ini merupakan nash untuk menutup aurat, leher, dan dada, dan   ini juga merupakan nash yang memperbolehkan membuka wajah, dan tidak mungkin dapat diartikan selain itu."8
  
3. Perintah kepada Laki-laki untuk Menahan Pandangan Al-Qur'an dan As-Sunnah menyuruh laki-laki menahan pandangannya. Firman Allah:
  
   "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,  sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (an-Nur: 30)



 
 

Lanjutan : Apakah Memakai Cadar Itu Wajib ? ( Bag. 03 )



Sebelum : Apakah Memakai Cadar Itu Wajib ? ( Bag. 01 )
 


---------------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
Share on Google Plus

About Admin

Khazanahislamku.blogspot.com adalah situs yang menyebarkan pengetahuan dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikutnya.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment


Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com

Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama