Sungguh, saat itu akan datang sebagaimana telah sering aku
saksikan ia mendatangi orang lain, teman-temanku, tetanggaku, , bahkan
orang tua atau kerabatku. Sungguh, saat itu tak mungkin kuduga
sebagaimana juga mereka tak pernah menduga didatangi olehnya. Sungguh
dia akan menjemput aku pergi ke tempat yang tak mampu aku bayangkan,
tempat yang tak pernah kembali lagi mereka yang pergi ke sana, tempat
yang di sana aku akan dihadapkan dengan pertanyaan.
Sungguh, semua itu benar adanya. Tak ada alasan bagiku untuk tidak
percaya hal itu bakal terjadi, sebagaimana tak ada alasan bagiku untuk
mengingkari adanya Al Khaliq. Juga sebagaimana tak ada alasan bagiku
untuk memungkiri adanya getaran kegelisahan dalam bathinku tatkala aku
melakukan perbuatan yang fitrahku mengenalnya sebagai dosa.
Hanya saja. Sanggupkah aku menghadapi itu ? Saat di mana aku
didudukkan di lubang yang gelap, kemudian datanglah kepadaku dua
malaikat mengajukan pertanyaan: Siapa Rabb-mu, apa agamamu, dan siapa nabimu ?
Sanggupkah aku menjawabnya ? …
Apa yang akan aku katakan, ketika ditanya tentang siapa Rabb-ku ? Cukupkah kujawab : Rabb-ku
adalah ALLAH ? Semudah itukah menghadapi fitnah qubur ? Rasanya tidak.
Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanamkan dalam jiwaku
keyakinan akan adanya Engkau, tertanam pula keyakinan ,bahwa tidaklah
segala sesuatu itu ada dan terjadi dengan sendirinya serta tanpa maksud
dan tujuan.
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku : “Mustahil aku akan tersesat dan terjatuh ke dalam kekufuran.” ? Bolehkah terucap lewat lisanku: “Keberhasilan yang aku peroleh adalah semata-mata hasil prestasiku.” ? Bolehkah aku beranggapan : “Bahwa tanda keridhoan-Mu adalah dengan terjadinya apa yang terjadi atau berlakunya apa yang hendak aku lakukan.” ?
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah kejamnya Engkau,
membiarkan seorang bayi lahir dalam keadaan cacat. Alangkah tak adilnya
Engkau, membiarkan pelaku ma’shiyat sejahtera bermandikan kesenangan,
sedangkan mereka yang tha’at dalam keadaan miskin berlumurkan
kesengsaraan.” Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun,
mengapa sering bathin ini protes manakala aku tertimpa musibah atau
doaku tak kunjung terkabul?
Ya, ALLAH. Ternyata tak ada jalan untuk mengenal Mu kecuali melalui
diri-Mu. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam dalam
batinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala
yang bertentangan dengan kekuasaan-Mu, bertentangan dengan hak-Mu untuk
diibadahi, serta bertentangan dengan kemuliaan nama-nama dan
sifat-sifat-Mu. Maka, sudahkah aku mengenal segala kekuasan-Mu dan mengakui keesaan-Mu dalam hal mencipta, memiliki, dan mengatur alam semesta ini? Sudahkah aku mengenal hak-hak diibadahi yang semua itu semata milik-Mu? Sudahkah aku mengenal -tanpa mengganti, menghilangkan, mempertanyakan, atau menyamakan dengan makhluq-Nya -seluruh nama dan sifat-Mu yang Indah dan Mulia ?
Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang apa
agamaku? Cukupkah kujawab: Agamaku Islam? Semudah itukah menghadapi
fitnah qubur? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah
tertanam di dalam jiwaku keyakinan akan kesempurnaan agama ini, tertanam
pula keyakinan bahwa agama ini disampaikan kepada manusia agar mereka
memperoleh kemudahan dan kebahagiaan hidup di dunia – sebelum di akhirat
kelak tentunya-.
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Agama ini tidak realistis, kurang membumi.” ? Bolehkah terucap lewat lisanku: “Jaman sekarang ini jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah.”? Bolehkah aku beranggapan: “Semua agama itu baik.” ?
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah enaknya menjadi
orang-orang kafir di muka bumi ini, alangkah kunonya agama ini, dan
alangkah sempit serta terbatasnya ruang ibadah yang tersedia di sana.”
Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini
protes manakala terasa dunia dan segala suguhannya tak memihak kepada
ku? Mengapa bathin ini diam saja dan tak sedikitpun tergerak untuk
membenci mereka yang menghujat agama ini?
Ya, ALLAH. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam di
dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku
segala yang bertentangan dengan agama yang mulia ini. Bahkan boleh jadi
aku tak mengenal agama ini sebagaimana ia diperkenalkan oleh pembawanya.
Boleh jadi aku tak mengenal keseluruhan aturan yang ada di dalamnya.
Dan boleh jadi aku telah terjatuh ke dalam perbuatan yang telah
mengeluarkan aku darinya.
Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang siapa nabiku? Cukupkah kujawab: Nabiku Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam ?
Semudah itukah fitnah qubur ? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu.
Sebagaimana telah tertanam keyakinan dalam bathinku tentang kemuliaan
akhlaqnya, sifat amanahnya, dan kejujurannya, tertanam pula keyakinan
bahwa dialah Shallallahu alaihi wa sallam teladan terbaik bagi umat manusia.
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Ada jalan untuk mendekatkan diri kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa selain dari yang telah dicontohkan oleh beliau Shallallahu alaihi wa sallam“ ? Bolehkah terucap lewat lisanku: “Memelihara jenggot itu jorok, menjilat-jilati jari sehabis makan itu juga jorok, dan poligami itu jahat.” ? Bolehkah aku beranggapan: “Mengikuti Sunnahnya itu tidak wajib.” ?
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “ Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam lupa menyampaikan ini dan itu. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sengaja menyembunyikan risalah, atau Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak mengetahui apa yang baik bagi umatnya. Sungguh
tak mungkin aku mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini protes
dan merasa berat dengan apa yang telah ia tetapkan dan contohkan ?
Mengapa aqal dan hawa nafsu ini sering merasa lebih tahu -tentang baik
dan buruk- ketimbang beliau Shallallahu alaihi wa sallam ?
Ya, ALLAH. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam di
dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku
berbagai pengingkaran terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Boleh jadi itu bermula dari acuh tak acuhnya aku untuk mengenal nama-nama dan nasab beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan dari
kurang minatnya aku membaca serta mempelajari riwayat hidupnya.
Akhirnya butalah aku akan sunnah-sunnahnya dan tak mengertilah aku akan
misi risalahnya. Dan jadilah aku orang yang hanya ikut-ikutan menyebut
namanya tanpa memahami pertanggungjawabannya.
Sanggupkah aku menjawabnya ?…
Sungguh, aku akan berhadapan dengan pertanyaan yang jawabnya tak
cukup di lisan, tetapi dari dalam keyakinan dan dibuktikan oleh
perbuatan. Bukan hasil dari menghafal, tetapi dari beramal.Tak ada yang
sanggup menuntun aku untuk menjawabnya kelak kecuali Engkau, Ya ALLAH.
Aku tahu itu dan aku yakin, sebagaimana telah Engkau janjikan:
(يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ) (ابراهيم: 27)
“ALLAH meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat…“(Ibrahim: 27)
Sumber :
Ushul Tsalasah
Dikutip dari ahlussunnah-jakarta
Ushul Tsalasah
Dikutip dari ahlussunnah-jakarta
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama