Pembaca yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, kebahagiaan yang hakiki dalam hidup ini adalah ketika seorang hamba dijauhkan oleh Allah ta’ala dari siksa api neraka dan ketika Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka
sungguh dia telah memperoleh kemenangan, dan bukanlah kehidupan dunia
melainkan kehidupan yang menipu.” (QS. ‘Ali Imran: 185) Syaikh As Sa’diy rahimahullah
mengatakan, “Orang yang memperoleh kemenangan adalah mereka yang
selamat dari adzab yang pedih, dia bisa menikmati berbagai macam
kenikmatan di surga. Kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata
manusia sebelumnya, belum pernah didengar oleh telinga manusia, dan
belum pernah terlintas di dalam hati manusia.”[1] Demikianlah
seharusnya orientasi kehidupan seorang muslim, menjadikan kebahagiaan
akhirat sebagai puncak cita dan harapannya.
Tauhid, Kunci Kebahagiaan Manusia
Setelah
kita mengetahui bahwa kabahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan
akhirat, yaitu ketika manusia menikmati kenikmatan surga, sudah
selayaknya kita memahami apa sarana yang dapat menghantarkan seseorang
menuju surga dengan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya.
Saudaraku, ketahuilah bahwa kunci kebahagiaan tersebut adalah tauhid, menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah ta’ala semata.
Barangsiapa yang dapat merealisasikan tauhid dalam seluruh perjalanan
hidupnya, dan menjauhi kesyirikan maka sungguh dia adalah orang yang
memperoleh kemenangan yang besar.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Yaitu orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan
dengan kedzoliman (kesyirikan[2]), mereka lah orang-orang yang mendapat
rasa aman dan mendapatkan petunjuk” (Al An’am:82)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ketika beliau menerangkan hakikat hak Allah kepada shahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu
‘anhu, “Sesungguhnya hak Allah yang wajib dipenuhi hambanya adalah
hendaklah mereka beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat
kesyirikan sedikit pun, dan hak hamba yang akan dipenuhi oleh Allah, adalah Allah tidak akan mengadzab orang-orang yang tidak berbuat kesyirikan”[3]
Syaikh As Sa’diy rahimahullah
menjelaskan bahwa diantara keutamaan orang yang merealisasikan tauhid
adalah terbebasnya ahli tauhid dari kekekalan siksa neraka, bisa jadi
orang tersebut disiksa di neraka untuk menghapus dosa-dosanya, namun
tidak selama-lamanya. Tetapi jika ahli tauhid mampu merealisasikan
tauhid dengan sebenar-benarnya, maka niscaya Allah ta’ala akan menjaga dirinya dari siksa api neraka secara sempurna.[4]
Kesempurnaan
tauhid yang terpateri dalam hati seorang ahli tauhid akan
memerdekakannya dari penghambaan diri dan ketergantungan hati kepada
makhluk, akan membebaskan diri dari rasa takut dan berharap kepada
makhluk. Inilah hakikat dari kemuliaan seorang manusia.[5] Hanyalah
kepada Allah, seorang ahli tauhid akan menghambakan diri dan
menggantungkan hatinya.
Hakikat Merealisasikan Tauhid
Seorang
hamba yang merealisasikan tauhid maknanya adalah mensucikan diri dari
segala cabang-cabang kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan.[6]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan
secara ringkas bahwa makna ‘merealisasikan tauhid’ adalah membersihkan
diri dari noda-noda kesyirikan. Ini tidak akan pernah terwujud dalam
diri hamba melaikan terpenuhi tiga perkara: Al Ilmu (mengetahui makna tauhid), Al I’tiqod (meyakini kandungan tauhid) dan Al Inqiyad (tunduk
terhadap konsekuensi-konsekuensi tauhid).[7] Jika ketiga hal tadi
telah terwujud dan terbukti secara nyata pada seseorang (secara umum)
maka masuk surga tanpa hisab menjadi jaminan bagi dirinya.
Lihatlah Balasan bagi Sang Perealisasi Tauhid
Saudaraku, diantara balasan orang yang merealisasikan tauhid adalah masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, dalam hadits yang panjang:
“Telah
diperlihatkan kepada diriku umat-umat manusia. Aku melihat seorang
Nabi yang bersamanya beberapa orang dan bersamanya satu dan dua orang,
serta seorang Nabi yang tidak ada seorang pun bersamanya. Tiba-tiba
ditampakkan kepada diriku sekelompok manusia yang berjumlah banyak, dan
aku pun mengira bahwa mereka adalah umatku. Tetapi dikatakan kepadaku,
‘Ini adalah Musa bersama kaumnya’. Lalu tiba-tiba aku melihat
sekelompok manusia yang banyak pula. Kemudian dikatakan kepadaku ini
adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab”.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangkit dan bergegas masuk ke dalam rumahnya. Maka para shahabat mulai
membicarakan siapakah mereka itu. Di antara mereka ada yang
mengatakan, ‘Mungkin mereka adalah orang-orang yang menjadi shahabat
Rasulullah’. Ada lagi yang mengatakan, ‘Mungkin mereka adalah
orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga mereka
tidak pernah berbuat kesyirikan’. Dan ada di antara mereka yang
menyebutkan kemungkinan lainnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan menemui mereka dan menjelaskan, “Mereka
adalah orang-orang tidak meminta diruqyah, tidak meminta diobati
dengan cara kai (menempel luka dengan besi panas), tidak melakukan
tathayur, dan mereka adalah orang-orang yang bertawakal kepada Rabb
mereka”. (HR. Bukhari 5705, 6541 dan Muslim 220)
Makna Istirqa’ (Meminta untuk Diruqyah oleh Orang Lain)
Ruqyah adalah
bacaan-bacaan tertentu untuk perlindungan yang dibacakan kepada
seseorang yang menderita penyakit, semisal penyakit demam, penyakit
ayan dan penyakit yang lainnya.[8] Pada asalnya, ruqyah adalah sebagaimana cara pengobatan pada umumnya. Ada beberapa syarat yang harus ada agar ruqyah tersebut tergolong ruqyah yang disyariatkan.
Diantara syarat-syarat ruqyah yang disyari’atkan adalah: (1) Tidak meyakini bahwa ruqyah tersebut mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tanpa izin dari Allah ta’ala.
(2) Tidak mengandung kata-kata yang menyelisihi syariat, semisal
lafadz-lafadz doa kepada selain Allah, meminta bantuan kepada jin dan
yang semisalnya. (3) Lafadz-lafadz ruqyah hendaklah dapat dipahami maknanya.[9]
Adapun
ruqyah yang tidak memenuhi syarat di atas, maka merupakan ruqyah yang
terlarang, bisa menjadi sarana kesyirikan atau bahkan bisa termasuk ke
dalam syirik besar.
Ibnul Qayyim, menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallahu,
menjelaskan bahwa yang terlarang adalah meminta untuk diruqyah oleh
orang lain. Karena pada diri orang yang meminta diruqyah, terdapat
kecondongan dan penyandaran hati kepada selain Allah ta’ala. Adapun jika kita meruqyah orang lain, maka hal ini tidak termasuk dalam larangan makruh ini.[10] Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah meruqyah[11] diri beliau sendiri, demikian pula Malaikat Jibril
pernah meruqyah beliau[12], demikian pula para shahabat juga pernah
meruqyah.[13]
Makna Pengobatan Kai
Pengobatan kai adalah
pengobatan dengan cara menempelkan besi panas pada luka dengan tujuan
agar darah yang keluar dari luka cepat mengering dan berhenti.
Ibnul Atsir rahimahullahu membawakan pendapat bahwa hukum pengobatan kai
adalah terlarang jika digunakan sebagai media pencegahan penyakit,
namun hukumnya mubah ketika ada kebutuhan.[14] Hanya saja, seseorang
yang tidak meminta diobati dengan cara kai, menunjukkan adanya kesempurnaan tawakal kepada Allah ta’ala.
Makna Tathayur
Ibnu Atsir rahimahullahu dalam kitabnya An Nihayah menjelaskan, tathayur adalah merasa sial terhadap sesuatu, yang karenanya dia membatalkan niat untuk melakukan aktivitasnya.[15] Tathayur diambil dari kata ‘thairun’
(Indonesia: burung), karena orang arab biasa beranggapan sial atau
merasa beruntung dengan mengaitkannya dengan burung. Ketika hendak
safar, dalam rangka ‘penunjuk jalan’, mereka menggertak burung, jika
burung terbang ke arah kanan maka mereka meneruskan perjalanannya,
tetapi jika burung ke arah kiri, maka mereka membatalkan perjalanan
mereka.[16]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah
adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, tidak
ada seorang pun di antara kita melainkan (dalam hatinya terdapat hal
ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakalnya”[17] (Thiyarah -dalam bahasa arab- adalah bentuk jamak dari tathayur)
Tathayur adalah perkara yang terlarang dalam agama Islam, karena tathayur menyebabkan berkurangnya kemurnian tauhid seseorang. Seseorang yang melakukan tathayur maka dia telah bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada selain Allah ta’ala, dan dia telah melakukan sebab yang pada hakikatnya tidak ada kaitan dan hubungannya sama sekali dengan keinginannya.[18]
Tawakal hanya kepada Allah ta’ala Semata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sifat yang terakhir dari orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azdab adalah bertawakal kepada Allah ta’ala. Inilah pangkal dari segalanya. Tawakal adalah penyandaran hati dengan sebenarnya kepada Allah ta’ala dalam mewujudkan kebaikan dan dalam menangkal bahaya, dengan diiringi usaha-usha yang diijinkan dalam syari’at Islam.
Sebab
utama yang menghantarkan seseorang masuk surga tanpa hisab dan tanpa
adzab, adalah adanya kesempurnaan tauhid pada dirinya. Karena
kesempurnaan tauhid dan penyandaran hati kepada Allah itulah, mereka
enggan untuk meminta ruqyah, meminta di-kay kepada orang lain, karena pada hakikatnya perbuatan semacam itu sangat besar kemungkinan hilangnya tawakal kepada Allah ta’ala dalam dirinya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (Ath Tholaq : 3).
Tawakal pun Membutuhkan Usaha
Bukanlah
maksud hadits di atas, seseorang tidak perlu berusaha dalam mewujudkan
keinginannya, hanya berpangku tangan menunggu pertolongan Allah
datang. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan[19] bahwa, tawakal harus memenuhi dua hal, yaitu (1) Penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah ta’ala, (2) Melakukan sebab-sebab yang diijinkan dalam syari’at.
Kedua
hal tersebut harus beriringan, tidak boleh seseorang bersandar kepada
Allah tanpa ada usaha sedikit pun, atau melakukan usaha tanpa
menyandarkan hati kepada Allah ta’ala. Ibnul Qayyim rahimahullahu
mengatakan, ”Barang siapa yang meniadakan sebab dalam usahanya, maka
hal ini menunjukkan kecacatan tawakalnya, barang siapa yang tidak
berusaha maka hanya akan menjadikan harapannya sebatas angan-angan
semata.”[20]
Semoga Allah ta’ala menjadikan kita sebagai bagian dari barisan muwahhidin (ahli tauhid), yang mendapatkan janji dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab. Amiin.
_____________
[1] Taisir Karimirrahman, hal. 159, Cetakan Maktabah Ar Rusyd
[2] Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, riwayat Bukhari no. 3360 dan Muslim no.124
[3] HR. Bukhori, no.2856
[4] Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.57
[5] Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.60
[6] Fathul Majiid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, hal. 75
[7] Al Qoulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, hal. 91.
[8] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[9] Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 187
[10] Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Maktabah Syamilah
[11] HR. Bukhari, Kitab At Thibi, Bab Ruqyatun Nabiy, no. 5744
[12] HR. Muslim, Kitab As Salam, Bab At Thibi wal Marodhi war Ruqa, no. 5828
[13] HR. Bukhari, no. 2276, 5007
[14] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[15] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[16] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 1, hal. 559
[17] HR. Abu Dawud, no 3912, di shahihkan oleh Syaikh Al Albani
[18] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,jilid 1, hal. 560
[19] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 2, hal. 8
[20] Al Fawa’id, Hakikat At Tawakul wa Darajatuhu, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, cetakan Maktabah Ar Rusyd, hal. 139.
[2] Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, riwayat Bukhari no. 3360 dan Muslim no.124
[3] HR. Bukhori, no.2856
[4] Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.57
[5] Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.60
[6] Fathul Majiid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, hal. 75
[7] Al Qoulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, hal. 91.
[8] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[9] Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 187
[10] Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Maktabah Syamilah
[11] HR. Bukhari, Kitab At Thibi, Bab Ruqyatun Nabiy, no. 5744
[12] HR. Muslim, Kitab As Salam, Bab At Thibi wal Marodhi war Ruqa, no. 5828
[13] HR. Bukhari, no. 2276, 5007
[14] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[15] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[16] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 1, hal. 559
[17] HR. Abu Dawud, no 3912, di shahihkan oleh Syaikh Al Albani
[18] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,jilid 1, hal. 560
[19] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 2, hal. 8
[20] Al Fawa’id, Hakikat At Tawakul wa Darajatuhu, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, cetakan Maktabah Ar Rusyd, hal. 139.
Sumber : http://buletin.muslim.or.id/aqidah/masuk-surga-tanpa-hisab-dan-tanpa-adzab
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama