1. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak
lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia,
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman (yang artinya) :
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada
hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185].
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?” -dia
banyak melakukan safar- maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya) : “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika
kamu mau” [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku pernah
melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang
berbuka tidak mencela yang berpuasa” [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan
Muslim 1118].
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana
yang afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal
adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(yang artinya) : “Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang
diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat”
[Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan
sanad yang shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan (yang artinya) : “Sebagaimana Allah
menyukai diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan” [Hadits Riwayat
Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari
Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz
ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat
menjelaskannya].
Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat
dalam mengqadha’ dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak
melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam
satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu.
“Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa
(maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian
berbuka (maka) itu baik (baginya)” [Hadits Riwayat Tirmidzi 713,
Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya
ada Al-Jurairi, riwayat Abul A'la darinya termasuk riwayat yang paling
shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.]
Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke
jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman
agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah
suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih
dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa
orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda (yang artinya) : “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa
dalam safar” [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].
Peringatan :
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini
tidak diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang
yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat bahwa puasa itu lebih
baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini.
Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman
Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya) : “Dan
tidaklah Tuhanmu lupa” [Maryam : 64].
Dan juga firman-Nya “Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui” [Al-Baqarah : 232]
Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar
(yang artinya) : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185]
Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang
diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syari’at. cukup bagimu bahwa
Dzat yang mensyari’atkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan
manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat
bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “Apakah Allah Yang
Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ;
dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?” [Al-Mulk : 14].
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan
Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi
manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak
mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya
(yang artinya) : “Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo’a) :
“Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali”
[Al-Baqarah : 285]
2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat
dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang
membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa berpuasa akan
menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau
dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a’alam
3. Haid dan nifas
Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak
dihalalkan berpuasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha, kalaupun
keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah. Akan datang penjelasannya,
Insya Allah…
4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Kakek dan nenek yang lanjut
usia, yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang
miskin” [Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul
bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir
menukil dalam Al-Ijma' no. 129 akan adanya ijma (kesepakatan) dalam
masalah ini].
Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan
Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat (yang artinya)
: “Orang-orang yang tidak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makan
bagi orang miskin” [Al-Baqarah : 184].
Kemudian beliau berkata : “Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa
dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya
1/2 gantang gandum” [Lihat ta'liq sebelumnya].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Barangsiapa yang mencapai
usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap
harinya satu mud gandum” [Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanadnya
ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi punya syahid (penguat, red)].
Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa)
pada satu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid dan
mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang. [Hadits
Riwayat Daruquthni 2/207, sanadnya shahih]
5. Wanita hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah
adalah Allah memberi rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan
diantara mereka adalah wanita hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik [1], ia berkata : “Kudanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi,
beliau bersabda, “Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang
masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan 1/2
shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui
kewajiban puasa”. Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. Aduhai sesalnya jiwaku,
kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”
[Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa'i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah
16687. Sanadnya hasan (baik, red) sebagaimana pernyataan Tirmidzi]
____________________________________________________________________________________
[1]. Dia adalah Al-Ka’bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ia adalah seorang pria
dari bani Abdullah bin Ka’ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya
meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii
Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H.
Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh
terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama