Shalat mempunyai kedudukan yang besar
dalam agama Islam, bahkan dia adalah tiang penegaknya yang tanpanya maka
agama seseorang akan roboh dan hancur. Karenanya Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya senantiasa memperingatkan akan bahayanya meninggalkan dan
menyepelekan shalat, sampai-sampai Rasulullahmengabarkan bahwa pemisah
antara seorang muslim dengan kekafiran adalah ketika dia meninggalkan
shalat.
Allah Ta’ala berfirman :
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui ghayya.” (QS. Maryam: 59)
Ibnu Mas’ud menafsirkan kata ‘ghayya’
dalam ayat tersebut bahwa dia adalah sungai di Jahannam yang makanannya
sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Lihat kitab Ash-Shalah
karya Ibnu Al-Qayyim hal. 31)
Para ulama menyatakan bahwa tatkala
orang yang meninggalkan shalat berada di dasar neraka, maka ini
menunjukkan kafirnya mereka. Karena dasar neraka bukanlah tempat seorang
pelaku maksiat selama dia masih muslim. Hal ini dipertegas dalam
lanjutan ayatnya, “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal
saleh.” Ini menujukkan bahwa ketika mereka menyia-nyiakan shalat dengan
cara meninggalkannya, maka mereka bukanlah orang yang beriman.
Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ
حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا
فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا
بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 75 dan Muslim no. 21)
Jabir berkata: Saya mendengar Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sungguh yang memisahkan antara seorang laki-laki (baca: muslim) dengan kesyirikan dan kekufuan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar
(1/403), “Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat termasuk
dari perkara yang menyebabkan terjadinya kekafiran.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah juga
menerangkan perbedaan antara kata ‘al-kufru’ (memakai ‘al’) dengan kata
‘kufrun’ (tanpa ‘al’). Dimana kata yang pertama (yang memakai
‘al’/makrifah) bermakna kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama,
sementara kata yang kedua (tanpa ‘al’/nakirah) bermakna kafir asghar
yang tidak mengeluarkan dari agama. Sementara dalam hadits di atas dia
memakai ‘al’. (lihat Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim hal. 70)
Buraidah -radhiallahu anhu- berkata : Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda :
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat, karenanya barangsiapa yang meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir.” (HR. At-Tirmizi no. 2621, An-Nasai no. 459, Ibnu Majah no. 1069 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4143)
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata,
“Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang
menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang
mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas
bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam. Karena
itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia
termasuk golongan orang kafir.”
Dari Abdullah bin Syaqiq Al-Uqaili -rahimahullah- dia berkata :
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ
تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
“Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpendapat mengenai sesuatu dari amal perbuatan yang mana meninggalkannya adalah suatu kekufuran melainkan shalat.” (HR. At-Tirmizi no. 2622)
Adapun masalah hukum orang yang meninggalkan shalat, maka ada beberapa masalah yang butuh dibahas :
Masalah Pertama : Hukum umum meninggalkan shalat
Kaum muslimin sepakat bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat tanpa ada uzur syar’i maka sungguh dia telah terjatuh ke dalam suatu dosa yang sangat besar yang akan membahayakan kehidupannya di akhirat kelak.
Ibnu Al-Qayyim -rahimahullah- berkata
dalam kitab Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha hal. 7, ”Kaum muslimin
bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah
dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh,
merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras.”
Dan
para ulama juga telah bersepakat bahwa barangsiapa yang mengingkari
wajibnya shalat 5 waktu -misalnya dia meyakini sunnahnya shalat ashar-
maka sungguh dia telah kafir keluar dari Islam, sama saja baik dia
shalat maupun tidak. Karena keyakinan seperti termasuk kekafiran yang
bersifat i’tiqadi (hati) dimana dia mengingkari kewajiban sebuah amalan
yang telah diketahui wajibnya secara darurat (tanpa butuh dipelajari)
dalam agama Islam ini.
Imam Asy-Syaukani berkata dalam Nailul
Authar (1/403), “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin
akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat (5 waktu) dalam keadaan dia
mengingkari wajibnya.”
Masalah Kedua: Hukum meninggalkan shalat karena malas
Setelah mereka bersepakat dalam masalah
di atas, mereka kemudian berbeda pendapat dalam masalah orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja karena malas atau tanpa ada uzur
syar’i, apakah itu merupakan perbuatan kekafiran akbar yang mengeluarkan
pelakunya dari agama (jika syarat pengkafiran terpenuhi dan
penghalangnya tidak ada) ataukah itu merupakan dosa yang sangat besar
akan tetapi hanya merupakan kekafiran asghar (kecil) yang tidak
mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Ada dua pendapat besar di
kalangan ulama :
1. Meninggalkan shalat karena malas adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama.
Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Said bin
Jubair, Asy-Sya’bi, An-Nakhai, Al Auzai, Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu
Al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hakam bin Utaibah, Abu Daud
Ath-Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, Abdul Malik
bin Hubaib dari kalangan Al-Malikiah, pendapat sebagian ulama
Asy-Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana yang dikatakan oleh
Ath-Thahawi). Dan ini merupakan pendapat sebagian besar sahabat -bahkan
sebagian ada yang menukil ijma’ berdasarkan sebagaimana dalam atsar Ibnu
Syaqiq di atas-, di antaranya adalah: Umar bin Al-Khaththab, Muadz bin
Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah
bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Ad-Darda`, Ali buin Abi Thalib, dan
selainnya.
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah,
berkata, “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat
adalah kafir. Dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa
orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan hingga
keluar waktunya adalah kafir.”
2. Meninggalkan shalat karena malas adalah kekafiran asghar yang tidak mengeluarkan dari agama.
Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Imam
Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, salah salah satu pendapat Imam Ahmad,
dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Pendapat yang paling tepat adalah
pendapat yang pertama, dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu
Mandah dalam Al-Iman (1/362), Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah (2/683),
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Fatawa Kubra Al-Fiqhiah (2/32), Ibnu
Al-Qayyim dalam kitab Ash-Shalah dimana beliau menukil ijma’ para
sahabat akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Dan dari kalangan
masyaikh belakangan seperti : Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Ibnu Baz,
Ibnu Al-Utsaimin, Muqbil bin Hadi, dan selainnya -rahimahulullah-. Di
antara dalil mereka adalah semua dalil yang disebutkan di atas, dan di
antara dalil lainnya adalah :
Allah Ta’ala berfirman, “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS. At Taubah: 11).
Ayat ini tegas menujukkan bahwa orang
yang tidak bertaubat dari kesyirikan, tidak mengerjakan shalat, dan
tidak menunaikan zakat maka dia bukanlah saudara kita se-islam, yakni
dia adalah orang kafir. Hanya saja dikecualikan darinya zakat (yakni
yang meninggalkannya tidak dihukumi kafir) berdasarkan hadits Abu
Hurairah tatkala Rasulullah menyebutkan siksaan yang menimpa orang yang
tidak mengeluarkan zakat, kemudian beliau bersabda :
ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ
“Kemudian (setelah dia disiksa, pent.) dia akan melihat jalannya, apakah menuju ke surga atau ke neraka.” (HR. Abu Daud no. 1414)
Hadits ini mengkhususkan makna ayat di
atas, dimana hadits ini menunjukkan bahwa setelah orang yang tidak
menunaikan zakat itu disiksa, maka dia akan diperlihatkan tujuan
akhirnya, apakah ke dalam neraka ataukah surga. Sisi pendalilannya bahwa
masih ada kemungkinan dia untuk masuk ke dalam surga, dan ini jelas
menunjukkan tidak kafirnya dia.
Jadi
jika ada seseorang yang asalnya dia shalat hanya saja terkadang dia
meninggalkannya karena malas, maka dia tetap dihukumi seorang muslim dan
tidak dihukumi kafir, kecuali jika dia telah meninggalkan shalat secara
menyeluruh, wallahu a’lam. (atsariyyah/redaksi)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama