Makalah ini adalah lanjutan
dari dua makalah sebelumnya, yang pembahasannya berkisar tentang
hubungan antara pembaharuan dengan penguasaan Ilmu Ushul Fiqh,
perkembangan Ilmu Ushul Fiqh secara umum, perlunya me-revisi ulang
kajian ushul fiqh, dan membungkus kajian-nya dengan bingkai dan
metodologi yang memihak kepada maslahat kehidupan manusia, memaksimalkan
perannya di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi
umat manusia pada abad ini, dan seterusnya. Begitu juga telah dibahas
tentang pengertian Ushul dan Fiqh secara lebih mendetail, disertai
dengan contoh dan sebagian permasalahan yang terkait dengannya. Untuk
kali ini, insya Allah kita fokuskan pada pengertian Ushul Fiqh sebagai
salah satu disiplin keilmuan Islam.
Menurut pengertian para ulama ,
Ushul Fiqh adalah : “ Ilmu yang membahas tentang dalil- dalil fiqh
secara global, tentang metodologi penggunaannya serta membahas tentang
kondisi orang-orang yang menggunakannya . “
Dari pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa Ilmu Ushul Fiqh mempunyai tiga bidang garapan :
- Dalil- dalil fiqh secara global ( Reverensi Penelitian )
- Metodologi penggunaan dalil- dalil tersebut. ( Metodologi Penelitian )
- Kondisi orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut, yaitu para mujtahid . ( Syarat-syarat Peneliti )
Kalau kita perhatikan secara
seksama tiga bidang garapan tersebut, ternyata sesuai dengan kriteria
yang ditawarkan oleh berbagai Lembaga Penelitian yang sedang merebak
akhir-akhir ini . Hal ini menunjukkan bahwa para ulama Islam, jauh-jauh
sebelumnya telah menyusun kajian yang sangat mendetail dan sistematis.
Penelitian apapun, tidak bisa dipisahkan dengan tiga unsur di atas. Tak
ayal, kalau sebagian ulama kontemporer menjadikan manhaj ushul fiqh
sebagai pijakan di dalam menentukan manhaj-manhaj bagi disiplin
keilmuan lainnya .
Adapun keterangan dari pengertian ilmu ushul fiqh di atas adalah sebagai berikut :
( Ilmu yang membahas dalil- dalil fiqh secara global )
Ilmu Ushul Fiqh ini hanya
membahas dalil-dalil fiqh secara global, seperti Al Qur’an dan Sunnah
dengan berbagai permasalahan yang menyangkut dengan kedua sumber
tersebut seperti : Al ‘Am, Al Khos, Al Mutlaq, Al Muqayad, Al Mujmal, Al
Mubayin, Al Hakikah , Al Majaz dan lain-lainnya . Selain itu, ilmu
ini juga membahas tentang Ijma’, Qiyas dan dalil-dalil yang masih
diperselisihkan oleh para ulama, yaitu Qaul Shohabi , Al Istishab, Al
Istihsan, Sadd al-Dzara’idan Al Masholih al-Mursalah.
Adapun Ilmu Fiqh ([1])
pembahasannya terfokus pada dalil-dalil syar’i secara lebih terperinci ,
seperti : kewajiban berniat ketika hendak berwudlu, dengan menggunakan
dalil firman Allah swt :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
“ apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. “ ( Qs Al Maidah : 6 )
(Apabila kamu hendak ) menunjukkan bahwa niat diwajibkan ketika hendak berwudlu . Hal ini dikuatkan dengan sabda Rosulullah saw :
إنما الأعمال بالنيات
“ Hanyasanya segala perbuatan itu akan dihitung jika disertai niat. “ (HR Bukhari no : 1, Muslim no : 4844)
( Metodologi penggunaan dalil- dalil tersebut )
Selain membahas dalil- dalil secara global, Ilmu Ushul Fiqh juga membahas tata cara penggunaan dalil- dalil tersebut.
Tata cara penggunaan dalil – dalil syar’I, bisa dibagi menjadi dua bagian :
Bagian pertama ; Yang bersifat
“ Al lafdhi “ ( tekstual) , yaitu tata cara penggunaan dalil-dalil
syar’I yang terkait dengan teks –teks Al Qur’an dan Sunnah . Tata cara
ini bisa juga disebut dengan “ Al Ijtihad A-lBayani “ , seperti firman
Allah swt :
وَأَنْ أَقِيمُواْ الصَّلاةَ
“ Dan dirikanlah sholat “ ( QS Al An’am : 72 )
Perkataan “ Aqimuu “
menunjukkan perintah , dan perintah ini tidak terikat dengan unsur lain,
di dalam kaedah ushul fiqh disebutkan bahwa “ suatu perintah pada
dasarnya menunjukkan suatu kewajiban, selama tidak ada hal-hal yang
memalingkannya dari makna asli. “ . Dengan demikan kita mengetahui dari
ayat di atas,bahwa sholat hukumnya wajib.
Bagian kedua : Yang bersifat “
Al-ma’nawy” ( substansial ), yaitu tata cara menggunakan dalil-dali
syar’I dengan melihat subtansi atau pesan dari teks-teks yang ada di
dalam Al Qur’an dan Al Hadist , kemudian pesan tersebut diterapkan pada
masalah-masalah lain yang tidak tersebut di dalam teks. Bagian ini bisa
disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al Qiyasi “ .
Tata cara ini dibagi menjadi tiga macam :
Tata cara ini dibagi menjadi tiga macam :
1/ Takhrij Al Manat , yaitu : mengeluarkan pesan atau alasan dari teks .
2 / Tanqih Al Manat , yaitu : menyeleksi alasan-alasan yang dikeluarkan dari teks dan mengambil yang paling sesuai.
3/ Tahqiq Al Manat : Menerapkan pesan atau alasan yang sudah terseleksi pada masalah-masalh yang tidak tersebut dalam teks.
( Membahas kondisi orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut )
Orang-orang yang menggunakan
dalil- dalil tersebut adalah para mujtahid, yaitu orang yang mampu
melakukan istinbath hukum dari dalil syar’I.
Ilmu Ushul Fiqh ini membahas
juga pengertian ijtihad dan mujtahid, syarat-syarat yang harus dimiliki
oleh seseorang untuk menjadi seorang mujtahid, tingkatan-tingkatan
mujtahid, bentuk-bentuk ijtihad. Selain itu dibahas juga pengertian “
muqallid ‘’, yaitu seseorang yang belum mampu melakukan proses ijitihad
secara sendiri, sehingga dia harus mengikuti perkataan mujtahid di dalam
mengetahui hukum-hukum syar’I. Di dalamnya diterangkan juga tentang
beberapa kondisi dimana seseorang dibolehkan bertaqlid. Berikutnya,
dibahas juga pengertian ‘ talfiq ‘ , yaitu menggabungkan
pendapat-pendapat di dalam berbagai madzhab dalam satu masalah atau
lebih,kemudian diamalkan secar a bersama .
Jika ada pertanyaan : “ Al
Maqasid dan Al Maslahat “ , dua hal yang akhir-akhir ini sering dilirik
oleh sebagian pemerhati syare’ah, apakah termasuk dalam bagian dari
ilmu ushul fiqh ? Jawabannya bahwa Al Ilmu bil-Maqasid atau pengetahuan
tentang tujuan diturunkan syare’ah oleh sebagain ulama dikatagorikan
sebagai salah satu syarat ijitihad yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid. Namun mayoritas ulama menganggapnya sebagai syarat pelengkap
saja, bukan syarat utama, karena maqashid syare’ah tidak bisa diketahui
kecuali melalui teks-teks yang terdapat di dalam Al Qur’an dan As
Sunnah ([2]) . Ijitihad dengan menggunakan pertimbangan maslahat bisa disebut dengan “ Al Ijtihad Al Maqasidy “
Adapun Maslahat, atau Mashalih Mursalah ([3])
adalah dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama, walaupun pada
hakekatnya mereka menyepakati bahwa maslahat yang masih dalam koridor
sayre’ah bisa dipakai sebagai pembantu di dalam menentukan hukum dalam
suatu masalah. Dan itu semua kembalinya kepada pemahaman terhadap
teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Ijtihad dengan
menggunakan koridor maslahat disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al
Istislahy “
Dari keterangan di atas bisa
disimpulkan, bahwa seluruh proses ijtihad atau pengambilan hukum tidak
bisa dilepaskan dari pemahaman kita terhadap teks-teks Al Qur’an dan As
Sunnah yang keduanya menggunakan Bahasa Arab.
Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu
yang mempelajari kaidah-kaidah dalam teks-teks tersebut. Kaidah-kaidah
tersebut didasarkan pada kaidah Bahasa Arab. Kaidah semacam ini sudah
baku dan telah disepakati oleh para ulama, walaupun terdapat perbedaan
di dalam beberapa masalah. Oleh karenanya tidak diperkenankan bagi
seseorang yang tidak memahami Bahasa Arab dan tidak mengerti
kaidah-kaidah di dalam ushul fiqh untuk berijtihad, karena dia tidak
memiliki sarana dan alat untuk bekerja. Tidak diperkenankan juga, bagi
setiap orang untuk merubah kaidah-kaidah tersebut, tanpa menyertakan
alasan-alasan yang ilmiyah dan bisa dipertanggung jawabkan menurut
disiplin keilmuan yang ada.
Semoga tulisan yang sedikit
dan singkat ini, bisa memacu kita untuk bersungguh-sungguh mempelajari
Ilmu Ushul Fiqh ini. Tanpa itu , proses ijtihad akan menyimpang dari
jalannya yang benar, dan selanjutnya akan menunai kerusakan dan
kekacauan . Semoga Allah memberikan kepada kita pemahaman yang benar
terhadap agama ini, untuk selanjutkan kita amalkan di dalam kehiduan
kita sehari-hari.
Wallahu A’lam
Wallahu A’lam
*
Makalah ini disampaikan dalam acara Paket Kader Syare’ah ( PAKAIS )
yang diadakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Syare’ah Islamiyah (
SEMA-FSI ) di Wisma Nusantara pada hari Kamis tanggal 16 Pebruari 2006 M
.
(
[1] ) Sebagian ulama membatasi pengertian Ilmu Fiqh pada
masalah-masalah yang bisa dijadikan obyek proses ijtihad, yaitu
masalah-masalah yang masih diperselisihkan para ulama, seperti
kewajiban membaca sholawat pada tasyahud akhir ketika sholat, kewajiban
berniat ketika berwudlu, dan lain-lainnya.
(
[2] ) Para ulama menyebutkan cara-cara untuk mengetahui “ Maqasid
Syare’ah “ diantaranya adalah : 1/ mengadakan pembacaan yang utuh dan
menyeluruh terhadap pesan-pesan yang terkandung dalam teks-teks Al
Qur’an dan As Sunnah, berikut alasan -alasannya, 2/ memahami bahasa Arab
dengan baik, 3/ memahami alur pembicaraan yang terdapat di dalam teks,
4/ mengikuti pemahaman para sahabat, karena mereka hidup bersama wahyu
. 5/ mengetahui masalah-masalah yang tidak disinggung oleh wahyu baik
secara langsung , maupun tidak langung .
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama