“Tinggalkan perkara yang meragukanmu
menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu
adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”
Hadits ini merupakan pokok dalam hal
meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman.
Al-Munawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu kaidah
agama dan pokok dari sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros
keyakinan dan menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang
mencegah cahaya keyakinan.”
Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandainya orang-orang yang
pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin
bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang
menjauhi perkara syubhat.” (Faidhul Qadir, 3/529)
Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh
cucu kesayangan dan permata hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhuma, ketika seseorang yang bernama Abul Haura’ As-Sa`di bertanya
kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam
Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya mengeluarkan
hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul
Haura’ dari Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Dan hadits ini
termasuk sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam
Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan
Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam shahih keduanya.
Hadits ini shahih, dishahihkan oleh para
imam ahli hadits, termasuk di antaranya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah
dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain
(1/222-224). Sementara perkataan Jauzajani bahwasanya Abul Haura’
majhul, tidak diketahui keadaannya atau tidak dikenal sebagaimana
dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal
Hikam (1/278) tidak benar keberadaannya, karena Abul Haura’ yang namanya
Rabi`ah ibnu Syaiban As-Sa`di di-tsiqah-kan oleh Al-Imam An-Nasa’i
rahimahullah. Berkata Al-`Ijli rahimahullah: “Rabi`ah (Abul Haura’)
adalah seorang tabi`i lagi tsiqah.” Berkata Al-Hafizh rahimahullah:
“Rabi`ah adalah tsiqah (terpercaya).” (Tahdzibul Kamal, 9/117, Tahdzibut
Tahdzib, 3/221, At-Taqrib, hal. 147)
Lafazh: dalam hadits ini dengan
mem-fathah huruf yang pertama, bisa pula dengan men-dhammah-nya. Namun
yang masyhur dan fasih dengan mem-fathahnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/187).
Berkata Al-Imam At-Tirmidzi
rahimahullah: “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan At-Tirmidzi,
4/77). Kisah yang dimaksud oleh Al-Imam At-Tirmidzi di sini dibawakan
oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201). Al-Hasan bin
Ali radhiallahu ‘anhuma menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika
masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu
memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut
Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apa masalahnya wahai Rasulullah bila anak
kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam? menjawab:
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan”.
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan”.
Kandungan Hadits
Hadits ini bila ditinjau secara makna hampir sama dengan makna hadits An-Nu‘man ibnu Basyir:
“Siapa yang berhati-hati/ menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no.52, 2051 dan Muslim no.1599) [Dari kaset Durus Al-Arba‘in An-Nawawiyyah oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh]
“Siapa yang berhati-hati/ menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no.52, 2051 dan Muslim no.1599) [Dari kaset Durus Al-Arba‘in An-Nawawiyyah oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hadits yang mulia ini memerintahkan kepada kita untuk menjauh dari
perkara yang meragukan, baik berupa ucapan maupun amalan, baik dilarang
ataupun tidak. Dan kita disuruh mengambil perkara yang meyakinkan.
Dengan demikian, ketika dihadapkan
dengan syubhat, sebagai suatu perkara yang meragukan karena tidak
diketahui halal dan haramnya/ samar keadaannya, sepantasnya kita
berhenti padanya, menjaga diri kita agar tidak terjatuh ke dalamnya dan
serta-merta meninggalkannya. Sementara sesuatu yang telah jelas halalnya
kita tahu tidak akan membuat keraguan, kebimbangan, kegoncangan dan
kegelisahan di hati seorang yang beriman, bahkan jiwa dengan tenang akan
menjalaninya. Sebaliknya perkara yang syubhat, apabila perkara tersebut
diamalkan atau dijalani akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan di
hati seseorang. (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/280, Tuhfatul Ahwadzi,
7/187, Sunan An-Nasa’i bi Hasyiyah As-Sindi, 8/328).
Berkata Al-Qadhi rahimahullah: “Dalam
kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan sekalipun
manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Maka bila engkau
mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah
perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya
merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari
kebinasaan dan akan merasa ragu dengan kedustaan. Keraguanmu terhadap
sesuatu merupakan perkara yang dikhawatirkan keharamannya maka
berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut, sedangkan ketenanganmu
terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah”.
(Faidhul Qadir, 3/528)
Sebagai permisalan, apabila seseorang
ragu terhadap suatu masalah, apakah hal itu halal ataukah haram, maka
hendaknya ia tinggalkan keraguan itu kepada apa yang diyakini atau
kepada apa yang halal yang ia yakini atau apa yang tidak ia ragukan.
Yang demikian ini berarti ia telah menjaga agamanya. (Kaset Durus
Al-Arba’in, Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh rahimahullah)
Demikian pula dalam perkara ibadah, ia
kerjakan yang ia yakini. Apabila muncul keraguan secara tiba-tiba maka
keraguan tersebut tidak bisa menghilangkan keyakinan yang telah ada.
Sebagai permisalan apabila ia ragu dalam shalatnya, apakah ia telah
berhadats atau tidak, atau apakah keluar angin dari duburnya atau tidak,
maka ia tetapkan keadaannya sebagaimana yang ia yakini (ia shalat dalam
keadaan berwudhu) dan ia membuang keraguan yang muncul belakangan.
(Kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah,
kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh)
Kaidah yang digunakan di sini menurut ulama ahli ushul: “Sesuatu yang yakin tidak bisa dikalahkan oleh sesuatu yang ragu.”
Ath-Thibi rahimahullah menyatakan:
“Namun tentunya yang dapat merasakan dan menimbang hal yang demikian ini
hanyalah orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dari noda-noda dosa
dan aib.” (Faidhul Qadir, 3/529)
Bila seorang muslim mewujudkan apa yang
dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di
atas, maka ia akan dapat menjaga kehormatannya dari celaan dan menjaga
dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Karena beliau shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya.”
Perbuatan yang demikian ini akan mengantarkan kepada sikap wara‘ .
“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya.”
Perbuatan yang demikian ini akan mengantarkan kepada sikap wara‘ .
Wara‘
Wara’ adalah suatu sikap meninggalkan perkara yang syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (At-Ta‘rifat, Al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261).
Berkata Abu Abdirrahman Al-Umari
Az-Zahid: “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara`, niscaya dia akan
meninggalkan perkara yang meragukannya menuju kepada perkara yang tidak
meragukannya.” (Jami`ul Ulum, 1/281)
Sementara Hassan bin Abi Sinan
rahimahullah mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah
daripada sikap wara`. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu maka
tinggalkanlah.” (Jami`ul Ulum,1/281).
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah
Al-Maqdisi rahimahullah di dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88
berkata: “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:
1 Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2 Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3 Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4 Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya).”
1 Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2 Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3 Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4 Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya).”
Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat
direalisasikan oleh orang yang istiqamah jiwanya (dalam mengerjakan
kewajiban dan meninggalkan perkara yang dilarang), seimbang amalannya
dalam takwa dan wara‘. Adapun orang yang suka berbuat keharaman secara
zhahir, kemudian ia ingin bersikap wara’ dalam berbagai syubhat yang
rinci dan tersamar, maka hal ini tidak akan mungkin baginya, bahkan
sikapnya ini diingkari (sekedar omong kosong). Karena itulah Ibnu ‘Umar
radhiallahu ‘anhu mengingkari orang-orang dari penduduk Iraq yang
bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk. Beliau berkata: “Mereka
bertanya kepadaku tentang darah nyamuk sementara mereka telah
menumpahkan darah Al-Husain radhiallahu ‘anhu, padahal aku telah
mendengar Rasulullah bersabda:
“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul Ulum,1/283]
“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul Ulum,1/283]
Contoh Sikap Wara‘
Jika membaca perjalanan hidup pendahulu
kita yang shalih, kita dapati mereka adalah orang-orang yang menyandang
seluruh akhlak Islam yang mulia, baik akhlak yang wajib maupun yang
sunnah. Betapa kalam (ucapan) Allah dan Rasul-Nya (Al Qur’an dan As
Sunnah) menancap di hati-hati mereka dan mengakar di sanubari mereka.
Dan tidak cukup dengan itu, kita dapati juga mereka adalah orang yang
bersemangat dalam mengamalkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya
itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu akhlak yang bisa kita
lihat dari amalan mereka adalah wara‘ . Kisah wara‘ mereka di
antaranya:
1. ‘Aisyah mengabarkan bahwa Abu Bakar
radhiallahu ‘anhu pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya.
Maka budak tadi berkata kepadanya: “Apakah engkau tahu dari mana aku
dapatkan makanan ini?” Abu Bakar radhiallahu ‘anhu bertanya: “Dari mana
engkau mendapatkannya?” Budaknya menjawab: “Dulu di masa jahiliyah aku
pernah meramal untuk seseorang, sebenarnya aku tidak pandai meramal
namun aku cuma menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah
atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.”
Mendengar hal tersebut Abu Bakar radhiallahu ‘anhu segera memasukkan
tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang terlanjur
masuk ke dalam kerongkongannya, kemudian ia memuntahkan semua makanan
itu. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3842)
2. Nafi‘ berkata: ‘Umar Ibnul Khaththab
radhiallahu ‘anhu menetapkan subsidi rutin bagi para shahabat dari
kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4000 sementara putranya
ia tetapkan sebesar 3500. Kemudian ada yang berkata kepada ‘Umar:
“Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau
mengurangi subsidinya?” Umar menjawab: “Ayahnya-lah yang membawanya
berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang
tidak dibawa oleh orang tuanya).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3912)
3. Yazid bin Zurayi‘rahimahullah
mewarisi harta ayahnya sebesar 500 ribu namun ia tidak mengambilnya.
Ayahnya bekerja untuk para sultan, sedangkan Yazid bekerja membuat
keranjang dari daun kurma, dan dari penghasilan itulah yang digunakannya
untuk makan sehari-hari sampai beliau rahimahullah meninggal dunia.
(Al-Wara‘, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 7)
Banyak lagi bisa kita dapatkan
kisah-kisah wara‘ mereka yang bisa dilihat pada perjalanan hidup mereka
di kitab-kitab biografi para ulama.
Faedah Hadits
1. Termasuk sikap wara’ bila seseorang berhati-hati dan menjauh dari perkara syubhat.
2. Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
3. Sementara perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya, demikian pula perkara dosa.
4. Dengan menjauhi syubhat, seseorang dapat menjaga agamanya dan kehormatannya.
5. Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yang lurus jiwanya dan bertakwa serta memiliki sifat wara‘, adapun orang yang biasa terjun dalam lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara‘ dalam menghadapi syubhat maka ini diibaratkan wara‘ yang hambar, tanpa makna.
6 Ketika berhadapan dengan sesuatu yang samar, tidak jelas halal atau haramnya maka hal tersebut dapat ditimbang dengan hati. Kemudian apa yang menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adalah kebaikan dan halal. Bila sebaliknya, tidak menenangkan di hati maka dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa. Namun perlu diperhatikan di sini agar sebelum hati itu memutuskan sesuatu, hendaknya tidak ada kecondongan sebelumnya kepada perkara tersebut atau tidak ada hawa nafsu yang mempengaruhinya.
7. Hadits ini merupakan satu kaidah agama yang agung, “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
8. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan jawami`ul kalim (perkataan ringkas namun padat cakupan maknanya), sebagaimana dikandung dalam hadits ini.
2. Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
3. Sementara perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya, demikian pula perkara dosa.
4. Dengan menjauhi syubhat, seseorang dapat menjaga agamanya dan kehormatannya.
5. Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yang lurus jiwanya dan bertakwa serta memiliki sifat wara‘, adapun orang yang biasa terjun dalam lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara‘ dalam menghadapi syubhat maka ini diibaratkan wara‘ yang hambar, tanpa makna.
6 Ketika berhadapan dengan sesuatu yang samar, tidak jelas halal atau haramnya maka hal tersebut dapat ditimbang dengan hati. Kemudian apa yang menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adalah kebaikan dan halal. Bila sebaliknya, tidak menenangkan di hati maka dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa. Namun perlu diperhatikan di sini agar sebelum hati itu memutuskan sesuatu, hendaknya tidak ada kecondongan sebelumnya kepada perkara tersebut atau tidak ada hawa nafsu yang mempengaruhinya.
7. Hadits ini merupakan satu kaidah agama yang agung, “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
8. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan jawami`ul kalim (perkataan ringkas namun padat cakupan maknanya), sebagaimana dikandung dalam hadits ini.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Sumber: http://asysyariah.com/
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama