Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun
Ada hari yang dirasa spesial bagi kebanyakan orang. Hari yang mengajak untuk melempar jauh ingatan ke belakang, ketika saat ia dilahirkan ke muka bumi, atau ketika masih dalam buaian dan saat-saat masih bermain dengan ceria menikmati masa kecil. Ketika hari itu datang, manusia pun kembali mengangkat jemarinya, untuk menghitung kembali tahun-tahun yang telah dilaluinya di dunia. Ya, hari itu disebut dengan hari ulang tahun.Nah sekarang, pertanyaan yang hendak kita cari tahu jawabannya adalah: bagaimana sikap yang Islami menghadapi hari ulang tahun?
Jika hari ulang tahun dihadapi dengan melakukan perayaan, baik berupa acara pesta, atau makan besar, atau syukuran, dan semacamnya maka kita bagi dalam dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, perayaan tersebut dimaksudkan dalam rangka ibadah. Misalnya dimaksudkan sebagai ritualisasi rasa syukur, atau misalnya dengan acara tertentu yang di dalam ada doa-doa atau bacaan dzikir-dzikir tertentu. Atau juga dengan ritual seperti mandi kembang 7 rupa ataupun mandi dengan air biasa namun dengan keyakinan hal tersebut sebagai pembersih dosa-dosa yang telah lalu. Jika demikian maka perayaan ini masuk dalam pembicaraan masalah bid’ah. Karena syukur, doa, dzikir, istighfar (pembersihan dosa), adalah bentuk-bentuk ibadah dan ibadah tidak boleh dibuat-buat sendiri bentuk ritualnya karena merupakan hak paten Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kemungkinan pertama ini merupakan bentuk yang dilarang dalam agama, karena Rasul kita Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim]
Perlu diketahui juga, bahwa orang yang membuat-buat ritual ibadah baru, bukan hanya tertolak amalannya, namun ia juga mendapat dosa, karena perbuatan tersebut dicela oleh Allah. Sebagaimana hadits,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ،
لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ
لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى .
يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)
Kemungkinan kedua, perayaan ulang tahun ini dimaksudkan tidak dalam rangka ibadah, melainkan hanya tradisi, kebiasaan, adat atau mungkin sekedar have fun. Bila demikian, sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam Islam, hari yang dirayakan secara berulang disebut Ied, misalnya Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat merupakan hari Ied dalam Islam. Dan perlu diketahui juga bahwa setiap kaum memiliki Ied masing-masing. Maka Islam pun memiliki Ied sendiri. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا
“Setiap kaum memiliki Ied, dan hari ini (Iedul Fitri) adalah Ied kita (kaum Muslimin)” [HR. Bukhari-Muslim]Kemudian, Ied milik kaum muslimin telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya hanya ada 3 saja, yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat. Nah, jika kita mengadakan hari perayaan tahunan yang tidak termasuk dalam 3 macam tersebut, maka Ied milik kaum manakah yang kita rayakan tersebut? Yang pasti bukan milik kaum muslimin.
Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda,
من تشبه بقوم فهو منهم
“Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari kaum tersebut” [HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban]
Maka orang yang merayakan Ied yang selain Ied milik kaum Muslimin seolah ia bukan bagian dari kaum Muslimin. Namun hadits ini tentunya bukan berarti orang yang berbuat demikian pasti keluar dari statusnya sebagai Muslim, namun minimal mengurangi kadar keislaman pada dirinya. Karena seorang Muslim yang sejati, tentu ia akan menjauhi hal tersebut. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan ciri hamba Allah yang sejati (Ibaadurrahman) salah satunya,
والذين لا يشهدون الزور وإذا مروا باللغو مروا كراما
“Yaitu orang yang tidak ikut menyaksikan Az Zuur dan bila melewatinya ia berjalan dengan wibawa” [QS. Al Furqan: 72]
Rabi’ bin Anas dan Mujahid menafsirkan Az Zuur pada ayat di atas adalah perayaan milik kaum musyrikin. Sedangkan Ikrimah menafsirkan Az Zuur dengan permainan-permainan yang dilakukan adakan di masa Jahiliyah.
Jika ada yang berkata “Ada masalah apa dengan perayaan kaum musyrikin? Toh tidak berbahaya jika kita mengikutinya”. Jawabnya, seorang muslim yang yakin bahwa hanya Allah lah sesembahan yang berhak disembah, sepatutnya ia membenci setiap penyembahan kepada selain Allah dan penganutnya. Salah satu yang wajib dibenci adalah kebiasaan dan tradisi mereka, ini tercakup dalam ayat,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” [QS. Al Mujadalah: 22]
Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimahllah- menjelaskan : “Panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalannya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Allah memanjangkan umurmu” kecuali dengan keterangan “Dalam ketaatanNya” atau “Dalam kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadang kala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka”
[Dinukil dari terjemah Fatawa Manarul Islam 1/43, di almanhaj.or.id]
Jika demikian, sikap yang Islami dalam menghadapi hari ulang tahun adalah: tidak mengadakan perayaan khusus, biasa-biasa saja dan berwibawa dalam menghindari perayaan semacam itu. Mensyukuri nikmat Allah berupa kesehatan, kehidupan, usia yang panjang, sepatutnya dilakukan setiap saat bukan setiap tahun. Dan tidak perlu dilakukan dengan ritual atau acara khusus, Allah Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi di dalam dada. Demikian juga refleksi diri, mengoreksi apa yang kurang dan apa yang perlu ditingkatkan dari diri kita selayaknya menjadi renungan harian setiap muslim, bukan renungan tahunan.
Wallahu’alam.
Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/1584/slash/0 dan http://www.saaid.net/Doat/alarbi/6.htm
——————————————
Hukum Perayaan Hari Kelahiran (Ulang Tahun - Happy Birthday)
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya serta mereka yang mengikuti
jejak langkahnya. Amma ba’d.
Saya telah mengkaji makalah yang diterbitkan oleh koran Al-Madinah
yang terbit pada hari Senin, tanggal 28/12/1410 H. Isinya menyebutkan
bahwa saudara Jamal Muhammad Al-Qadhi, pernah menyaksikan program Abna’
Al-Islam yang disiarkan oleh televisi Saudi yang menayangkan acara yang mencakup perayaan hari kelahiran. Saudara Jamal menanyakan, apakah perayaan hari kelahiran dibolehkan Islam? dst.
Jawaban.
Tidak diragukan lagi bahwa Allah telah mensyari’atkan dua hari raya
bagi kaum muslimin, yang pada kedua hari tersebut mereka berkumpul untuk
berdzikir dan shalat, yaitu hari raya ledul Fitri dan ledul Adha
sebagai pengganti hari raya-hari raya jahiliyah. Di samping itu Allah
pun mensyari’atkan hari raya-hari raya lainnya yang mengandung berbagai
dzikir dan ibadah, seperti hari Jum’at, hari Arafah dan hari-hari
tasyriq. Namun Allah tidak mensyari’atkan perayaan hari kelahiran, tidak untuk kelahiran Nabi dan tidak pula untuk yang lainnya. Bahkan
dalil-dalil syar’i dari Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan bahwa
perayaan-perayaan hari kelahiran merupakan bid’ah dalam agama dan
termasuk tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi,
Nashrani dan lainnya. Maka yang wajib atas para pemeluk Islam untuk
meninggalkannya, mewaspadainya, mengingkarinya terhadap yang
melakukannya dan tidak menyebarkan atau menyiarkan apa-apa yang dapat
mendorong pelaksanaannya atau mengesankan pembolehannya baik di radio,
media cetak maupun televisi, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sebuah hadits shahih.
“Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami
(dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.”
[1]
Dan sabda beliau,
“Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.”[2]
Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dan dianggap mu’allaq oleh Al-Bukhari namun ia menguatkannya.
Kemudian disebutkan dalam Shahih Muslim dari Jabir Radhiyallahu
‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dalam salah satu
khutbah Jum’at beliau mengatakan.
“Amma ba’du.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik
tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap
hal baru adalah sesat.”[3]
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna. Disebutkan
pula dalam Musnad Ahmad dengan isnad jayyid dari Ibnu Umar , bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, berarti ia dari golongan mereka.”[4]
Dalam Ash-Shahihain disebutkan, dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu,
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi
sehasta, bahkan, seandainya mereka masuk ke dalam sarang biawak pun
kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Ya Rasulullah, itu kaum Yahudi
dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi.”[5]
Masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini,
semuanya menunjukkan kewajiban untuk waspada agar tidak menyerupai
musuh-musuh Allah dalam perayaan-perayaan mereka dan lainnya. Makhluk
paling mulia dan paling utama, Nabi kita Muhammad, tidak pernah
merayakan hari kelahirannya semasa hidupnya, tidak pula para sahabat
beliau pun, dan tidak juga para tabi’in yang mengikuti jejak langkah
mereka dengan kebaikan pada tiga generasi pertama yang diutamakan.
Seandainya perayaan hari kelahiran Nabi, atau lainnya, merupakan
perbuatan baik, tentulah para sahabat dan tabi’in sudah lebih dulu
melaksanakannya daripada kita, dan sudah barang tentu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya dan menganjurkan mereka
merayakannya atau beliau sendiri melaksanakannya. Namun ternyata tidak
demikian, maka kita pun tahu, bahwa perayaan hari kelahiran termasuk
bid’ah, termasuk hal baru yang diada-adakan dalam agama yang harus
ditinggalkan dan diwaspadai, sebagai pelaksanaan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Sebagian ahli ilmu menyebutkan, bahwa yang pertama kali mengadakan perayaan hari kelahiran ini adalah golongan Syi’ah Fathimiyah
pada abad keempat, kemudian diikuti oleh sebagian orang yang
berafiliasi kepada As-Sunnah karena tidak tahu dan karena meniru mereka,
atau meniru kaum Yahudi dan Nashrani, kemudian bid’ah ini menyebar ke masyarakat lainnya.
Seharusnya para ulama kaum muslimin menjelaskan hukum Allah dalam
bid’ah-bid’ah ini, mengingkarinya dan memperingatkan bahayanya, karena
keberadaannya melahirkan kerusakan besar, tersebarnya bid’ah-bid’ah dan
tertutupnya sunnah-sunnah. Di samping itu, terkandung tasyabbuh
(penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah dari golongan Yahudi, Nashrani
dan golongan-golongan kafir lainnya yang terbiasa menyelenggarakan
perayaan-perayaan semacam itu. Para ahli dahulu dan kini telah menulis
dan menjelaskan hukum Allah mengenai bid’ah-bid’ah ini. Semoga
Allah membalas mereka dengan kebaikan dan menjadikan kita semua termasuk
orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.
Pada kesempatan yang singkat ini, kami bermaksud mengingatkan kepada
para pembaca tentang bid’ah ini agar mereka benar-benar mengetahui. Dan
mengenai masalah ini telah diterbitkan tulisan yang panjang dan
diedarkan melalui media cetak-media cetak lokal dan lainnya. Tidak
diragukan lagi, bahwa wajib atas para pejabat pemerintahan kita dan
kementrian penerangan secara khusus serta para penguasa di negara-negara
Islam, untuk mencegah penyebaran bid’ah-bid’ah ini dan propagandanya
atau penyebaran sesuatu yang mengesankan pembolehannya. Semua ini
sebagai pelaksanaan perintah loyal terhadap Allah dan para hambaNya, dan
sebagai pelaksanaan perintah yang diwajibkan Allah, yaitu mengingkari
kemungkaran serta turut dalam memperbaiki kondisi kaum muslimin dan
membersihkannya dari hal-hal yang menyelisihi syari’at yang suci. Hanya
Allah lah tempat meminta dengan nama-namaNya yang baik dan
sifat-sifat-Nya yang luhur, semoga Allah memperbaiki kondisi kaum
muslimin dan menunjuki mereka agar berpegang teguh dengan KitabNya dan
Sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta waspada dari segala
sesuatu yang menyelisihi keduanya. Dan semoga Allah memperbaiki para
pemimpin mereka dan menunjuki mereka agar menerapkan syari’at Allah pada
hamba hambaNya serta memerangi segala sesuatu yang menyelisihinya.
Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas hal itu.
Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya
[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 4.hal.81]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il
Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa
Aini, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Muttafaq ‘Alaih: Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2]. Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam Al-Buyu’ dan Al-I’tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[3]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[4]. HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5093, 5094, 5634).
[5]. HR. AI-Bukhari dalam Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah (7320). Muslim dalam Al-Ilm (2669).
__________
Foote Note
[1]. Muttafaq ‘Alaih: Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2]. Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam Al-Buyu’ dan Al-I’tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[3]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[4]. HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5093, 5094, 5634).
[5]. HR. AI-Bukhari dalam Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah (7320). Muslim dalam Al-Ilm (2669).
——————————————
Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun
Tanya:
assalamualaikum.
afwan ustadz, ana mnt tolong dijelaskan tentang hukum mengucapkan “selamat ulang tahun” pd hari kelahiran, serta memberikan ucapan “selamat(met milad” kepada orang lain yang pada saat itu sedang ulang tahun. Karena setau ana merayakan ulang tahun itu haram, lantas bagaimana dengan mengucapkannya?
barokallohufiykum
abdillah [gonnabefine@rocketmail.com]
Masalah yang hampir sama juga ditanyakan oleh saudara muhammad [yogmatafalas@rocketmail.com]
Masalah yang hampir sama juga ditanyakan oleh saudara muhammad [yogmatafalas@rocketmail.com]
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
Ulang tahun termasuk di
antara hari-hari raya jahiliah dan tidak pernah dikenal di zaman Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Dan tatkala penentuan hari raya adalah
tauqifiah (terbatas pada dalil yang ada), maka menentukan suatu hari
sebagai hari raya tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah dalam agama dan
berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ
فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ, وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا
مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua
hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan
sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih
baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (idul Adh-ha) dan hari Fithr (idul
Fithri)”. (HR. An-Nasa`i (3/179/5918) dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4460)
Maka hadits ini menegaskan bahwa hari raya tahunan yang diakui dalam Islam hanyalah hari raya idul fithri dan idul adh-ha.
Kemudian, perayaan ulang tahun ini merupakan hari raya yang dimunculkan oleh orang-orang kafir. Sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”. (HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Hukum minimal
yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka
(orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang
yang tasyabbuh kepada mereka”. Lihat Al-Iqtidha` hal. 83
Dan pada hal. 84, beliau berkata, “Dengan hadits inilah, kebanyakan
ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas
orang-orang non muslim”.
Karenanya tidak boleh
seorang muslim mengucapkan selamat kepada siapapun yang merayakan hari
raya yang bukan berasal dari agama Islam (seperti ultah, natalan,
waisak, dan semacamnya), karena mengucapkan selamat menunjukkan
keridhaan dan persetujuan dia terhadap hari raya jahiliah tersebut. Dan
ini bertentangan dengan syariat nahi mungkar, dimana seorang muslim
wajib membenci kemaksiatan. Wallahu a’lam
———————————————————
HUKUM MERAYAKAN ULANG TAHUN ANAK
Oleh Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah
perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai)
dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan
dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja.
Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid’ah dalam agama Allah.
Padahal peringatan dari amalan bid’ah dan penegasan bahwa dia termasuk
sesat telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
bersabda:
“Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka”.
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya (‘Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai ‘Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya (‘Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai ‘Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu
bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari ‘Ied, maka beliau
bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari
yang lebih baik dari keduanya, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha”.
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”.
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian
ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak.
Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Allah memanjangkan
umurmu” kecuali dengan keterangan “Dalam ketaatanNya” atau “Dalam
kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang
kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang
jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita
darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan
dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti
Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan),
dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada
mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh”. [Al-A'raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa
pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka.
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan”.
[Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150
Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan,
Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama