Di antara AQIDAH AHLUS SUNNAH adalah MELAKSANAKAN IBADAH BERSAMA ULIL AMRI (Pemerintah). Termasuk di dalamnya yaitu mengikuti hari raya yang ditetapkan oleh pemerintah.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (An-Nisaa’: 59)
Ahlus Sunnah berbeda dengan Ahlul Bid’ah. Ahlus Sunnah menegakkan
ibadah bersama ulil amri, meskipun mereka orang-orang fasiq. Dari zaman
Sahabat radhiyallahu ‘anhum -dan seterusnya- ulil amri senantiasa
memimpin ibadah, baik ibadah shalat, puasa, haji dan yang lainnya.
Ahlus Sunnah berbeda dengan firqah Khawarij yang mengkafirkan
penguasa fasiq (zhalim). Kita diperintahkan untuk taat kepada ulil amri
meskipun (mereka) fasiq, selama kefasikannya tidak membawa dirinya
kepada kekafiran yang jelas.
*(Dikutip dari Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Al-Ustadz
Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
Jakarta).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Shaum (puasa) ialah hari ketika kalian berpuasa bersama, juga di hari ketika kalian berhari raya bersama. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) ialah pada hari kamu menyembelih hewan bersama.”الصوم يوم تصومون، و الفطر يوم تفطرون، و الأضحى يوم تضحون
[Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi (No. 693), Abu Dawud (No. 2324), Ibnu Majah (No. 1660), Ad-Daruquthni (2/163-164) dan Baihaqy (4/252) dengan beberapa jalan dari Abi Hurarirah. Dan lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi. Lihat Silsilah Ash-Shahihah (224), Shahih Al-Jami (3869)]
Imam at-Tirmidzi mengatakan setelah membawakan hadits di atas berkata:
وفسر بعض أهل العلم هذا الحديث فقال: إنما معنى هذا، الصوم والفطر مع الجماعة وعظم الناس
Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan:
“Sesungguhnya makna dari ungkapan tersebut adalah berpuasa dan
berhari raya (hendaknya) bersama dengan masyarakat (jama’ah) dan
kebanyakan orang.”
(Sunan At-Tirmidzi, Bab ma jaa’a annal fithra yauma tufthiruun wal adh-ha yauma tudhahhuun).
Abul Hasan as-Sindi mengatakan setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi di atas:
“Yang tampak ialah bahwa maksudnya perkara-perkara ini BUKAN WEWENANG SETIAP ORANG.
Mereka tidak boleh menyendiri dalam melakukannya (hari raya, puasa, dan
kurban, pen). Akan tetapi urusan itu harus dikembalikan kepada imam
(pemimpin/pemerintah) dan jama’ah (masyarakat Islam di sekitarnya).
Sehingga WAJIB BAGI SETIAP INDIVIDU UNTUK MENGIKUTI KETETAPAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT.
Berdasarkan hal ini, apabila ada seorang saksi yang melihat hilal dan
pemerintah menolak persaksiannya, maka dia tidak boleh menetapkan
perkara-perkara tersebut untuk dirinya sendiri. Dia wajib untuk
mengikuti masyarakat dalam melaksanakan itu semua.” (Hasyiyah as-Sindi
‘ala Ibni Majah, hadits 1650. asy-Syamilah).
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan:
“Apabila pemerintah sudah mengumumkan melalui radio atau
media yang lainnya mengenai ditetapkannya (masuknya) bulan (hijriyah)
maka wajib beramal dengannya untuk menetapkan waktu masuknya bulan dan
keluarnya, baik ketika Ramadhan atau bulan yang lain. Karena pengumuman dari pemerintah adalah hujjah syar’iyyah yang harus diamalkan.
Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu
memerintahkan Bilal untuk mengumumkan kepada masyarakat penetapan (awal)
bulan agar mereka semua berpuasa karena ketika itu masuknya bulan telah
terbukti di sisi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau
menjadikan pengumuman itu sebagai ketetapan yang harus mereka ikuti
untuk melakukan puasa.” (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 16).
*(Dikutip dari http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/06/30/menyambut-ramadhan-apa-yang-harus-dipersiapkan/)
Dalam menentukan hari raya. Pemerintah tidak lepas dari dua hal.
Yaitu, keputusannya sesuai dengan syari’at, dan keputusannya yang tidak
sesuai dengan tuntunan syari’at, penjelasannya sebagai berikut:
I. Jika keputusan dalam menentukan hari raya telah sesuai dengan syari’at.
Yaitu menggunakan ru’yah hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan tatkala hilal tertutup awan,
maka dalam hal ini tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk keluar
dan membangkang terhadap orang yang telah Allah jadikan sebagai waliyyul
amril mukminin.
Permasalahan: Jika seseorang melihat hilal sendirian, apakah dia boleh berbuka dan berhari raya sendiri?
Jawaban. Dalam hal ini, para ulama mempunyai dua pendapat yang masyhur:
[a]. Dia Tidak Dibenarkan Berbuka.
Tetapi, hendaklah dia berbuka dan berpuasa dengan kaum muslimin.
Demikian ini adalah madzhab jumhur ulama (Hanafiyah [1], Malikiyah [2]
dan Hanabilah [3]), dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Beliau berkata: “Dan demikian ini adalah pendapat yang terkuat, sesuai
dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Puasa kalian adalah
pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian
berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua)
menyembelih.”
Dalam mensyarah hadits di atas Tirmidzi berkata: “Sebagian ahli ilmu
menafsirkan hadits ini ; mereka mengatakan, berpuasa dan berbuka bersama
jama’ah.”[4]
[b]. Dan Dibenarkan Untuk Berbuka Secara Sembunyi.
Demikian ini madzhab Syafi’iyyah [5], sebagian Hanafiyah dan Hanabilah.
Dr Ahmad Muwafi berkata: “Sebenarnya pendapat Syafi’iyyah dalam bab
ini cukup kuat; karena berpuasa dan berbuka berkaitan dengan ru’yah, dan
dia telah yakin melihat hilal Syawal. Dan ini cukup baginya untuk tidak
berpuasa. Bagaimana dia dituntut untuk berpuasa, padahal dia yakin
bahwa ia telah keluar dari puasa wajib? Ini tidak bertentangan dengan
hadits, “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka
kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian,
ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih.” Karena tujuan akhir dari
hadits tersebut ialah menganjurkan kepada kaum muslimin yang telah
melihat hilal sendirian dan tidak terlihat oleh yang lainnya. Kalau
tidak, dia sembunyikan puasanya dengan selalu menampakkan apa yang
dilakukan oleh jama’ah, atau dia dianjurkan berpuasa, untuk mensepakati
jama’ah kaum muslimin, dan berbuka ketika kalian semua berbuka. Karena
tidak mungkin dia berbuka sebelum yang lain dari berhari raya sendirian,
bukan berarti wajib bagianya berpuasa.
Wallahu Ta’ala a’lam.” [6]
II. Jika Pemerintah Membuat Keputusan yang Salah Dalam Menentukan Hari Raya.
Misalnya dengan menggunakan hisab, atau mengikuti penanggalan di
kalender, atau dengan semisalnya yang tidak ada tuntunannya dalam
syari’at, maka –wallahu ‘alam- tidak ada alasan bagi seorang muslim
untuk berhari raya sendiri-sendiri. Mereka tetap diharuskan untuk berhari raya bersama kebanyakan kaum muslimin, dalam hal ini bersama pemerintah;
demi menjaga persatuan dan tidak jatuh ke dalam jurang perpecahan.
Sesuai dengan sabda Rasulullah: “Puasa kalian adalah pada hari kalian
berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari
penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih.”
Ash-Shan’ani, ketika mensyarah hadits ini berkata: “Dalam hadits ini,
dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia
karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru’yah, wajib
baginya untuk mengikuti orang lain dan diharuskan shalat, berbuka dan
kurban bersama dengan mereka.”[7]
Dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar
Radhiyallahu ‘anhum berkata: “Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka
pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian) datanglah kafilah pada sore
harinya. Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin mereka melihat
hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu
juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Ied.”[8]
Asy-Syaukani menyebutkan, diperbolehkan shalat Ied pada hari kedua.
Tidak ada perbedaan antara adanya keraguan dan yang lainnya karena
udzur, baik karena ragu atau alasan lainnya, dengan mengqiaskan
dengannya.”[9]
Lebih tegas lagi Syaikhul Islam menyebutkan: “Jika dikatakan: ‘Bisa
saja pemerintah diserahi untuk menetapkan hilal lalai, karena menolak
persaksian orang-orang yang terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam
meneliti amanah mereka. Bisa saja persaksian mereka ditolak, karena
adanya permusuhan antara pemerintah dengan mereka. Atau sebab-sebab lain
yang tidak disyari’atkan. Atau karena pemerintah bersandarkan dengan
perkataan ahli nujum yang menyatakan melihat hilal.’
Maka dikatakan (kepada mereka): Hukum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah (dengan cara apapun, pen) tidak akan berbeda dengan orang
yang mengikuti pemerintah dengan melihat ru’yah hilal; baik sebagai
mujtahid yang benar atau (mujtahid) yang salah atau lalai. Sebagaimana
telah disebutkan dalam Shahih, bahwa Nabi bersabda tentang para
penguasa: “Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya)
untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka.”
Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum
muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan.” [10]
Wallahu
a’lam
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M,
Dinukil dari Artikel Fatwa-Fatwa Seputar Berhari Raya Dengan Pemeritah,
Penyusun Armen Halim Naro. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Alamat Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo - Solo]
_____________________________________________________________________________________
[1]. Lihat Fathul Qadir bersama Hidayah (2/325)
[2]. Lihat Al-Qawanin, Ibnu Juzaiy (102)
[3]. Lihat Al-Inshaf, Al-Marsawi (3/278)
[4]. Lihat Sunan Tirmidzi bersama Tuhfah (3/383)
[5]. Lihat Majmu Syarah Muhazzah, Nawawi 96/286)
[6]. Taisir Al-Fiqh Al-Jami Lil Ikhtiaratil Fiqhiyyah Li Syaikhul Islam Ibni Taimiyah (1/449-450)
[7]. Subulus Salam (2/134)
[8]. Hadits dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitab Shalat, Bab (Idza Lam Yakhrujil Imam Lil id..) No. 1157
[9]. Lihat Nalilul Authar (2/295)
[10]. Majmu Fatawa (25/206)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama