Terkadang
seorang anak harus menghadapi orang tua yang belum mengerti tentang
ajaran Islam. Sebagai akibatnya, ia harus menyaksikan orang yang sangat
ia cintai dan hormati melakukan perbuatan maksiat atau
menghalang-halangi si anak dari perbuatan amal shaleh.
I. RUANG LINGKUP PENGERTIAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Pengertian birrul wâlidain (berbakti kepada kedua orang tua) ialah
mencurahkan seluruh jenis kebaikan bagi mereka. Syaikh al-’Utsaimîn rahimahullâh memaparkannya dalam bentuk-bentuk berikut ini:
1. Berbakti kepada orang tua dalam bentuk ucapan.
Allâh Ta’âla berfirman:
….. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
(Qs al-Isrâ`/17:23)
(Qs al-Isrâ`/17:23)
Ini perlakuan saat orang tua telah berusia uzur. Biasanya ketika
telah memasuki usia senja (pikun), tindak-tanduk orang tua tampak tidak
normal di hadapan orang lain. Walaupun demikian, Allâh Ta’âla
memerintahkan: “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan ‘Ah’)”, maksudnya jangan berbuat seperti itu kepada
mereka disebabkan kegusaran atas tindak-tanduk mereka (dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia).
2. Bakti kepada orang tua juga dalam bentuk perbuatan
yaitu dengan cara seorang anak menghinakan diri di hadapan orang
tuanya, dan tunduk patuh kepada mereka dengan cara-cara yang dibenarkan
syariat dalam rangka menghormati kedudukan mereka. Allâh Ta’âla
berfirman:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:
“Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
(Qs al-Isrâ`/17:24)
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:
“Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
(Qs al-Isrâ`/17:24)
3. Berbakti juga dapat dilakukan dengan pemberian materi kepada orang tua.
Orang tua berhak memperoleh infak dari anaknya. Bahkan ini termasuk
bentuk infak yang agung. Sebab Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيْكَ
Engkau dan kekayaanmu adalah milik bapakmu
(HR. Abu Dâwud no. 3530, Ibnu Mâjah no. 2292)
(HR. Abu Dâwud no. 3530, Ibnu Mâjah no. 2292)
4. Bentuk bakti kepada orang tua yang lain, dengan melayani mereka dalam menyelesaikan atau membantu urusan maupun pekerjaan mereka.
Namun bila meminta tolong dalam perkara yang diharamkan, saat itu tidak
boleh bagi anak untuk menyambut permintaan mereka. Justru, penolakannya
menjadi cermin bakti anak kepada orang tua, berdasarkan sabda
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam :
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِـمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ
هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِـمًا قَالَ
تَـمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ
Tolonglah saudaramu saat berbuat zhalim atau teraniaya.
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Wahai Rasulullah, kalau menolong orang yang teraniaya kami sudah mengerti, bagaimana dengan menolong saudara yang berbuat zhalim?” Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Dengan menghalang-halanginya berbuat zhalim”.
(HR. al-Bukhâri, Muslim dan Ahmad)
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Wahai Rasulullah, kalau menolong orang yang teraniaya kami sudah mengerti, bagaimana dengan menolong saudara yang berbuat zhalim?” Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Dengan menghalang-halanginya berbuat zhalim”.
(HR. al-Bukhâri, Muslim dan Ahmad)
Misalnya, orang tua memerintahkan membeli sesuatu yang diharamkan,
kemudian si anak menolaknya. Anak ini tidak disebut sebagai anak
durhaka, akan tetapi merupakan putra yang berbakti kepada orang tuanya,
karena telah menahan orang tuanya dari berbuat yang haram.[1]
II. TELADAN YANG BAIK DARI NABI IBRAHIM ‘ALAIHISSALAM
Allâh Ta’âla sudah menyatakan bahwa Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam
merupakan qudwah hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia. Sebagai
contoh, kegelisahan mendalam yang beliau rasakan karena sang bapak
(Azar), masih bergelut dengan penyembahan berhala dan patung-patung.
Tiada kata putus asa bagi Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam. Allah Ta’ala telah
berfirman (mengisahkan) di beberapa surat di dalam al-Qur‘ân bagaimana
besarnya sopan-santun dan kegigihan beliau mendakwahi orang tua.
Yang menarik dan mesti ditiru oleh seorang anak saat menghadapi
perbuatan maksiat orang tua mereka adalah Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam
selalu menghiasi diri dengan sifat al-hilm (bijak dan penuh kelembutan) seperti tertera dalam surat at-Taubah ayat 114.
Allâh Ta’âla berfirman:
Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun (Qs. at-Taubah/9:114)
Beliau ‘alaihissalam mempunyai kasih-sayang terhadap sesama,
dan memaafkan perlakuan-perlakuan tidak baik kepadanya yang muncul dari
orang lain. Sikap tidak sopan orang lain tidak membuat beliau antipati,
tidak menyikapi orang jahat dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, sang
bapak telah mengancam dengan berkata kepadanya:
“Bencikah kamu kepada ilâh-ilâhku (tuhan-tuhanku), hai Ibrâhîm. Jika
kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah
aku buat waktu yang lama”.
Namun Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam menyikapinya dengan berkata:
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun
bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. (Qs
Maryam/19:46-47)
Maryam/19:46-47)
Syaikh as-Sa’di rahimahullâh berkata:
“Ibrâhîm al-Khalîl ‘alaihissalam menjawabnya (ancaman si
ayah) dengan jawaban yang biasa disampaikan oleh hamba-hamba Allâh
Ta’âla (’Ibâdurrahmân) saat berbicara dengan orang-orang jâhilîn
(orang-orang yang tak berilmu/awam)[2].
Beliau tidak mencela sang bapak sedikit pun. Namun tetap bersabar dan
tidak membalas (ancaman) bapaknya dengan hal-hal yang tidak baik. Beliau
mengucapkan “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu” yang mengandung
pengertian ‘Wahai ayah, engkau tidak akan menghadapi cemoohan, celaan
dan perlakuan yang buruk dariku saat aku berbicara denganmu. Justru aku
akan senantiasa berdoa kepada Allâh Ta’âla agar memberikan hidayah dan
ampunan bagimu…[3]
III. BERCERMIN PADA PETUNJUK ULAMA
Bagaimanapun ketika orang tua berbuat pelanggaran syariat, anak tidak
boleh berdiam diri. Ia berkewajiban merubahnya, supaya orang yang ia
kasihi tersebut tidak terjerumus dalam kenistaan di jurang maksiat
kepada Allâh Ta’âla, namun tidak boleh menempuh cara-cara yang justru langsung memutus tali silaturahmi dengan mereka.
Berikut ini kami kutip beberapa keterangan Ulama yang berbicara
bagaimana menyikapi orang tua yang berbuat maksiat. Dengan harapan, kita
sekalian dapat mengambil langkah yang tepat saat menghadapi
persoalan-persoalan serupa :
A. Bapakku melakukan pelanggaran syariat.
Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh menjawab kegamangan seorang anak atas tindakan maksiat yang ia lihat pada bapaknya.
Beliau rahimahullâh berkata:
“Semoga Allâh Ta’âla memberi hidayah dan kemauan bertaubat bagi bapakmu. Kami berpesan agar engkau tetap berlaku lembut kepadanya dan menasehatinya dengan cara halus, tidak pernah putus asa dalam rangka menunjukkannya kepada hidayah.
“Semoga Allâh Ta’âla memberi hidayah dan kemauan bertaubat bagi bapakmu. Kami berpesan agar engkau tetap berlaku lembut kepadanya dan menasehatinya dengan cara halus, tidak pernah putus asa dalam rangka menunjukkannya kepada hidayah.
Allâh Ta’âla berfirman :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Qs Luqmân/ 31:14-15)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Qs Luqmân/ 31:14-15)
(Pada ayat di atas) Allâh Ta’âla berwasiat supaya mensyukuri kedua
orang tua. Perintah ini ternyata dipadukan dengan perintah bersyukur
kepada-Nya. Ayat itu juga memerintahkan anak agar mempergauli mereka di
dunia ini dengan cara-cara yang baik, kendatipun mereka memaksa berbuat
kufur.
Melalui ayat di atas, engkau tahu bahwa sikap yang diperintahkan
syariat dalam kondisi ini (memaksa anak berbuat kufur, red) adalah agar
seorang anak tetap menjalin hubungan dengan orang tua dengan cara-cara
yang baik, berbuat baik kepada mereka meski mereka berbuat jelek
kepadanya, serta gigih mengajak mereka kepada kebenaran. Semoga Allâh
Ta’âla memberi hidayah baginya melalui tanganmu. Engkau tidak boleh
menaatinya dalam kemaksiatan.
Kami juga berpesan setelah memohon pertolongan kepada Allâh Ta’âla, supaya engkau juga meminta bantuan orang-orang shaleh dari
kalangan kerabatmu dan paman-pamanmu dan pihak lainnya, yaitu orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh ayah. Mungkin saja, beliau akan lebih mudah menerima nasehat mereka….”.[4]
kalangan kerabatmu dan paman-pamanmu dan pihak lainnya, yaitu orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh ayah. Mungkin saja, beliau akan lebih mudah menerima nasehat mereka….”.[4]
B. Ibuku melarangku mengenakan hijâb (cadar)
Seorang Muslimah mengadukan ibunya yang melarang dirinya mengenakan
cadar kepada Syaikh Bin Baz rahimahullâh. Sebaliknya, justru
memerintahkan anak untuk menikmati bioskop dan video. Alasan si ibu,
agar rambut putrinya tidak cepat memutih.
Menanggapi persoalan ini, Syaikh Bin Bâz rahimahullâh menjawab:
“Kamu berkewajiban bersikap lembut dengan ibu dan tetap berbuat baik
kepada beliau, serta berbicara dengan cara yang terbaik. Sebab, hak ibu
sangat besar. Akan tetapi, engkau tidak boleh taat kepadanya dalam
perkara-perkara yang tidak baik, berdasarkan hadits Rasûlullâh
shallallâhu ‘alaihi wa sallam :
إنَّـمَا الطَّاعَةُ فِـيْ الْـمَعْرُوفِ
“Ketaatan (kepada makhluk) hanya pada perkara-perkara baik saja”
Begitu pula, ayah dan suami, tidak wajib ditaati dalam maksiat kepada
Allâh Ta’âla. Akan tetapi, seyogyanya istri atau anak dan lainnya
bersikap lembut dan menempuh cara yang baik dalam menyelesaikan masalah.
Yaitu dengan menjelaskan dalil-dalil syar’i, wajibnya taat kepada Allâh
Ta’âla dan Rasul-Nya, dan kewajiban menghindari maksiat kepada Allah k
dan Rasul-Nya, dengan tetap teguh berpegangan al-haq dan menampik
perintah orang yang menyuruh melanggar al-haq, baik itu suami, ayah, ibu
atau lainnya.
Sebenarnya tidak masalah menonton acara TV dan video yang tidak
mengandung kemungkaran, atau mendengarkan acara-acara ilmiah dan
kajian-kajian yang bermanfaat. Yang harus dihindari ialah acara yang
mengandung kemungkaran. Menonton film-film pun tidak boleh karena
mengandung banyak kebatilan.”[5]
C. Ibuku marah ketika aku ingatkan dari kesalahan
Seorang anak menyaksikan ibunya tidak istiqamah. Setiap kali
menasehati, kemarahanlah yang muncul dari beliau. Akibatnya selama
beberapa hari si ibu enggan berbicara dengan anaknya. Persoalan yang
ditanyakan adalah cara menasehati ibu, tanpa menimbulkan amarahnya dan
kemurkaan Allâh Ta’âla. Sebab, ternyata sang ibu saking marahnya sempat
mendoakan kejelekan bagi
anak yang menasehatinya. Apakah dibenarkan ia membiarkan ibunya dalam keadaan demikian, hingga tetap disayang oleh ibu?
anak yang menasehatinya. Apakah dibenarkan ia membiarkan ibunya dalam keadaan demikian, hingga tetap disayang oleh ibu?
Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdur Rahmân al-Jibrîn hafizhahullâh menjawab kegundahan di atas dengan berkata:
“Engkau tetap menasehati ibumu terus-menerus, dan menjelaskan dosa
dan bahaya akibat perbuatannya. Jika tidak berpengaruh baik, cobalah
sampaikan kepada suaminya (bapakmu atau lelaki yang menjadi suaminya
karena sudah cerai dari ayah, red), orang tua ibu atau walinya, agar
mereka inilah yang menasehati beliau. Jika perbuatan beliau termasuk
dosa besar, tidak mengapa bila engkau menghajr (tidak mengajak bicara)
beliau.
Sehubungan dengan doa buruk atau komentar miring terhadapmu anak yang
durhaka atau memutuskan tali silaturahmi maka hal itu tidak
membahayakanmu. Sebab engkau melakukannya (menasehati ibu, red) karena
dorongan rasa tidak suka bila hukum Allâh Ta’âla dilanggar. Namun
apabila kesalahan beliau termasuk dosa kecil, engkau tidak boleh
melakukan muqâtha’ah (mendiamkan beliau)”[6]
IV. KESIMPULAN DARI FATWA-FATWA DI ATAS
Beberapa fatwa Ulama di atas telah memberikan petunjuk bagi siapa
saja yang ingin menasehati orang tuanya yang berbuat kesalahan. Dari
fatwa-fatwa itu, dapat disimpulkan bahwa :
- Menasehati orang tua harus dengan lemah-lembut.
- Terkadang diperlukan pihak lain untuk melakukan nahi mungkar.
- Melarang orang tua dari perbuatan haram atau menolak perintah orang tua yang memerintahkan berbuat haram termasuk bakti kepada orang tua.
- Tidak boleh putus asa dalam rangka meluruskan orang tua menuju hidayah.
- Bila diperlukan, tidak mengajak bicara dengan orang tua termasuk langkah untuk menyadarkan orang tua yang berbuat salah.
Semoga Allâh Ta’âla memberikan karunia hidayah dan taufik bagi setiap
keluarga Muslim dalam menjalankan aturan Allâh Ta’âla di tengah
keluarga. Amin. (Redaksi)
—————
Fatâwâ Syaikh al-’Utsaimîn, nukilan dari Fatâwâ Ulamâ Baladil Harâm hlm. 1631
Seperti tertera dalam surat al-Furqân ayat: 63
Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 369 dan 528. Pada gilirannya, Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam dilarang oleh Allâh Ta’âla memintakan ampunan bagi bapaknya, karena telah memperoleh kepastian akan kesesatannya.
Majmû~ Fatâwâ Ibni Bâz 9/313 dengan ringkas
Majmû‘ Fatâwâ Ibni Bâz (5/358)
Fatâwal Mar‘ah hlm. 104, nukilan dari Fatâwal Mar‘atil Muslimah hlm. 957-958
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama