SETIAP manusia dalam profesi apapun, status
sosial bagaimanapun berusaha dengan seluruh kemampuan, potensi yang
dimilikinya untuk memburu kebahagiaan. Mencari bahagia adalah fitrah
manusia. Tidak peduli dia adalah; penjahat, koruptor, tiran, pelacur,
bromocora, wts, semua tidak ingin keturunannya mewarisi perbuatan
buruknya. Hal ini membuktikan bahwa fitrah manusia adalah lurus, suci.
Rindu kepada kebenaran (kejujuran) dan anti kebatilan (kebohongan).
Tidak ingin sengsara di dunia dan celaka di akhirat.
Orang mengatakan bahwa bahagia itu dirasakan ketika kebutuhan lahir
dan batin terpenuhi. Maka, manusia mendata deretan kebutuhan tersebut
dan bekerja keras untuk memenuhinya. Di antara kebutuhan jasmani, makan
dengan kenyang, hidup berkecukupan, tidur nyenyak, pakaian terpenuhi,
tempat tinggal layak, naluri biologis tersalurkan pada jalur yang benar,
kesehatan dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan rohani, kasih sayang, rasa
aman, harga diri, keberhasilan (karir), kebebasan (tidak terkekang),
ada ruang potensialisasi dan aktualisasi diri, terpuaskan rasa ingin
tahunya dan lain-lain.
Hanya yang menjadi pertanyaan, pernahkah dalam pasang surut kehidupan
manusia baik dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat, tercipta
situasi dan kondisi di mana dua kebutuhan pokok tersebut terpenuhi
secara berkesinambungan dan permanen?
Tentu, tidak mungkin terjadi. Sebab karakteristik kehidupan dunia
sangat fluktuatif. Selalu mengalami perubahan yang sangat cepat dan
dinamis. Sesungguhnya orang yang mendambakan kebahagiaan bukan
disebabkan oleh kondisi eksternal dirinya, tetapi justru terciptanya
kondisi internal dalam dirinya (rohaninya) yang memberikan gambaran
mental positif, motivasi, spirit, gelora, bahagia dalam kondisi
bagaimanapun. Dua kondisi yang kontradiktif, sedih-gembira,
kegagalan-kesuksesan, suka-duka, sehat-sakit, bisa dinikmati dan
dimaknai sebagai bagian dari romantika kehidupan.
Jadi, bahagia bukan berbentuk benda yang dicari di mall, tempat
rekreasi, swalayan. Tetapi, bahagia itu hanya diberikan oleh Allah
subhanahu wata’ ala. kepada hamba yang dikasihi-Nya. Hamba yang
mendatangi-Nya dengan hati yang sehat (qalbun salim), steril dari
penyakit yang menjadi embrio pelanggaran manusia di pentas sejarah,
yakni sombong, dengki, dendam dan serakah.
Suatu yang ironis, kebanyakan manusia mencari kebahagiaan dengan
cara-cara yang menyimpang. Sehingga, semakin lama ia menempuh perjalanan
untuk memperolehnya, bahagia itu semakin menjauh. Mereka mengira nan
jauh di sana tampak berupa air dilihat lewat jendela kendaraan yang
dinaikinya, setelah didatanginya hanya berupa fatamorgana belaka.
Fir’aun dan kelompoknya mencari kebahagiaan melalui kerajaan. Namun,
kerajaan yang dibangunnya selama berabad-abad tidak ditopang oleh iman,
bukan pula kekuasaan yang dipagari oleh ketaatan kepada-Nya. Lihatlah
Fir’aun ketika berpidato di hadapan pengikutnya!
“Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai
kaumku, bukan¬kah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah)
sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat
(nya).” (QS. az-Zuhruf [43]: 51)
Fir’aun lupa bahwa yang memiliki kerajaannya itu sesungguhnya hanya
Allah subhanahu wata’ ala, yang memberikan Mesir adalah Allah subhanahu
wata’ ala, yang mengumpulkan manusia-manusia Bani Israil itu sehingga
siap dipekerjakan dengan cara paksa untuk membangun piramida adalah
Allah subhanahu wata’ ala., yang memberinya makan dan minum adalah Allah
subhanahu wata’ ala. Namun, yang menghidupkan dan mematikannya adalah
Allah subhanahu wata’ ala, ia dengan kesombongannya tidak mengakui
prinsip ini.
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ
إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَا هَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَل لِّي
صَرْحاً لَّعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ
مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui
Tuhan bagimu selain Aku, maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat
(mem¬buat batu bata) kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi
supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku
benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.” (QS. al-Qashash [28]: 38)
Maka balasan dari ketakaburan, pembangkangannya adalah tidak saja ia
tidak memperoleh kebahagiaan yang dicari dengan susah payah, melainkan
ia pun diliputi penderitaan, kehancuran dan laknat dari Allah subhanahu
wata’ ala. Semua yang dimilikinya tidak men¬datangkan kebaikan untuk
dirinya, keluarganya, bangsanya. Bahkan semua prestasi yang diukirnya
hanya menciptakan lubang ke-hancurannya di kemudian hari.
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوّاً وَعَشِيّاً وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang (sebelum
hari berbangkit), dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada
malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat
keras.” (QS. al-Mu’min [40]: 46)
Qarun juga termasuk orang yang salah jalan dalam mencari kebahagiaan.
Allah subhanahu wata’ ala menganugerahkan bergudang-gudang harta yang
tidak ia raih dengan kerja kerasnya, kecerdasannya, keringat¬nya, dan
tidak pula dengan penguasaannya dalam menerapkan prinsip-prinsip
ekonomi. Ia kira hanya dirinya sendiri yang me¬rasakan kebahagiaan.
Maka, ia mengingkari atas nikmat dan karunia-Nya, dengan enggan untuk
mengeluarkan hak Allah subhanahu wata’ ala. di dalam kekayaannya. Bahkan
berbuat kerusakan di muka bumi ini. Maka Allah subhanahu wata’ ala
tidak menghilangkan keburukan dirinya. Bahkan mem¬berikan balasan yang
menyakitkan. Akibat perbuatannya, Allah subhanahu wata’ ala.
membenamkannya dan seluruh kekayaannya di perut bumi.
“Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka
tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya ter¬hadap azab
Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela
(dirinya).” (QS. al-Qashash [28]: 81)
Al-Walid ibn Mughirah (tokoh Jahiliyah klasik) diberikan sepuluh
orang anak yang selalu dibawanya dalam setiap pesta. Lima di sebelah
kanan, sedangkan yang lima lainnya di sebelah kiri. Namun ia lalai, ia
tertipu, ia lupa bahwa Allah subhanahu wata’ ala. menciptakannya seorang
diri. Akibat kesombongannya, Allah subhanahu wata’ ala. mengambil
anak-anaknya, sehingga menjadi tentara-tentara yang memerangi Allah
subhanahu wata’ ala.
“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah
men¬ciptakan¬nya sendirian (al-Walid ibn al-Mughirah). Dan Aku jadikan
baginya harta benda yang banyak, Dan anak-anak yang selalu bersama Dia.
Dan Ku lapangkan baginya (rezeki dan kekuasaan) dengan
selapang-lapangnya, kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya.
Sekali-kali tidak (akan Aku tambah), karena sesungguhnya dia menentang
ayat-ayat kami (al-Qur’an).” (QS. al-Muddatsir [74]: 11-16)
Bahkan tak sedikit orang memburu kebahagiaan dengan ketenaran
(popularitas), ia menghabiskan waktunya untuk mencari dan mencuri
perhatian orang. Akhirnya Allah subhanahu wata’ ala. mencabut
kebahagiaan yang dicarinya sampai ke akar-akarnya, sehingga menggagalkan
segala usaha yang dilakukan.
أَنزَلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا
فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَداً رَّابِياً وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي
النَّارِ ابْتِغَاء حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِّثْلُهُ كَذَلِكَ
يَضْرِبُ اللّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ
جُفَاء وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الأَرْضِ كَذَلِكَ
يَضْرِبُ اللّهُ الأَمْثَا
“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada
harganya; ada¬pun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di
bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS. ar-Ra’du [13]: 17)*
Oleh: Shalih Hasyim
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama