Perhatikanlah Ini Wanita Saat Engkau Beraktivitas Menuju Kehidupan Umum-mu

(Hayaatul ‘Am)

Islam telah memberikan ruang kepada para wanita untuk keluar dari rumah atau kehidupan khususnya (Hayatul Khassah) untuk menunaikan kepentingan hidupnya, atau untuk mengurus sendiri kebutuhan hidupnya. Islam pun telah membolehkan adanya interaksi antara pria dan wanita untuk melaksanakan berbagai taklif hukum dan berbagai aktivitas lainnya.


Walau pun demikian, Islam sangatlah berhati-hati menjaga dalam masalah ini. Tidaklah di satu sisi Islam membolehkan wanita ke luar dari kehidupan khususnya namun membiarkan sahaja tata aturan saat mereka beraktivitas dan berinteraksi di kehidupan umum (Hayaatul ‘Am). Sungguh tidak. 

Dalam Islam hukum-hukum syariat sangatlah banyak dan beragam. Sebagian di antaranya terkait dengan sebagian yang lain. Seorang wanita – mau pun pria – wajib mengikatkan dirinya dengan hukum-hukum syariat secara keseluruhan, sehingga tidak terjadi kontradiksi dalam diri seorang muslimah yang menyebabkan hukum-hukum Islam terlihat seperti saling bertentagan.

Tatkala Islam membolehkan seorang wanita melakukan berbagai aktivitas di luar rumah menuju kehidupan umum, seperti pergi ke sekolah, ke kampus, ke kantor, ke pasar, atau ke tempat lainnya yang diperbolehkan syara’, Islam memerintahkannya untuk menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki yang memenuhi kriteria irkha’ -menutup dua telapak kaki bukan menutup mata kaki- yang di dalam jilbabnya tsb terdapat pakaian mihnah (pakaian sehari-hari wanita di kehidupan khusus/rumah), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, karena pakaian sejenis ini hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]: 60). Selain itu pakaian tsb tidak tipis (jilbab tipis, kerudung tipis, kaos kaki tipis), sehingga kelihatan warna kulit rambutnya, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya.

Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:

“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].

Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah :

“Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”

Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan sabdanya:

“Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”

Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.

Dengan demikian wanita harus memperhatikan dua syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain.

Selain itu pun tidak akan memodifikasi atau menyamarkan bentuk jilbabnya seolah-olah seperti berpotongan dan segera melepaskan jaketnya ketika sampai di tujuan/turun dari kendaraannya.

Meskipun ia telah menutup auratnya secara sempurna dengan jilbab (jubah) dan khimar (kerudung), namun Islam melarangnya untuk keluar rumah dalam keadaan ber-tabarruj dengan berdandan bersolek sedemikian rupa, memakai wangi-wangian, dan menggunakan perhiasan yang berbunyi saat ia berjalan, serta menggunakan jilbab dan khimar yang menyolok yang tidak menjadi kebiasaan di wilayah setempat.

Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60).

Pemahaman dari ayat ini adalah larangan ber-tabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa ber-tabarruj.
Firman Allah SWT:

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).

Seperti yang diriwayatkan dari Abu Musa al-’Asyari, bahwa Rasul saw. bersabda:

“Perempuan siapa saja yang memakai wangi-wangian lalu berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya, maka perempuan itu seperti seorang pezina.” [HR an-Nasai, Tirmidzi, Abu Dawud, ad-darimi, Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban dan baihaqi]

Begitu pula saat ia menggunakan khimar (kerudung), ia tidak akan menyengaja menggunakan dalaman siput seolah-olah ia memiliki rambut yang panjang atau mengikat dan menarik rambutnya ke atas dan mengikatnya dengan kencang atau menatanya sedemikian rupa sehingga menyerupai punuk unta. Karena ia teringat akan pesan Nabi saw.,

“Dua golongan di antara penghuni neraka yang belum aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang yang cenderung dan mencenderungkan orang lain, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga. sesungguhnya aroma surga itu bisa tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” [HR Muslim]

Hadis ini walaupun menggunakan redaksi berita, tetapi bermakna thalab li-tark (tuntutan untuk meninggalkan) perbuatan atau karakter yang diberitakan. Indikasinya yaitu celaan dalam bentuk lafal “di antara penghuni neraka” ditegaskan lagi dengan “tidak akan masuk surga” dan “tidak mencium aroma surga”. Ini menunjukkan bahwa hal yang diberitakan tsb adalah haram.

Dalam tafsir yang mashur “kepala mereka seperti punuk unta yang miring” bermakna membesarkan kepala dengan kerudung atau serban atau sebagainya yang disambungkan atau ditumpuk di atas rambut sehingga seperti punuk unta. Juga dapat dimaknai dengan menarik rambut ke atas atau menatanya sedemikian rupa sehingga menyerupai punuk unta.

Syariat nan mulia ini pun tidak akan membiarkan seorang wanita ke luar dari kehidupan khususnya dengan berkhalwat walaupun ia senantiasa menundukkan pandangan. Ia tidak akan menaiki ojek dan rela berjalan kaki demi menghindari berkhalwat. Atau ia tidak akan menaiki Taxi jika ia tidak bersama mahromnya atau teman wanitanya, atau ia tidak akan bersama sopir pribadinya di dalam mobil yang ia miliki kecuali sopir itu mempunyai hubungan kekerabatan dengannya atau sahabat keluarganya dan si wanita biasa ditemani oleh satu orang kenalan sopir atau wanita itu yang bisa dipercaya, atau dengan disertai satu orang mahram-nya, atau ia tidak akan berduaan dengan pimpinan laki-lakinya dalam satu ruangan kerja. Hingga ia pun tidak akan menunaikan ibadah haji tersebab tiada mahrom bersamanya.

Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw, berkhutbah sebagai berikut:

“Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu disertai seorang mahramnya. Tidak boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai mahram-nya. Tiba-tiba salah seorang sahabat berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., sesungguhnya istriku hendak pergi menunaikan ibadah haji, sedangkan aku merencanakan pergi ke peperangan ini dan peperangan itu.” Rasulullah saw. Menjawab, “Pergilah engkau menunaikan ibadah haji bersama istrimu.”

Selain itu Islam telah melarang pula para wanita untuk bercampur-baur (berikhtilat) dengan para lelaki dalam aktivitas yang bukan dalam aktivitas muamalah (ikhtilat yang diperbolehkan), Ia tidak akan berjalan bersama-sama sepulang sekolah/kuliah/kerja atau makan bersama-sama dalam satu meja.

Begitu pun dalam aktivitas muamalah (ikhtilat yang diperbolehkan) tetap ia akan berada bersama jama’ah wanita (memisahkan diri dari jama’ah pria), seperti ia tidak akan bercampur-baur duduk bersama dengan para lelaki saat kuliah atau rapat, atau bercampur-baur melakukan foto-foto bersama, atau menghadiri perayaan (haflah)/pesta pernikahan atau reunin yang tiada keterpisahan antara lelaki dan wanita. Atau saat ia bercampur-baur di dalam bis, ia tidak akan berbincang-bincang dengan lelaki asing yang berada disebelahnya walau pun ia boleh berada di dalam bis tsb. Sungguh, Islam telah menggariskan, keterpisahan laki-laki dan perempuan adalah sebuah kefarduan dan bersifat umum.

Begitu pula saat Islam membolehkan wanita bekerja, Islam pun melarang seorang wanita melakukan pekerjaan yang menonjolkan sensualitas kewanitaannya. Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mencari pekerjaan dengan mengandalkan keahlian, bukan modal tampang, suara mendesah dan mendayu, kulit yang mulus serta tubuh seksi.

Rafi’ bin Rifa’ah menuturkan: ‘Nabi Saw telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda: ‘Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal atau pengukir.”

Sehingga seorang wanita tidak akan mau menjadi model walau pun bekerja sebagai model jilbab (jubah/gamis) dan khimar (kerudung) yang dengan wajah cantiknya tsb akan dapat menarik pembeli. Atau melakukan pekerjaan lainnya yang mengesploitasi unsur sensualitas kewanitaannya, seperti ‘sekretaris’, pramugari, dan sejenisnya.

Selain itu Islam telah pula melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) selama sehari semalam dan menetap di tempat safar tsb tidak lebih dari 3 hari 3 malam, kecuali disertai mahrom-nya. Rasulullah saw, bersabda:

“Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika disertai mahram-nya.”

Dari sini tampak jelas, bahwa hukum-hukum syariat datang untuk menjamin agar tidak ada kerusakan yang muncul saat seorang wanita menuju kehidupan umumnya, sehingga akan senantiasa berada dalam koridor kesucian dan ketakwaan. Namun hukum-hukum ini akan tetap terkait dengan hukum-hukum Allah lainnya yang dilaksanakan oleh masyarakat dan ditegakkan oleh Negara sebagai pilar utamanya.

Merindulah kita agar tidak hanya hukum-hukum syariat dalam tataran individu sahaja yang dapat kita laksanakan, lebih dari itu kita sangat merindu hukum-hukum Allah tegak secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah. Insyaallah. 

Wallahu a’lam
Share on Google Plus

About Admin

Khazanahislamku.blogspot.com adalah situs yang menyebarkan pengetahuan dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikutnya.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment


Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com

Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama