Teguh
dengan kesetiaan yang jujur merupakan sifat wanita yang paling utama.
Sebuah kisah menyebutkan, “Aku lebih baik dibandingkan
dirimu, ayahku lebih baik dibandingkan ayahmu.” Mendengar hal itu, ‘Ali
berkata,
“Putuskan perkara di antara keduanya, wahai Asma’.” Ia mengatakan, “Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik dibandingkan Ja’far dan aku tidak melihat pria tua yang lebih baik dibandingkan Abu Bakar.” ‘Ali mengatakan, “Engkau tidak menyisakan untuk kami sedikit pun. Seandainya engkau mengatakan selain yang engkau katakan, niscaya aku murka kepadamu.” Asma’ berkata, “Dari ketiganya, engkaulah yang paling sedikit dari mereka untuk dipilih” [1]
bahwasanya Asma’ binti ‘Umais adalah isteri Ja’far bin Abi Thalib, lalu menjadi isteri Abu Bakar sepeninggalnya, kemudian setelah itu dinikahi oleh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Suatu kali kedua puteranya, Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abi Bakar saling membanggakan. Masing-masing mengatakan,
“Putuskan perkara di antara keduanya, wahai Asma’.” Ia mengatakan, “Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik dibandingkan Ja’far dan aku tidak melihat pria tua yang lebih baik dibandingkan Abu Bakar.” ‘Ali mengatakan, “Engkau tidak menyisakan untuk kami sedikit pun. Seandainya engkau mengatakan selain yang engkau katakan, niscaya aku murka kepadamu.” Asma’ berkata, “Dari ketiganya, engkaulah yang paling sedikit dari mereka untuk dipilih” [1]
bahwasanya Asma’ binti ‘Umais adalah isteri Ja’far bin Abi Thalib, lalu menjadi isteri Abu Bakar sepeninggalnya, kemudian setelah itu dinikahi oleh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Suatu kali kedua puteranya, Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abi Bakar saling membanggakan. Masing-masing mengatakan,
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berwasiat agar Asma’
binti ‘Umais Radhiyallahu ‘anhuma memandikannya (saat kematiannya). Ia
pun melakukannya, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Lalu ia bertanya
kepada kaum Muhajirin yang datang, “Aku berpuasa dan sekarang adalah
hari yang sangat dingin, apakah aku wajib (harus) mandi?” Mereka
menjawab, “Tidak.” Sebelumnya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menekankan
kepadanya agar (ketika memandikannya) dia tidak dalam keadaan berpuasa,
seraya mengatakan, “Itu membuatmu lebih kuat.”
Kemudian ia teringat sumpah Abu Bakar pada akhir
siang, maka ia meminta air lalu meminumnya seraya mengatakan, “Demi
Allah, aku tidak ingin mengiringi sumpahnya pada hari ini dengan
melanggarnya” [2]
Ketika kaum pendosa lagi fasik mengepung pemimpin
yang berbakti dan “sang korban pembunuhan” kaum berdosa, ‘Utsman bin
‘Affan Radhiyallahu ‘anhu dan mereka menyerangnya dengan pedang, maka
isterinya (Na’ilah binti al-Furafishah) maju ke hadapan beliau sehingga
menjadi pelindung baginya dari kematian. Para pembunuh yang bengis ini
tidak menghiraukan kehormatan wanita ini dan mereka terus menebas
‘Utsman dengan pedang, (namun sang isteri menangkisnya) dengan
mengepalkan jari-jari tangannya, hingga jari-jarinya terlepas dari
tangannya. Isterinya menggandengnya lalu terjatuh bersamanya, kemudian
mereka membunuh ‘Utsman [3].
Ketika Amirul Mukminin Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu
melamarnya, ia menolak seraya mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorang
pun yang dapat menggantikan kedudukan ‘Utsman (sebagai suamiku)
selamanya.”[4]
Di antara tanda-tanda kesetiaan banyak wanita
shalihah kepada suami mereka setelah kematiannya bahwa mereka tidak
menikah lagi. Tidak ada yang dituju melainkan agar tetap menjadi isteri
mereka di dalam Surga”[5]
Dari Maimun bin Mihran, ia mengatakan: “Mu’awiyah bin
Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu meminang Ummud Darda’, tetapi ia menolak
menikah dengannya seraya mengatakan, ‘Aku mendengar Abud Darda’
mengatakan: ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
bersabda.
“Artinya : Wanita itu bersama suaminya yang terakhir,’ atau beliau mengatakan, ‘untuk suaminya yang terakhir”[6]
Dari ‘Ikrimah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menjadi
isteri az-Zubair bin al-‘Awwam, dan dia keras terhadapnya. Lalu Asma’
datang kepada ayahnya untuk mengadukan hal itu kepadanya, maka dia
mengatakan, “Wahai puteriku, bersabarlah! Sebab, jika wanita memiliki
suami yang shalih, kemudian dia mati meninggalkannya, lalu ia tidak
menikah sepeninggalnya, maka keduanya dikumpulkan di dalam Surga” [7]
Dari Jubair bin Nufair, dari Ummud Darda’ bahwa dia
berkata kepada Abud Darda’, “Sesungguhnya engkau telah meminangku kepada
kedua orang tuaku di dunia, lalu mereka menikahkanmu denganku. Dan
sekarang, aku meminangmu kepada dirimu di akhirat.” Abud Darda’
mengatakan, “Kalau begitu, janganlah menikah sepeninggalku.” Ketika
Mu’awiyah meminangnya, lalu ia menceritakan tentang apa yang telah
terjadi, maka Mu’awiyah mengatakan, “Berpuasalah! [8]
Ketika Sulaiman bin ‘Abdil Malik keluar dan dia
disertai Sulaiman bin al-Muhlib bin Abi Shafrah dari Damaskus untuk
melancong, keduanya melewati sebuah pekuburan. Tiba-tiba terdapat
seorang wanita sedang duduk di atas pemakaman dengan keadaan menangis.
Lalu angin berhembus sehingga menyingkap cadar dari wajahnya, maka ia
seolah-olah mendung yang tersingkap matahari. Maka kami berdiri dalam
keadaan tercengang. Kami memandangnya, lalu Ibnul Muhlib berkata
kepadanya, “Wahai wanita hamba Allah, apakah engkau mau menjadi isteri
Amirul Mukminin?” Ia memandang keduanya, kemudian memandang kuburan, dan
mengatakan:
“Jangan engkau bertanya tentang keinginanku
Sebab keinginan itu pada orang yang dikuburkan ini, wahai pemuda
Sesungguhnya aku malu kepadanya sedangkan tanah ada di antara kita
Sebagaimana halnya aku malu kepadanya ketika dia melihatku”
Sebab keinginan itu pada orang yang dikuburkan ini, wahai pemuda
Sesungguhnya aku malu kepadanya sedangkan tanah ada di antara kita
Sebagaimana halnya aku malu kepadanya ketika dia melihatku”
Maka, kami pergi dalam keadaan tercengang.[9]
Di antara teladan yang pantas disebutkan sebagai
teladan utama dari para wanita tersebut adalah Fathimah binti ‘Abdil
Malik bin Marwan. Fathimah binti Amirul Mukminin ‘Abdil Malik bin Marwan
ini pada saat menikah, ayahnya memiliki kekuasaan yang sangat besar
atas Syam, Irak, Hijaz, Yaman, Iran, Qafqasiya, Qarim dan wilayah di
balik sungai hingga Bukhara dan Janwah bagian timur, juga Mesir, Sudan,
Libya, Tunisia, Aljazair, Barat jauh, dan Spanyol bagian Barat. Fathimah
ini bukan hanya puteri Khalifah Agung, bahkan dia juga saudara empat
khalifah Islam terkemuka: al-Walid bin ‘Abdil Malik, Sulaiman bin ‘Abdil
Malik, Yazid bin ‘Abdil Malik dan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Lebih dari
itu dia adalah isteri Khalifah terkemuka yang dikenal Islam setelah
empat khalifah di awal Islam, yaitu Amirul Mukminin ‘Umar bin ‘Abdil
‘Aziz.
Puteri khalifah, dan khalifah adalah kakeknya
Saudara khalifah, dan khalifah adalah suaminya
Saudara khalifah, dan khalifah adalah suaminya
Wanita mulia yang merupakan puteri khalifah dan
saudara empat khalifah ini keluar dari rumah ayahnya menuju rumah
suami-nya pada hari dia diboyong kepadanya dengan membawa harta termahal
yang dimiliki seorang wanita di muka bumi ini berupa perhiasan. Konon,
di antara perhiasan ini adalah dua liontin Maria yang termasyhur dalam
sejarah dan sering disenandungkan para penya’ir. Sepasang liontin ini
saja setara dengan harta karun.
Ketika suaminya, Amirul Mukminin, memerintahkannya
agar membawa semua perhiasannya ke Baitul Mal, dia tidak menolak dan
tidak membantahnya sedikit pun.
Wanita agung ini -lebih dari itu- ketika suaminya,
Amirul Mukminin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz wafat meninggalkannya tanpa
meninggalkan sesuatu pun untuk diri dan anak-anaknya, kemudian pengurus
Baitul Mal datang kepadanya dan mengatakan, “Perhiasanmu, wahai
sayyidati, masih tetap seperti sedia kala, dan aku menilainya sebagai
amanat (titipan) untukmu serta aku memeliharanya untuk hari tersebut.
Dan sekarang, aku datang meminta izin kepadamu untuk membawa (kembali)
perhiasan tersebut (kepadamu).”
Fathimah memberi jawaban bahwa perhiasan tersebut
telah dihibahkannya untuk Baitul Mal bagi kepentingan kaum muslimin,
karena mentaati Amirul Mukminin. Kemudian dia mengatakan, “Apakah aku
akan mentaatinya semasa hidupnya, dan aku mendurhakainya setelah
kematiannya? [10]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal
Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
_______________________________________________________________________
[1]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (II/2080), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (II/36), Siyar A’laamin Nubalaa’ (II/286); al-Ishaabah (VII/491).
[2]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (VIII/208).
[3]. Audatul Hijaab (II/533), dan dinisbatkan kepada ad-Durrul Mantsuur fii Thabaqaat Rabaatil Khuduur (hal. 517).
[4]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/343).
[5]. ‘Audatul Hijaab (II/534).
[6]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (no. 1281), shahih.
[7]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (III/276), shahih.
[8]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/278).
[9]. Akhbarun Nisaa’ (hal. 138), dan kitab ini dinisbatkan secara keliru kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Yang benar bahwa beliau tidak pernah menulis kitab ini.
[10]. ‘Audatul Hijaab (II/538)
_______________________________________________________________________
[1]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (II/2080), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (II/36), Siyar A’laamin Nubalaa’ (II/286); al-Ishaabah (VII/491).
[2]. Thabaqaat Ibni Sa’ad (VIII/208).
[3]. Audatul Hijaab (II/533), dan dinisbatkan kepada ad-Durrul Mantsuur fii Thabaqaat Rabaatil Khuduur (hal. 517).
[4]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/343).
[5]. ‘Audatul Hijaab (II/534).
[6]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (no. 1281), shahih.
[7]. As-Silsilah ash-Shahiihah, Syaikh al-Albani (III/276), shahih.
[8]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/278).
[9]. Akhbarun Nisaa’ (hal. 138), dan kitab ini dinisbatkan secara keliru kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Yang benar bahwa beliau tidak pernah menulis kitab ini.
[10]. ‘Audatul Hijaab (II/538)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama