IV. Tasbihat Arba’ah
Dalam keadaan berdiri pada rakaat ketiga dan keempat dalam shalatnya[16],
seorang hamba akan membaca empat rangkaian kalimat yang penuh makna
seputar kemahaagungan Allah swt. Kami akan menguraikan maksud dari
masing-masing kalimat suci yang dibaca sebelum ruku’ dan sujud tersebut.
Kalimat-kalimat suci itu
adalah subhanallah (Mahasuci Allah), walhamdulillah (segala puji hanya
milik Allah), wala ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah), dan
Wallahu akbar (Allah Mahabesar).
Dengan memahami makna yang
sebenarnya dari keempat kalimat suci tersebut, seseorang bisa dikatakan
telah memiliki pemahaman yang utuh tentang ketauhidan. Masing-masing
kalimat tersebut pada hakikatnya mengungkapkan aspek yang berbeda dari
konsep ketauhidan.
Mengulang-ulang pernyataan
tersebut dalam ibadah shalat sehari-hari tidak hanya akan menumbuhkan
kesadaran diri orang-orang yang melakukannya. Lebih dari itu, ia juga
akan mengubah pola perilakunya. Dengan kata lain, keyakinan suci Islam
secara umum terwujud dalam keseharian hidupnya. Islam adalah jalan
hidup.
Sungguh, pemahaman tentang
segenap hal yang berkenaan dengan Islam sangatlah bernilai. Namun,
sesuatu yang kita pahami, kemudian diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari tentu jauh lebih bernilai lagi. Islam sangat menganjurkan
untuk memeluk jenis keyakinan yang membebani tugas-tugas (mulia)
tertentu ke pundak seseorang.
Semua itu dimaksudkan
agaar seseorang lebih bertanggung jawab terhadap tindak-tanduknya
sendiri. Jalan hidup orang-orang beriman yang meyakini betul keberadaan
Allah sangatlah berbeda dengan jalan hidup orang-orang yang tidak
mempercayai keberadaan Allah. Seseorang yang meyakini dirinya merupakan
bagian dari keseluruhan tatanan alam oleh Sang Pencipta yang Mahakuasa
dan Mahatahu, akan senantiasa bertanggung jawab terhadap segenap
tindak-tanduknya.
Dirinya selalu merasa
terikat dan mengerahkan segenap tindakannya kepada cita-cita serta
tujuan hidupnya. Secara konsekwen, ia akan berusaha mati-matian untuk
mewujudkan segenap (kebaikan) yang sebelumnya telah direncanakan.
Berkat kehidupan yang mengandungi tujuan tersebut, dirinya pun merasakan kebahagiaan dan kepuasan yang tiada tara. Begitu pula dengan keyakinan dan pemahaman terhadap konsep Hari Pengadilan, kenabian, dan keimamahan.
Sebagaimana ketauhidan,
masing-masing dari konsep tersebut juga akan menimbulkan pengaruh pada
diri seseorang. Secara konsekwen, semua itu akan membedakan mana
orang-orang yang memiliki keyakinan dan mana yang tidak. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita memang tidak dapat membedakan secara lahiriah siapa
saja pengikut mazhab pemikiran ini dan siapa saja yang bukan. Sebab,
kuat atau rapuhnya keyakinan, lebih disebabkan oleh mendalam atau
dangkalnya pemahaman seseorang terhadap prinsip-prinsip dasar (Islam).
Bagaimanapun, perbedaan
antara orang yang benar-benar beriman dan orang yang berpura-pura akan
ditampakkan kelak dalam situasi kehidupan yang sesungguhnya. Bertolak
dari diskusi di atas, kita akan membahas makna dari keempat kalimat suci
tersebut.
1- Subhanallah
Allah Mahasuci dan
mustahil bersekutu, bertindak sewenang-wenang, dan memiliki kekurangan.
Allah tidak diciptakan dan tidak pernah melakukan kesalahan.
Lagipula , kita tidak
dapat menyifati Allah dengan sifat-sifat atau ketidaksempurnaan sesuatu
sebagaimana yang kita kenal atau dapat kita bayangkan. Allah lebih
(besar) dari apa yang dapat kita bayangkan.
Berdasarkan itu, seorang
hamba yang selalu mengingat Allah akan menyadari posisinya sebagai sosok
makhluk yang membutuhkan Tuhan yang Mahakuasa serta menyerahkan dirinya
secara penuh kepada Allah yang Mahasempurna dan sumber segala keindahan
absolut. Akankah seseorang merasa keberatan untuk menyembah Tuhan
semacam itu?
Inilah maksud dari ibadah
shalat yang diperintahkan Islam; menjadikan manusia hanya bertekuk-lutut
menyembah Allah yang Mahakuasa dan mengakui-Nya sebagai sumber segenap
kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan mutlak.
Tentu hal ini bukanlah
dimaksudkan untuk melecehkan manusia; setiap orang pasti menyukai serta
menghargai kecantikan dan kesempurnaan. Ini sesuai dengan fitrah manusia
yang mampu memahami sesuatu yang dirasakan dan bersifat abstrak,
seperti kecantikan, cinta, dan kasih sayang.
Dan semua itu jelas
menjadikan manusia memiliki nilai lebih ketimbang makhluk lainnya.
Selain pula berfungsi untuk membatasi apa-apa yang dapat dirasakannya.
Akankah setiap orang menolak untuk menyembah kebaikan, cinta, dan
kecantikan sempurna?
Tentu saja kemampuan untuk
menghargai semua itu semata-mata merupakan sebuah anugerah. Ya,
anugerah yang diperoleh seseorang yang menapaki jalan (kebenaran) ini
adalah tumbuhnya ketaatan (kepada Allah) dalam dirinya, sehingga
menjadikan hidupnya begitu terarah dan bermakna.
Siapapun yang menganggap
remeh ibadah atau penyembahan kepada Allah pada dasarnya tidak memahami
hakikat dari persoalan ini. Mereka menyamakan penghambaan kepada Allah
dengan tunduk atau mencium kaki seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Sesungguhnya kehendak
untuk menghargai serta menghormati keindahan, kesucian, dan kesempurnaan
mutlak merupakan fitrah manusia. Kalimat suci subhanallah (Mahasuci
Allah), pada dasarnya menghendaki kita untuk terus-menerus merenungkan
kesempurnaan mutlak Tuhan yang Mahakuasa.
2- Walhamdulillah
Segala puji bagi Allah
semata. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan hampir sebagian
besar orang senantiasa giat berusaha demi mendapatkan sesuatu; status,
kedudukan, harta kekayaan, atau bahkan kebutuhan hidupnya yang paling
primer (pangan, sandang dan papan). Apakah dibenarkan jika kita
menengadahkan tangan atau bahkan sampai mengemis kepada orang-orang
semacam itu demi mendapatkan sekantong uang?
Sekalipun orang-orang
semacam itu tingkat kecerdasannya di bawah kita, namun dikarenakan
memiliki kedudukan tertentu atau sanggup memberi kita sesuatu (yang
sebenarnya tidak berharga), maka hampir setiap waktu kita selalu memuji
dan begitu menghargai mereka.
Dengan selalu mengingat
bahwa segenap kemuliaan serta pujian seyogianya hanya tercurah kepada
Allah dan segala sesuatu hanyalah milik-Nya, niscaya hidup kita akan
jauh lebih mudah.
Pada kenyataannya, Allah
lah yang memberi anugerah kepada setiap orang. Karenanya, tak seorang
yang berhak untuk menumpuk makanan atau pelbagai barang kebutuhan
lainnya demi mendapat penghormatan atau penghargaan orang lain.
Para
fakir miskin seyogianya tidak berharap kepada kaum hartawan (orang
kaya), orang-orang yang hidup makmur, atau para penimbun. Sebaliknya, ia
harus berusaha hidup mandiri dan pada saat yang sama menganggap mereka
sebagai para perampas yang serakah.
3- Wala ilaha illallah
Inilah kaidah kencana
Islam yang memperlihatkan universalitas sekaligus kekhasan ideologinya.
Pernyataan ini memiliki dua sisi; pengingkaran (nafi) sekaligus
penetapan (itsbat).
Sisi yang pertama
(pengingkaran) dimaksudkan untuk mengenyahkan segenap kontrol, tirani
dan dominasi kekuasaan para adikuasa atau penguasa zalim lainnya
terhadap masyarakat. Atau dengan kata lain, membebaskan manusia dari
segala bentuk perbudakan.
Seorang Muslim yang
sesungguhnya tidak akan tunsuk di hadapan kekuasaan lain selain
kekuasaan Allah dan tidak akan pernah melakukan pelanggaran terhadap
segenap perintah-Nya.
Berkat sikap pengingkaran
yang sungguh luar biasa ini, ia akan terbebas dari kesengsaraan,
belenggu penghambaan, perbudakan dan keragu-raguan. Ia meleburkan
dirinya semata-mata ke dalam sistem Ilahi, yakni pemerintahan yang
benar-benar Islami. Dirinya memilih untuk menaati Allah dan bukan
menaati orang-orang yang acapkali memaksanya untuk melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan perintah-Nya. Untuk menjadi hamba Allah,
seseorang harus menata pola hidupnya sesuai dengan keinginan Allah dan
menjadikan dirinya sebagai teladan orang lain.
Selain itu, ia juga harus
berusaha untuk mengembangkan gagasan seputar pendirian negara atau wadah
kehidupan bersama yang ditopang nilai-nilai ketuhanan. Sistem sosial
lain di muka bumi ini yang tidak dibentuk secara demikian adalah sistem
sosial yang bersifat sekuler.
Sistem sosial semacam itu
didesain dan dibangun oleh manusia sehingga tidak memiliki tujuan akhir
yang bersifat hakiki dan tidak akan pernah menciptakan kemakmuran hidup.
Kemampuan manusia sangatlah terbatas sehingga menjadikannya tidak
sanggup mengetahui masing-masing kebutuhan dari sesamanya. Selain itu,
dirinya acapkali bersikap subjektif dalam menilai sesuatu.
Dengan kekurangan seperti
itu, maka sistem yang didesain dan dibangunnya pasti tidak akan pernah
sempurna. Hanya ketetapan suci yang berasal dari yang Mahaagung, yang
mengetahui segenap kebutuhan manusia saja yang dapat menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan
umat manusia. Upaya seluruh nabi Allah, dengan cara masing-masing, untuk
merumuskan hal semacam itu tidaklah ditentang para penguasa atau
bangsa-bangsa lain. Alasannya, para nabi justru melindungi dan
menginginkan mereka (penguasa atau suatu bangsa) hidup makmur.
Para
nabi memainkan peran sebagai seorang ayah yang sangat bijak bagi
masyarakatnya. Mereka senantiasa membimbing masyarakat dalam menentukan
pilihan bagi jalan hidupnya. Seraya itu, para nabi juga tidak
henti-hentinya menjelaskan bahwa siapapun tak akan pernah mengecap
kebahagiaan hidup dalam sistem sosial apapun kecuali dirinya bertuhan
dan bertindak sesuai dengan titah Allah swt.
Sepanjang sejarah umat
manusia sampai hari ini, kita tentu menyaksikan dengan hati pilu betapa
hina, sengsara dan menderitanya orang-orang yang hidup di bawah
kekuasaan para penguasa lalim. Sebaliknya, betapa makmur dan
sejahteranya masyarakat yang hidup dalam sistem sosial Ilahiah.
4- Wallahu Akbar
Allah Mahabesar. Rata-rata
manusia tidak dapat merubah kehidupannya begitu saja, sekalipun
keadaannya sudah sangat mengerikan. Dirinya sudah sedemikian
dibayang-bayangi ketakutan dan kengerian sehingga memilih untuk tidak
mengatakan ‘tidak’ kepada para penguasa zalim, penindas dan arogan. Ya,
mereka lebih cenderung untuk menyandarkan dirinya kepada lembaga-lembaga
tersebut. Padahal kalau saja berani mengatakan ‘tidak’, niscaya mereka
akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kekuasaan zalim
yang selama ini telah menjadi momok yang begitu menyeramkan itu ambruk
dalam sekejap.
Sayang, ketidakpedulian
dan kurangnya keyakinan di satu sisi, serta ketakutan untuk menghadapi
resiko balas dendam yang mungkin dilancarkan pihak penguasa zalim di
sisi yang lain, sudah sedemikian meliputi diri mereka. Pada saat seperti
itu, seharusnya mereka mengucapkan, “Allahu Akbar”.
Sungguh, Allah Mahabesar,
lebih besar dari segenap apapun, siapapun dan kekuasaan manapun. Allah
bahkan lebih besar dari apa yang dapat kita bayangkan. Allah adalah
perancang seluruh hukum alam, termasuk hukum alam ghaib. Keberhasilan
hidup hanya mungkin dicapai bila seseorang menyesuaikan diri dengan
rangkaian hukum-hukum tersebut serta mengikuti tuntunan Ilahi.
Rasulullah saw adalah
pribadi agung yang sangat menyadari kenyataan ini. Disertai keyakinan
yang penuh terhadapnya, beliau saw bangkit sendirian menentang segenap
penindasan yang pada waktu itu banyak dipraktekkan orang-orang kafir
Mekah.
Pada akhirnya, beliau saw
berhasil mengubah pemikiran sejumlah orang yang sebelumnya menempuh
kesesatan. Seraya itu, belaiu juga menunjukkan kepada mereka jalan
kebenaran yang akan menyelamatkan seluruh umat manusia. Tatkala merasa
tidak berdaya untuk melawan suatu ketidakadilan, seyogianya seseorang
ingat bahwa Allah Mahakuasa.
Dengannya, niscaya ia akan
mendapat kekuatan yang sungguh luar biasa. Tekad dirinya pun akan
menjadi sedemikian kukuh sehingga tak seorang pun yang mampu mencegah
dan merintanginya.
Inilah pembahasan ringkas
tentang pelbagai keuntungan yang dapat diperoleh seseorang ketika
mengucapkan secara berulang-ulang (dalam keadaan berdiri), keempat
kalimat suci tersebut pada rakaat ketiga dan keempat dari setiap
shalatnya.
______________________________________________________________________________________
Artikel Lanjutan :
______________________________________________________________________________________
Artikel Lanjutan :
Artikel Sebelum :
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama