Karena perjalanan menimbulkan banyak kesulitan, maka Allah membuat beberapa rukhshah (keringanan)
dalam ibadah, sebagai kemudahan bagi hamba-hambaNya dan rahmat atas
mereka. Di antara rukshah itu ialah diperbolehkannya menjama’ bagi orang
yang mengadakan perjalanan. Karena boleh jadi dia masuk waktu shalat
tapi mengalami satu dua hambatan dalam perjalanannya.
Diperbolehkan baginya menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar dalam salah
satu waktu di antara keduanya, menjama’ shalat Maghrib dengan Isya’
dalam salah satu waktu di antara keduanya. Semua ini merupakan keluwesan
syariat yang dibawa Rasulullah dan kemudahannya, yang berarti merupakan
karunia dari Allah, agar tidak ada keberatan dalam agama.
“Artinya : Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah e pernah menjama antara Zhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga menjama antara Maghrib dan Isya.” [1]
MAKNA HADITS
Di antara kebiasaan Rasulullah e jika mengadakan perjalanan, apalagi
di tengah perjalanan, maka beliau menjama’ antara shalat Zhuhur dan
Ashar, entah taqdim entah ta’khir. Beliau juga menjama’
antara Maghrib dan Isya, entah taqdim entah ta’khir, tergantung mana
yang lebih memungkinkan untuk dikerjakan dan dengan siapa beliau
mengadakan perjalanan. Yang pasti, perjalanan ini menjadi sebab jama’
dan shalat pada salah satu waktu di antara dua waktunya karena waktu itu
merupakan waktu bagi kedua shalat.
PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA
Para ulama saling berbeda pendapat tentang jama’ ini. Mayoritas shahabat dan tabi’in memperbolehkan jama’, baik taqdim maupun ta’khir. Ini juga merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ats-Tsaury.
Mereka berhujjah dengan hadits-hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar y,
begitu pula hadits Mu’adz, bahwa jika Rasulullah e berangkat sebelum
matahari condong, maka beliau menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar pada
waktu shalat Ashar. Beliau mengerjakan keduanya secara bersamaan. Tapi
jika beliau berangkat sesudah matahari condong, maka beliau shalat
Zhuhur dengan Ashar, lalu berangkat. Jika beliau berangkat sebelum
Maghrib, maka beliau menunda shalat Maghrib dan mengerjakannya bersama
shalat Isya. Jika beliau berangkat sesudah masuk waktu Maghrib, maka
beliau mengerjakan shalat Isya bersama shalat Maghrib. [Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidizy].
Sebagian Imam menshahihkan hadits ini. Sementara yang lain
mempermasalahakannya. Asal hadits ini ada dalam riwayat Muslim tanpa
menyebutkan jama’ taqdim.
Sementara Abu Hanifah dan dua rekannya. Al-Hasan dan
An-Nakha’y tidak memperbolehkan jama’. Mereka menakwil hadits-hadits
tentang jama’, bahwa itu merupakan jama’ imajiner. Gambarannya, menurut
pendapat mereka, beliau mengakhirkan shalat Zhuhur hingga akhir waktunya
lalu mengerjakannya, dan setelah itu mengerjakan shalat Ashar pada awal
waktunya. Begitu pula untuk shalat Maghrib dan Isya. Tentu saja ini
tidak mengenai dan bertentangan dengan pengertian lafazh jama’, yang artinya menjadikan dua shalat di salah satu waktu di antara dua waktunya,
yang juga ditentang ketetapan jama’ taqdim, sehingga menafikan cara
penakwilan seperti itu. Al-Khaththaby dan Ibnu Abdil Barr menyatakan
jama’ sebagai rukhshah. Mengerjakan dua shalat, yang pertama pada akhir
waktunya dan yang kedua pada awal waktunya, justru berat dan sulit.
Sebab orang-orang yang khusus pun sulit mencari ketetapan waktunya. Lalu
bagaimana dengan orang-orang awam ?
Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Malik menyatakan, yang
boleh dilakukan ialah jama’ ta’khir dan tidak jama’ taqdim. Mereka
menanggapi hadits-hadits yang dikatakan sebagian ulama, yang
dipermasalahkan. Mereka juga saling berbeda pendapat tentang hukum
jama’. Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur berpendapat,
perjalanan merupakan sebab jama’ taqdim dan ta’khir. Ini juga merupakan
salah satu riwayat dari Malik. Pendapat Malik dalam riwayat yang masyhur
darinya, pengkhususan darinya, pengkhususan jama’ pada waktu dibutuhkan
saja, yaitu jika sedang mengadakan perjalanan. Ini juga merupakan
pilihan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim.
Menurut Al-Bajy, ketidaksukaan Malik terhadap jama’, karena khawatir
jama’ ini dilakukan orang yang sebenarnya tidak mendapat kesulitan.
Adapun pembolehannya jika mengadakan perjalanan, didasarkan kepada
hadits Ibnu Umar. Abu Hanifah tidak memperbolehkan jama’ kecuali di Arafah dan Muzdalifah, karena untuk keperluan manasik haji dan bukan karena perjalanan.
Jumhur berhujjah dengan hadits-hadits yang menyebutkan jama’ secara
mutlak tanpa ada batasan perjalanan, ketika singgah atau ketika
mengadakan perjalanan. Begitu pula yang disebutkan di dalam Al-Muwaththa’
dari Muadz bin Jabal, bahwa pada Perang Tabuk Rasulullah e mengakhirkan
shalat, kemudian keluar shalat Zhuhur dan Ashar bersama-sama, kemudian
masuk dan keluar lagi untuk shalat Maghrib dan Isya’. Menurut Ibnu Abdil
Barr, isnad hadits ini kuat. Asy-Syafi’y menyebutkannya di dalam
Al-Umm. Menurut Ibnu Abdul Barr dan Al-Bajy, keluar dan masuknya
Rasulullah e menunjukkan bahwa beliau sedang singgah dan tidak sedang
dalam perjalanan. Ini merupakan penolakan secara tegas terhadap orang
yang menyatakan bahwa beliau tidak menjama’ kecuali ketika mengadakan
perjalanan.
Dalil Al-Imam Malik, Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim ialah hadits Ibnu Umar, bahwa jika beliau mengadakan perjalan, maka beliau menjama’ Maghrib dan Isya’, seraya berkata : “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjalanan, maka beliau menjama keduanya”.
Tapi menurut jumhur, tambahan bukti dalam beberapa hadits yang lain layak untuk diterima. Bagaimanapun
juga, bepergian mendatangkan banyak kesulitan, baik ketika singgah
maupun ketika dalam perjalanan. Rukhshah jama’ tidak dibuat melainkan
untuk memberikan kemudahan didalamnya. Ibnul Qayyim di dalam Al-Hadyu,
menjadikan hadits Mu’adz dan sejenisnya termasuk dalil-dalilnya, bahwa
rukhshah jama’ tidak ditetapkan melainkan ketika mengadakan perjalanan
(bukan ketika singgah). Adapun pendapat Abu Hanifah tertolak oleh
berbagai hadits yang shahih dan jelas maknanya.
FAIDAH HADITS
1. Seperti yang disebutkan pengarang tentang jama’ karena
perjalanan, maka disana ada beberapa alasan selain perjalanan yang
memperbolehkan jama’, di antaranya hujan. Al-Bukhary meriwayatkan bahwa
Rasulullah e menjama’ Maghrib dan Isya’ pada suatu malam ketika turun
hujan. Jama’ ini dikhususkan untuk Maghrib dan Isya’, bukan untuk Zhuhur
dan Ashar. Namun ulama lain membolehkannya juga, di antaranya Al-Imam
Ahmad dan rekan-rekannya. Begitu pula alasan sakit. Muslim meriwayatkan
bahwa Rasulullah e pernah menjama’ Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’
bukan karena takut dan hujan. Dalam riwayat lain disebutkan, bukan
karena takut dan perjalanan. Tidak ada sebab lain kecuali sakit. Banyak
ulama yang memperbolehkannya, di antaranya Malik, Ahmad, Ishaq dan
Al-Hasan. Ini juga merupakan pendapat segolongan ulama dari madzhab
Syafi’y, seperti Al-Khaththaby dan ini juga merupakan pilihan An-Nawawy
di dalam Shahih Muslim. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa Al-Imam Ahmad
menetapkan pembolehan jama’ bagi orang yang terluka dank arena
kesibukan, yang didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan tentang
masalah ini. Ada pula yang menetapkan pembolehan jama’ bagi wanita istihadhah, karena istihadhah termasuk penyakit.
2. Batasan perjalanan yang menyebabkan pembolehan jama’
diperselisihkan para ulama. Asy-Syafi’i dan Ahmad menetapkan lama
perjalanan selama dua hari hingga ke tujuan, atau sejauh enam belas
farskah.[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan pilihan bahwa apa pun
yang disebut dengan perjalanan, pendek atau jauh, diperbolehkan jama’
didalamnya. Jadi tidak diukur dengan jarak tertentu. Menurut
pendapatnya, di dalam nash Al-Kitab dan As-Sunnah tidak disebutkan
perbedaan antara jarak dekat dengan jarak jauh. Siapa yang membuat
perbedaan antara jarak dekat dan jarak jauh, berarti dia memisahkan apa
yang sudah dihimpun Allah, dengan sebagian pemisahan dan pembagian yang
tidak ada dasarnya. Pendapat Syaikhul Islam ini sama dengan pendapat golongan Zhahiriyah, yang juga didukung pengarang Al-Mughny.
Ibnul Qayyim menyatakan di dalam Al-Hadyu, tentang riwayat
yang membatasi perjalanan sehari, dua hari atau tiga hari, maka itu
bukan riwayat yang shahih.
3. Menurut jumhur ulama, meninggalkan jama’ lebih utama daripada
jama’, kecuali dalam dua jama’, di Arafah dan Muzdalifah, karena di sana
ada kemaslahatan.
KESIMPULAN HADITS
1. Boleh menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar, shalat Maghrib dengan Isya’.
2. Keumuman hadits menimbulkan pengertian tentang diperbolehkannya
jama’ taqdim dan ta’khir antara dua shalat. Beberapa dalil menunjukkan
hal ini seperti yang sudah disebutkan di atas.
3. Menurut zhahirnya dikhususkan saat mengadakan perjalanan. Diatas
telah disebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan dalil dari
masing-masing pihak. Menurut Ibnu Daqiq Al-Id, hadits ini
menunjukkan jama’ jika dalam perjalanan. Sekiranya tidak ada
hadits-hadits lain yang menyebutkan jama’ tidak seperti gambaran ini,
tentu dalil ini mengharuskan jama’ dalam kondisi yang lain.
Diperbolehkannya jama’ di dalam hadits ini berkaitan dengan suatu sifat
yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Jika jama’ dibenarkan ketika
singgah, maka pengamalannya lebih baik, karena adanya dalil lain tentang
pembolehannya diluar gambaran ini, yaitu dalam perjalanan. Tegaknya
dalil ini menunjukkan pengabaian pengungkapan sifat ini semata. Dalil
ini tentu tidak dapat dianggap bertentangan dengan pengertian di dalam
hadits ini, karena pembuktian pembolehan apa yang disampaikan di dalam
gambaran ini secara khusus, jauh lebih kuat.
4. Hadits ini dan juga hadits-hadits lainnya menunjukkan bahwa
jama’ dikhususkan untuk shalat Zhuhur dengan Ashar, Mgahrib dengan Isya,
sedangkan Subuh tidak dapat dijama’ dengan shalat lainnya.
Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam
Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam
[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul
Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul
Falah]
[1]
Ini lafazh Al-Bukhary dan bukan Muslim, seperti yang dikatakan Abdul
haq yang menghimpun Ash-Shahihain. Ibnu Daqiq Al-Id juga mengingatkan
hal ini. Mushannif mengaitkan takhrij hadits ini kepada keduanya, karena
melihat asal hadits sebagaimana kebiasaan para ahli hadits, karena
Muslim mentakhrij dari riwayat Ibnu Abbas tentang jama’ antara dua
shalat, tanpa mempertimbangkan lafazhnya. Inilah yang telah disepakati
bersama. Menurut Ash-Shan’any, Al-Bukhary tidak metakhrijnya kecuali
berupa catatan. Hanya saja dia menggunakan bentuk kalimat yang pasti.
[2]
Satu farskah sama dengan empat mil. Satu mil sama dengan satu setengah
kilometer. Enam belas farsakh sama dengan enam puluh empat mil, atau
sama dengan sembilan puluh enam kilometer.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama