Sebuah majelis fiqih sedang digelar. Narasumbernya seorang ulama
besar yang baru saja datang dari Baghdad. Saat di Baghdad, keulamaannya
memang sudah kerap terdengar oleh para penuntut ilmu di Mesir. Karenanya
tidak sedikit kaum santri Mesir yang haus ilmu, sengaja berkelana
menuju Bagdad untuk menimba ilmu dalam majelisnya.
Pada saat beliau menuju Mesir, mereka semua mengikutinya. Di Mesir,
kajiannya diminati dan didatangi bukan saja oleh kalangan awam, bahkan
turut hadir juga kaum intelektual Mesir saat itu. Ada Rabi’ ibn
Sulaiman, Abu Ibrahim Al-Muzani, Al-Buwaithi dan yang lainnya.
Yang lebih menarik, ternyata para hadirin bukan hanya terdiri dari
kaum lelaki, tetapi juga dihadiri kaum wanita. Di shaf belakang, di
tengah jamaah kaum wanita, ada seorang perempuan cerdas. Ia datang ke
majelis fiqih yang mulia tersebut bersama kakak lelakinya yang juga
santri cerdas; Ismail ibn Yahya Al-Muzani. Bersama sang kakak, ia selalu
hadir dalam majelis fiqih Imam besar itu selama hampir lima tahun
hingga wafatnya sang Imam, Muhammad ibn Idris As-Syafi’i Rahimahullah.
Ummu Ahmad, wanita yang cerdas tadi itu memang kurang populer. Meski
cerdas, alim, dan juga faqih, beliau tidak menulis fiqih secara khusus
sebagaimana kakaknya yang menulis Al-Mukhtashar. Namun bukan berarti
beliau sama sekali tidak menulis.
Beliau sangat tahu apa yang seharusnya ditulis sebagai seorang
wanita. Meski tidak menulis buku, namun sebagai seorang ibu, wanita itu
telah berhasil ‘menulis’ para ‘penulis buku’. Dari rahimnya lahirlah
penulis besar di zamannya; Abu Ja’far At-Thahawy.
Ath-Thahawi adalah seorang al-hafidz, al-faqih, dan juga
al-muhaddits. Pengakuan ini setidaknya datang dari Adz-Dzahabi dan Ibn
Katsir. Dan karya-karya monumental Ath-Thahawi masih bisa kita nikmati
hingga hari ini.
Ini hanya satu fakta dari sekian banyak wanita mulia dalam Islam.
Satu dari sekian banyak kisah intelektualitas wanita dalam sejarah
panjang peradaban fiqih yang membentang berabad-abad lamanya.
Tentu masih banyak wanita lain dengan kisah intelektualitas mereka
yang membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak memarjinalkan kaum
wanita. Karena dalam kacamata fiqih, mereka adalah syaqaiqurrijal,
saudari-saudarinya kaum lelaki yang memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam kehidupan di dunia ini.
Islam memang memuliakan kaum wanita, karena itu di dalam Al Quran
terdapat surat ‘Wanita’ (An-Nisa’). Islam juga memuliakan para ibu, maka
ketika sang Nabi ditanya siapa orang yang harus saya muliakan? Sebelum
sampai pada urutan keempat, beliau menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu”.
Sehingga bagi kaum wanita atau kaum ibu, Islam adalah cahaya yang
membuat wajah mereka bersinar mulia.
Namun hari ini, kaum yang telah dimuliakan sedemikian rupa itu sedang
merasa direndahkan oleh Islam. Termakan oleh bisikan para setan, mereka
merasa dimarginalkan dalam Islam. Mereka tak lagi mampu melihat cahaya.
Atau justru karena keawaman dan kurangnya informasi valid tentang fiqih
Islam.
Akhirnya mereka menggugat fiqih yang sudah mapan dengan sejumlah
pertanyaa: Mengapa wanita cuma mendapatkan setengah jatah lelaki dalam
waris? Mengapa kewenangan talak hanya ada di tangan laki-laki? Mengapa
iddah hanya berlaku atas perempuan? Mengapa laki-laki halal berpoligami
sedangkan wanita haram berpoliandri?
Dan sejumlah gugatan lain yang berangkat dari kebodohan tentang fiqih dan mungkin juga adanya pembodohan oleh musuh-musuh fiqih.
Di sisi lain, kaum yang sebenarnya telah dimuliakan ini, sebagian
mereka masih belum merasakan terangnya cahaya Islam. Entah berapa banyak
dari mereka yang belum mengetahui hukum fiqih haid, nifas, istihadah.
Bagaimana tata cara bersuci dan mandi, dan juga seni menutup aurat yang
syar’i? Mereka belum merasakan cahaya Islam dan masih gelap dari ilmu
fiqih.
Kemunduran umat di atas justru terjadi di zaman sekarang yang diklaim
sebagai zaman kemajuan. Bahkan keberanian sebagian kaum wanita untuk
mengkritisi syariah ini juga dianggap sebagai salah satu bentuk kemajuan
wanita.
Padahal secara tidak sadar sebenarnya mereka berada dalam kemunduran.
Sebab, sampai saat ini “gerakan kemajuan” itu sama sekali belum pernah
berhasil melahirkan wanita cerdas seperti Ummu Ahmad diatas.
Yang ada justru wanita-wanita berpakaian namun telanjang,
wanita-wanita yang tertipu dengan hingar bingar popularitas namun kosong
intelektualitas. “Gerakan kemajuan” itu –disadari atau tidak- justru
menyeret mereka kepada kemunduran dan kegelapan, meski seorang wanita
yang menjadi simbol kemajuan mereka menulis, “Habis Gelap Terbitlah
Terang”.
Di penghujung bulan April ini, Indonesia seperti tahun-tahun
sebelumnya secara rutin memperingati hari Kartini. Wanita yang terlanjur
dinobatkan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia itu, tanggal
kelahirannya (21 April) ditetapkan dalam sejarah sebagai tonggak
kebangkitan dan pemberontakan kaum hawa untuk menuntut persamaan hak
dengan kaum Adam, atau yang sering disebut dengan istilah emansipasi.
Di Arab sana, emansispasi dikenal dengan istilah tahrir al-mar’ah.
Secara bebas bisa diterjemahkan menjadi pembebasan kaum perempuan.
Meski gerakan ini layak untuk dikritisi, tulisan ini bukan hendak
bermaksud untuk mengkritisi gerakan emansipasi wanita. Tulisan ini
justru lahir untuk mendukung gerakan emansipasi ini. Hanya saja penulis
memiliki makna lain dalam memandang gerakan ini.
Kalau kata emansipasi bisa diartikan sebagai pembebasan, maka tulisan
ini ingin mengajak kaum wanita untuk memperjuangkan emansipasi yang
lebih realistis, yaitu pembebasan wanita dari kegelapan feminisme,
pembebasan wanita dari ketelanjangan aurat dengan menghadirkan
keanggunan hijab, pembebasan wanita dari hingar bingar popularitas
dengan kecantikan intelektualitas, dan pembebasan kaum wanita dari buta
fiqih dengan gerakan melek fiqih.
Segala permasalahan dan problematika wanita yang hendak kita bebaskan
diatas sebenarnya sudah dijawab oleh para ulama kita, baik para ulama
kita terdahulu maupun ulama kontemporer. Semua jawaban itu bisa kita
baca dalam turats fiqih mereka.
Semua kitab fiqih yang ditulis oleh para fuqaha, pasti akan
menjelaskan kasus-kasus yang berhubungan dengan wanita, baik kasus
ibadah, muamalah, atau jinayah. Namun tidak semua fuqaha menuliskan
fiqih wanita secara khusus.
Para ulama yang menuliskan fiqih wanita secara khusus misalnya; Imam
Ahmad ibn Hanbal dalam Ahkam An-Nisa, atau Al-Hafidz Abdurrahman Ibn
Al-Jauzi dalam judul buku yang sama Ahkam An-Nisa, dan Ibn Taimiyah
dalam Hijab Al-Mar’ah Wa Libasuha Fi As-Shalah.
Sebagai tambahan, ada buku menarik yang ditulis oleh Imam Badr Ad-Din
Zarkasyi. Buku yang ditulis oleh beliau ini sebenarnya bukan buku
khusus fiqih wanita, tetapi buku ini adalah buku yang bercerita tentang
kritik-kritik fiqih yang dilakukan oleh seorang faqih dari kalangan
sahabat wanita (sahabiyat), yaitu istri Rasulullah SAW sendiri; Sayyidah
‘Aisyah radhiyallahuanha.
Ini adalah koleksi kritik fiqih yang dilakukan oleh ‘Aisyah terhadap
fiqih-fiqih sahabat yang lain. Bahkan sahabat-sahabat besar. Buku dengan
judul Al-Ijabah Li Iradi ma Istadrakathu ‘Aisyah ‘ala As-Sahabah ini
membuktikan bahwa wanita juga memiliki peran yang tidak bisa dipandang
sebelah mata dan hak suara yang layak didengar dan dipertimbangkan dalam
masyarakat Islam.
Sedangkan yang kontemporer, contoh-contoh buku yang bisa ditulis misalnya;
1. Al-Mufasshal Fi Ahkam Al-Mar’ah Wa Al-Bait Al-Muslim Fi As-Syariah Al-Islamiah
Buku yang ditulis oleh Syaikh Abdul Karim Zaidan ini boleh dibilang
semacam ensiklopedi fiqih wanita. Pembahasannya cukup luas. Semua
pembahasan fiqih wanita dibahas di dalamnya ditambah dengan pembahasan
fiqih keluarga.
Buku dengan jumlah 11 jilid ini mencakup 9 kitab dengan masing-masing
kitabnya terdiri dari beberapa bab. Setelah kitab yang ke-9, beliau
menulis khatimah (penutup) dengan mengenalkan sosok istri-istri dan
anak-anak Nabi SAW, kehidupan mereka, ahlul bait dan kondisi kehidupan
Nabi SAW dalam keluarganya.
2. Al-Mar’ah Baina Al-Fiqhi Wa Al-Qanun
Buku ini pada mulanya adalah ceramah atau perkuliahan penulisnya yang
disampaikan di Universitas Damaskus. Secara rutin, setiap tahun pihak
universitas meminta perkuliahannya untuk dikumpulkan. Atas permintaan
itulah penulisnya merasa berkewajiban untuk menyempurnakan dan
memberikan argumentasi ilmiah untuk kumpulan perkuliahan yang akan
dibukukan itu.
Yang menarik dari buku yang ditulis oleh Dr. Musthofa As-Siba’i ini
adalah muqaddimah tentang sejarah perlakuan peradaban-peradaban sebelum
Islam kepada kaum wanita. Mulai dari peradaban Yunani, Romawi, Hamurabi,
India, Yahudi, Masehi, dan Arab sebelum Islam.
Kemudian beliau menyebutkan bagaimana sikap dan perlakuan Islam
terhadap wanita yang berhasil melakukan emansipasi (baca: pembebasan)
kaum wanita dari kegelapan peradaban-peradaban sebelumnya. Selain juga
menjawab beberapa syubhat fiqih wanita yang dilemparkan oleh mereka yang
tak memahami fiqih.
3. Ahkamun Infarada Biha An-Nisa ‘an Ar-Rijal
Buku ini adalah hasil koleksi penulisnya tentang hukum-hukum fiqih
yang hanya khusus berlaku bagi wanita dan tidak berlaku bagi laki-laki.
Sebagai contoh, bisa disebutkan misalnya hukum memakai emas dan sutra,
shalat, pernikahan, perceraian, kepemimpinan dan lain-lain. Buku yang
ditulis oleh Muhammad Hasan Abdul Ghaffar ini cukup tipis. Boleh
dibilang, ini adalah buku saku.
Dan masih banyak lagi buku-buku fiqih seputar wanita yang bisa
disebut. Ini baru seputar fiqih. Padahal para ulama kita terdahulu bukan
saja membahas wanita dari sisi fiqih.
Diantara mereka ada pula yang membahas rahasia, keunikan, dan
kisah-kisah penuh ibrah dan inspirasi dari kaum wanita. Karena harus
diakui, bahwa kaum wanita itu bisa menjadi sumber inspirasi, sumber
energi, sumber motivasi dan menurut Syauqi mereka juga madrasah pencetak
generasi.
Kalau saja emansipasi yang diperjuangkan adalah emansipasi yang
berjalan sesuai dengan penjelasan para fuqaha seperti dalam kitab-kitab
tersebut, maka tulisan ini juga hadir dengan semangat emansipasi ini.
Dan ketika kajian-kajian fiqih yang terdapat dalam kitab-kitab
tersebut bisa diterapkan, maka kita tak lagi perlu untuk meneriakkan,
“Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Karena cahaya Islam sudah terbit semenjak lebih dari empat belas abad
yang lalu. Ketidakmampuan sebagian mata untuk menatap cahaya itu
hanyalah karena adanya awan atau kabut “ketidaktahuan” atau “tidak mau
tahu” yang menghalanginya. Sebab setelah terbit, cahaya Islam sama
sekali tidak pernah terbenam.
Oleh: Sutomo Ibnu Abi Nashr, S.Sy
Sumber: rumahfiqih.com
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama