Takut Dan Rindu Kepada Allah


Bagi seorang muslim, evaluasi diri menghasilkan sejumlah kesimpulan tentang prestasi yang perlu disyukuri, sekaligus kekurangan yang perlu ditangisi. Namun tangisan tidaklah selamanya karena penyesalan, tapi juga karena prestasi yang menghasilkan kerinduan dan rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat.

 
Menangis juga terkadang ditunjukkan oleh Rasulullah Saw. sebagai teladan sepanjang zaman. “Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, “Suatu ketika, Rasulullah Saw meminta Aku agar membacakan al-Qur’an kepadanya. (Dengan perasaan malu), saya mengungkapkan, “Bagaimana (mungkin) Aku membacakan al-Qur’an kepadamu wahai Rasulullah !? Padahal al-Qur’an ini diturunkan kepadamu”. “Saya ingin mendengarnya dari orang lain” ungkap beliau. Maka, Ibnu Mas’ud pun memulai baca- 3 annya dari surah an-Nisaa’. Ketika sampai pada ayat 41 yang berbunyi, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (umatmu)..”. Rasulullah pun dengan lembut mengatakan, “Cukup”. Ketika saya (Ibnu Mas’ud) menoleh kepadanya, ternyata air mata Rasulullah Saw sedang bercucuran. (HR. Bukhari dan Muslim).

Menangis karena Allah

Karena tangisan merupakan simbol keimanan bagi orang mukmin, maka keutamaan yang di milikinya sangat mengesankan. Sebut saja misalnya sebuah riwayat yang dirilis oleh Abu Hurairah r.a. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah Saw pernah menginformasikan, “Tidaklah akan masuk nereka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, sehingga air susu kembali ke asalnya (tempat keluarnya). Debu peperangan di jalan Allah swt tidak akan menyatu selamanya dengan asap api neraka”. (HR.Tirmidzi).
Bahkan orang yang menangis ketika mengingat Allah dalam keadaan sendirian dengan hati yang terpaut dengan Allah swt. termasuk dalam kategori orang-orang yang mendapatkan naungan di akhirat nanti. Hari di mana naungan tidak akan diperoleh kecuali mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah swt.
Abu Hurairah melaporkan, Rasulullah Saw pernah bersabda, “Ada tujuh golongan yang diberikan tempat bernaung pada hari (kiamat). Hari di mana manusia tidak mempunyai tempat bernaung kecuali naungan-Nya : Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam nuansa ibadah kepada Allah swt., orang yang tertambat hatinya dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berdua berkumpul dan berpisah karena cinta karena Allah. Seseorang yang diajak (berbuat mesum) oleh seorang wanita bangsawan dan berparas cantik, lalu ia jawab, “Saya takut kepada Allah”, seseseorang yang bersedekah dengancara sem- bunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya 5 tidak menegetahui apa yang dilakukan tangan kananya (ketika bersedakah), dan orang yang mengingat Allah kala sendirian (dan dengan penuh ke-khusyu’an) , lalu matanya basah (karena takut dan rindu kepada Allah swt.)”. (HR.Muttafaq Alaihi).

Demikianlah tangisan yang dilandasi dengan iman yang menghasilkan rasa rindu (raja’) untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Rasa yang juga dilapisi pula oleh rasa takut (khauf) kepada-Nya karena adanya neraka yang merupakan symbol kemarahan-Nya.

Kedua faktor inilah yang berada di balik tangisan orang-orang mukmin. Walaupun sisi kerinduan yang paling mendominasi dirinya saat-saat air mata membasahi wa- jahnya.

Raja’ dan khauf melahirkan tangis

Raja’ adalah ketenangan hati dan kedamaian jiwa karena mengharapkan sesuatu yang dicintai. Jika faktor-faktor pendukung raja’ ini sempurna maka ia akan menghasilkan tangisan yang mewujudkan perasaan tenang dan perasaan tentram.
Namun jika perangkat-perangkatnya tidak padu dan tidak apik, ia akan menghasilkan pribadi yang terpedaya. Pribadi yang berhara  dengan harapan yang berlebihan kepada Allah swt. sehingga lupa bahwa di samping rahmat Allah yang ia harapkan, juga di sana ada kemurkaan-Nya yang harus dipertimbangkan dan dihindari. Untuk peribadi demikian, tangisan tidak hadir pada pelupuk matanya. Perasaannya yang diselimuti oleh harapan akan rahmat Allah membuatnya terlena. Sikap yang merefleksikan ketidakkeritisan terhadap kualitas ibadah yang ia lakukan terhadap Zat yang diharapkan rahmat-Nya (Allah Swt.).
Jika ditelusuri lebih mendalam, mura- 7 qabah ini merupakan implementasi dari sikap khauf (rasa takut) seseorang jika amalannya belum pantas dan layak untuk dipersembahkan. Baik ketidakpantasan itu dari segi kualitas maupun kuantitas. Inilah yang sering kita dengar dari para ahli suluk bahwa dalam rangka melakukan spiritual journey menuju Allah, hendaknya seseorang terbang dengan dua sayap, sayap alkhauf dan sayap al-raja’. Hanya saja, pada saat tertentu, seperti sakit misalnya, sisi alraja’ seharusnya lebih ditegaskan, karena nuansanya sedang berada pada level alkhauf.
Demikian pula ketika sedang segar bugar, dengan nuansa al-raja’ yang lebih mendominasi, sisi al-khauf perlu dihadirkan dan dipertegas keberadaanya.

Khauf sebagai penyeimbang

Jika raja’ merupakan piranti kasih saying yang dibukakan secara luas oleh Allah bagi hamba-Nya, maka khauf merupakan cambuk yang dapat memicu mereka untuk mendekat kepada-Nya. Memang benar, ujung dari raja’ dan khauf adalah kedekakatan dengan Allah. Karena memang untuk itulah jin dan manusia diadakan di pentas kehidupan ini. Khauf merupakan kondisi seseorang yang merasakan sakit dan terbakarnya hati akibat dari rasa takut akan terjadinya sesuatu yang tidak menyenangkan di kemudian hari. Khauflah yang berperan dan mengerem nafsu manusia dari keserakahan, angkara murka dan dosa. Dia pula yang mengikat manusia untuk menunjukkan ketaatan kepada Allah swt.
Khauf akan membakar syahwat dan kenginan-keinginan terhadap perkara yang haram. Sehingga kemaksiatan yang ia cintai berubah menjadi sesuatu yang paling ia benci. Sebagaimana madu dibenci oleh orang yang sangat menyenaginya manakala ia mengetahui bahwa terdapat racun padanya. Syahwat akan terbakar oleh rasa khauf (takut). Bagian-bagian tubuhnya mempnyai tatakrama dan adab yang dipatuhi. Hatinya menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ke-khusyu’an, rasa hina dan rendah diri di hadapan Allah swt.
Dia akan ditinggalkan oleh kesombongan, dendam, iri dan dengki. Bahkan perhatiannya semakin tajam, karena pengaruh rasa khauf-nya dan memeperhatikan terhadap akibat dan sanksi yang ia peroleh jika melanggar aturan. Kini perasaan selalu terawasi yang dikenal dengan sebutan muraqabah menjadi aktifitas baru yang dibarengi dengan usaha sungguh-sungguh yang disebut mujahadah untuk membersihkan jiwa dan lahiriahnya dari dominasi syahwat dan prilaku setan.
Allah swt selalu mewanti-wanti agar menjadikan khauf sebagai komponen mendasar dari keimanan yang hanya pantas ditunjukkan kepada-Nya semata. Terhadap setan yang biasanya dijadikan simbol yang ditakuti, Allah menegaskan bahwa, sikap takut itu seharusnya hanya ditujukan kepada-Nya semata. Karena Dia-lah sesungguhnya yang pantas ditakuti. Dengan rasa takut kepada-Nya, setan yang biasanya menggetarkan jiwa menjadi tidak berarti apa-apa.
Setan hanya pantas dikhawatirkan jika seandainya mengelabui manusia dari jalur menuju Allah swt.(baca : Kebenaran). Karenanya, Allah menegaskan, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan- kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran : 175).
Selain faktor khauf dan raja’ yang menghasilkan tangisan, juga terdapat beberapa faktor yang merupakan wujud lain dari kedua faktor di atas. Di antaranya, kesedihan terhadap peristiwa lampau yang menyedihkan bersama teman seperjuangan dalam meniti jalan Allah swt. Hal demikianlah yang ditunjukkan oleh Ummu ’Aiman, sebagaimana riwayat berikut :
Anas melaporkan, ”Abu Bakar berkata kepada Umar radiyallahu anhuma, setelah wafatnya Rasulullah saw, ”Ayo kita samasama pergi menemui Ummu Aiman radhiyallahu anhuma, sebagaimana Rasulullah saw sering mengunjunginya. Tatkala kami tiba dan bertemu dengannya, Ummu Aiman menangis (penuh kesedihan). Abu Bakar dan Umar berkata kepadanya, ”Kenapa Anda menangis ?” Bukankah Anda tau bahwa keberadaan Rasulullah saw di sisi Allah itu lebih baik. Ummu Aiman menjawab, ”Saya tidak menangis, saya juga tidak tahu bahwa keberadaan Rasulullah saw di sisi Allah itu lebih baik. Saya hanya menangis karena wahyu telah terputus dari langit. Maka, mendengar ungkapan Ummu Aiman tersebut, Abu Bakar dan Umar pun tidak tahan menahan cucuran air matanya. Mereka berdua pun ikut menangis bersama Ummu Aiman”. (HR Muslim)
Demikianlah potret tangisan sahabat yang lahir dari rasa khauf dan raja-’nya kepada Allah swt. Semoga kita diberikan kemampuan menangisi dosa-dosa kita kepada Allah. Amin.
Wallahu a’lam.
Share on Google Plus

About Admin

Khazanahislamku.blogspot.com adalah situs yang menyebarkan pengetahuan dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikutnya.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment


Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com

Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama