Perbedaan yang Nyata dan Mendasar Antara Taqlid dan Ittiba’
Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap
manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’
kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rasul-Nya. Alloh jadikan
wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.
Tidak ada yang membangkang kepada perintah Alloh tersebut kecuali
orang-orang yang taqlid kepada nenek moyangnya atau kebiasaan yang
berlaku di sekelilingnya atau hawa nafsunya yang mengajak untuk
membangkang dari perintah Alloh. Mereka tolak datangnya kebenaran karena
taqlid.
Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada
kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga tampak sebagai kebenaran.
Inilah sebab kesesatan setiap kaum para rasul yang menolak dakwah para
rasul. Inilah sebab kesesatan orang-orang Nashara yang taqlid kepada
pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Inilah sebab kesesatan setiap
kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat dan
gembong-gembong mereka.
Para pengikut kesesatan ini menggunakan segala cara untuk
mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain
mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat bahwa orang yang
ittiba’ kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada ulama. Mereka
campur adukkan antara taqlid dan ittiba’.
Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, “Wahai para Salafiyyun kalian juga taqlid kepada para ulama kalian!”
Inilah jalan setiap pemilik kesesatan dari masa ke masa, mereka
gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran, mereka kaburkan garis
pemisah antara keduanya.
Dengan memhon Taufiq dari Alloh pada pembahasan kali ini kami
ketengahkan kepada pembaca beberapa perbedaan yang mendasar antara
taqlid dan ittiba’ agar kita bisa memahaminya dengan benar, dan
sekaligus -bi’idznillah-bisa menepis syubhat para pemilik kebatilan
dalam masalah ini.
DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “al-qiladatun” (kalung) ke
leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang
seakan-akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. [Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal.3 14]
Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak
ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin
Khuwaiz Mindad [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178]
Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14]
CELAAN TERHADAP TAQLID
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [At-Taubah : 31]
Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat ini maka dia mengatakan,
“Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika
mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka
kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang
dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi
Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” [Diriwayatkan
oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116
dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal.20]
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang
yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati
bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan
mengikutinyajuga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih
(nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu
menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang
kamu diutus untuk menyampaikannya” [Az-Zukhruf : 23-24]
Al-Imam lbnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, “Karena mereka taqlid
kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para
Rasul” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977]
Alloh menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya
pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak
mengerti apa-apa pun” [Al-Anfal : 22]
“Artinya : Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika)
segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” [Al-Baqarah : 166]
Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama berargumen dengan ayat-ayat mi untuk membatalkan taqlid” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978]
WAJIBNYA ITTIBA’
Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [I’lamul Muwaqqi’in 2/171]
Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang
beliau lakukan. Begitu banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan setiap
muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam di antaranya firman Alloh.
“Artinya : Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, makasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” [Ali lmran : 32]
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Hujurat : 1]
“Artinya : Hai orang-arang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepoda Allah (AlQur ‘an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” [An-Nisa :59].
“Artinya : Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintal Alloh,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Ali lmran :31]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku” [Dikeluarkan
oleh Abdur Razzaq dalamMushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam
Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr
dalam Jami’ Bayan Ilmi 2/805, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’ 6/34,
“Hasan”]
Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Jika Musa Kalimullah tidak
boleh ittiba’ kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bagaimana dengan yang lainnya? Hadits ini merupakan dalil yang qath‘i
atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal
ittiba’, dan ini merupakan konsekuensi syahadat ‘anna Muhammadan
rasulullah”, karena itulah Alloh sebutkan dalam ayat di atas (Ali lmran :
31) bahwa ittiba’ kepada Rasulullah bukan kepada yang lainnya adalah
dalil kecintaan Alloh kepadanya” [Muqaddimah Bidayatus Sul fi Tafdhili Rasul hal.5-6]
Demikian juga Alloh memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu
jalan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng
darinya:
“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisa’: 115]
Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika engkau mengikuti suatu
perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya sebagaimana
diktakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787.
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun
kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya,
jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran
bersamanya maka aku ittiba’ padanya” [Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh Al-’Izz bin Abdis Salam 2/I 36]
TAQLID BUKANLAH ITTIBA’
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para ulama bukan
ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang
yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika
engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu
segi dan makna perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787]
Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam
syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada
argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka
adalah yang kokoh argumennya”.
Beliau juga berkata, “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya
tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka engkau telah
taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang
dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’
kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang” [Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kmtabnya Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993]
PARA IMAM MELARANG TAQLID DAN MEWAJIBKAN ITTIBA’
Diantara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara
taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya dan
taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:
Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil
perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam
riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram
atasnya berfatwa dengan perkataanku”[Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293 dan Sya’ rany dalam Al-Mizan 1/55]
Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa
benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab
dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesual dengan Kitab dan
Sunnah maka tinggalkanlah”[Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ 2/32]
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian
menoleh kepada perkataan siapapun” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/107 dengan sanad yang shahih]
Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits
shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi , lebih utama untuk
diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. [Diriwayatkan olehAbu Hatim dalamAdab Syafi’i hal.93 dengan sanad yang shahih]
Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah.engkau taqlid dalam agamamu kepada
seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya
ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti
apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya” [Masa’iI Al-Imam Ahmad oleh Abu Dawud hal.276- 277]
ITTIBA ADALAH JALAN AHLI SUNNAH DAN TAQLID ADALAH JALAN AHLI BID’AH
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata, “Umat ini telah sepakat
bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam …makà barangsiapa yang
ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang
lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada seorang sahabat dan
mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub
kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. ini jalannya
ahlul ahwa” [Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang ta’ ashub
kepada seseorang, dia kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah yang
ta’ashub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij.
ini adalah jalan ahli bid’ ah dan ahwa’ yang mereka keluar dan syari’at
dengan kesepakatan umat dan menurut Kitab dan Sunnah … yang wajib
kepada semua makhluk adalah ittiba’ kepada seorang yang ma’shum (yaitu
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam) yang tidak mengucap dan hawa
nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya” [Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal.46-47]
BANTAHAN PARA ULAMA KEPADA PEMBELA TAQLID
Al-Imam Al-Muzani berkata, “Dikatakan kepada orang yang berhukum
dengan taqlid, Apakah kamu punya hujjah pada apa yang kamu hukumi?’ Jika
dia mengatakan,‘Ya’, secara otomatis dia membatalkan taqlidnya, karena
hujjah yang mewajibkan dia menghukumi itu bukan taqlidnya”.
Jika dia mengatakan, “Aku menghukumi tanpa memakai hujjah.” Dikatakan
kepadanya, “Kalau begitu mengapa engkau tumpahkan darah, engkau
halalkan kemaluan, dan engkau musnahkan harta padahal Alloh mengharamkan
semua itu kecuali dengan hujjah, Alloh berfirman:
“Artinya : Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini”. [Yunus : 68]
Kalau dia mengatakan, “Aku tahu kalau aku menepati kebenaran walaupun
aku tidak mengetahui hujjah, karena aku telah taqlid kepada seorang
ulama besar yang dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang
tersembunyi dariku” Dikatakan kepadanya, “Jika dibolehkan taqlid kepada
gurumu karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi
darimu, maka taqlid kepada guru dan gurumu lebih utama karena dia tidak
berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi dari gurumu sebagaimana
gurumu tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu.”
Kalau dia mengatakan, “Ya”, maka dia harus meninggalkan taqlid kepada
guru dari gurunya dan yang di atasnya hingga berhenti kepada para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau dia enggan melakukan itu berarti dia telah membatalkan
ucapannya dan dikatakan kepadanya, “Bagaimana dibolehkan taqlid kepada
orang yang lebih kecil dan lebih sedikit ilmunya dan tidak boleh taqlid
kepada orang yang lebih besar dan lebih banyak ilmunya? ini jelas
menupakan kontradiksi.”
Kalau dia mengatakan, “Karena guruku -meskipun dia lebih kecil- dia
telah menggabungkan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya,
karena itu dia lebih paham apa yang dia ambil dan lebih tahu apa yang
dia tinggalkan” Dikatakan kepadanya, “Demikian juga orang yang belajar
dari gurumu maka dia sungguh telah menggabungkan ilmu gurumu dan ilmu
orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, maka engkau harus taqlid
kepada orang ini dan meninggalkan taqlid kepada gurumu. Demikian juga
engkau lebih berhak untuk taqlid kepada dirimu sendiri daripada taqlid
kepada gurumu!” Jika dia tetap pada perkataannya ini berarti dia
menjadikan orang yang lebih kecil dan orang yang berbicara dari para
ulama yunior lebih pantas ditaqlidi daripada para sahabat Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam. Demikian juga menurut dia seorang sahabat
harus taq lid kepada seorang tabi’in, dalam keadaan seorang tabi’ in di
bawäh sahabat menurut analogi perkataannya, maka yang lebih tinggi
selamanya lebih rendah, maka cukuplah ini merupakan kejelekan dan
kerusakan”[Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdady dalam
Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69-70 dan dinukil oleh lbnu Abdil Barr dalam
Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/992-993]
Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Dikatakan kepada orang yang taqlid:
Mengapa engkau taqlid dan menyelisihi salaf dalam masalah ini, karena
salaf tidak melakukan taqlid?” Kalau dia mengatakan, “Aku taqlid karena
aku tidak paham tafsir Kitabullah dan aku belum menguasai hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan yang aku taqlidi
telah mengetahui semuanya itu maka berarti aku taqlid kepada orang yang
lebih berilmu daripadaku”
Dikatakan kepadanya, “Adapun para ulama, jika mereka sepakat pada
sesuatu dan tafsir Kitabullah atau periwayatan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sepakat pada sesuatu maka itu adalah
al-haq yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Akan tetapi mereka
telah berselisih dalam hal yang kamu taqlidi, lalu apa argumenmu di
dalam taqild kepada sebagian mereka tidak kepadã yang lainnya, padahal
mereka semua berilmu. Bisa jadi orang yang tidak kamu pakai perkataanya
lebih berilmu daripada orang yang engkau taqlidi?”
Jika dia mengatakan, “Aku taqlid kepadanya karena aku tahu dia di
atas kebenaran.” Dikatakan kepadanya, “Apakah kamu tahu hal itu dengan
dalil dari Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’?”Jika dia mengatakan, “Ya”, maka
dia telah membatalkan taqlidnya dan dituntut untuk mendatangkan dalil
dan perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/994]
HUKUM TAQLID
Taqlid terbagi menjadi tiga macam sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam
lbnul Qayyim dalam kitabnya i’lamul Muwaqqi’in 2/187: (1) Taqlid yang
diharamkan, (2) Taqlid yang diwajibkan, dan (3) Taqlid yang dibolehkan.
- Macam yang pertama yaitu taqlid yang diharamkan terbagi menjadi tiga jenis:[a]. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari apa yang diturunkan Alloh.
[b]. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
[c]. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala‘telah mencela tiga macam taqlid ini di dalam ayat-ayat yang banyak sekali dalam Kitab-Nya sebagaimana telah kita sebutkan pada uraian di atas. - Macam yang kedua yaitu taqlid yang diwajibkan adalah
yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “Sesungguhnya Alloh telah
memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah
Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Alloh perintahkan agar para istri Nabi-Nya
selalu mengingatnya sebagaimana dalam finman-Nya :“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh dan hikmah (Sunnah Nabimu)”[Al-Ahzab:34]lnilah
Adz-Dzikr yang Alloh penintahkan agar kita selalu ittiba’ kepadanya,
dan Alloh perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya
kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada
ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya agar
ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu
tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’
kepadanya” [l’lamul Muwaqqi’in 2/241]
- Macam yang ketiga yaitu taqlid yang dibolehkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “Adapun taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Alloh. Hanya saja sebagian darinya tensembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa….” [I’lamul Muwaqqi’ in 2/169]Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya” [Majmu’ Fatawa 20/203-204]
MENGIKUTI MANHAJ PARA ULAMA BUKAN BERARTI TAKLID KEPADA MEREKA
Al-Imam lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua
mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di
atas petunjuk, karena itu maka orang-orang yang taqlid kepada mereka
pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam
tersebut.
Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada
hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami
sebutkan hal ini dan mereka lnsya Alloh . Maka barangsiapa yang
meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap
taqlid) yang juga dilarang oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka jelas orang
ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk
orang-orang yang menyelisihi mereka.
Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah,
tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan
perkataannya sebagal timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari sini nampaklah kebatilan pemahaman orang yang menjadikan taqlid
sebagai ittiba’, mengaburkannya dan mencampuradukkan antara keduanya,
bahkan taqlid menyelisihi ittiba’. Alloh dan Rasul-Nya telah memilahkan antara keduanya demikian juga para ulama.
Karena sesungguhnya ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan”. [I’lamul Muwaqqi’in 2/170-l71]
[Pembabasan ini banyak mengambil faedah dan risalah Syaikhuna
Al-Fadhil Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly yang berjudul Al Iqna’ bi Maja’a
‘an A’immati Da ‘wah minal Aqwal fil Ittiba’]
KESIMPULAN
Taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada
hujjahnya atau mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
Taqlid terbagi menjadi tiga macam.
[1]. Taqlid yang diharamkan, yaitu taqlid kepada perkataan nenek
moyang sehingga berpaling dan apa yang diturunkan oleh Alloh, taqlid
kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya,
dan taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil
yang menyelisihi perkataannya. lnilah taqlid yang dicela Alloh dalam
Kitab-Nya.
[2].Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar
bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan
kepada Rasul-Nya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka
tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.
[3].Taqlid yang dibolehkan, yaitu taqlidnya seorang yang sudah
mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan oleh Alloh
dalam suatu permasalahan. Hanya saja sebagian dari hujjahnya
tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang
lebih berilmu darinya dalam permasalahan tersebut.
Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan
melakukan apa yang dia lakukan atau jika engkau mengikuti suatu
perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya.
Taqlid bukanlah ittiba’, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti
perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan
taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan
engkau tidak tahu segi dari makna penkataannya.
Para imam melarang para pengikutnya dan taqlid dan memerintahkan mereka agar selalu ittiba’.
Ittiba’ adalah jalan Ahlu Sunnah dan taqlid adalah jalan ahli bid’ah.
Mengikuti manhaj para ulama bukanlah taqlid kepada mereka, karena
manhaj para ulama ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan
taqlid kepada mereka, maka orang yang menempuh manhaj mereka juga
ittiba’ sebagaimana mereka.
Penulis : Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 2 Tahun V/Ramadhan 1426,
Oktober 2005. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had
Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim PO BOX 21 (61153)]
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama