Ayat
45 surat Al-‘Ankabut membahas filsafat agung shalat. Ayat itu berbunyi,
“Sesungguhnya shalat itu mencegah [manusia] dari perbuatan yang keji
dan mungkar.”
Pada
dasarnya, hakikat shalat adalah mengajak manusia untuk mengetahui
faktor pencegah paling kuat (dalam diri manusia) yaitu keyakinan
terhadap wujud Allah (sumber permulaan) dan Hari kebangkitan (ma’âd)
yang berpengaruh kuat dalam mencegah manusia dari melakukan perbuatan
yang keji dan mungkar.
Seseorang
yang berdiri untuk melakukan shalat dan mengucapkan takbir, mengakui
bahwa Allah swt; Dzat yang Lebih Baik dan Lebih Tinggi dari segala yang
ada dan akan mengingat semua kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya.
Dengan mengucapkan pujian dan syukur, ia memohon curahan kasih dan
sayang-Nya, mengingat hari pembalasan, mengakui ketundukan, melakukan
penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya, meminta petunjuk
dari-Nya untuk mendapatkan jalan yang lurus dan memohon perlindungan
sehingga tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah
dimurkai oleh-Nya serta tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang
yang tersesat. (Kandungan dari surat Al-Fatihah).
Tanpa
syak lagi, manusia yang mempunyai kalbu demikian akan memahami bahwa
setiap langkah perjalanannya akan mengarah kepada sesuatu yang hak dan
benar, gerakannya akan menuju kepada kesucian dan kesempurnaan, dan
lompatannya akan melesat ke arah ketakwaan.
Manusia
semacam ini, ketika melakukan shalat dengan membungkukkan badannya
untuk ruku’, laksana seorang hamba dan meletakkan dahi di atas permukaan
tanah di haribaan suci-Nya untuk mengakui kebesaran dan kemuliaan-Nya
dan tenggelam dalam keagungan-Nya, serta menghapus segala ego dan
kesombongan yang ada pada dirinya.
Lalu ia pun akan mengucapkan syahadat untuk memberikan kesaksian atas keesaan-Nya dan risalah Rasul-Nya.
Setelah
itu, ia mengirimkan shalawat kepada utusan-Nya yang mulia, Rasulallah
saw dan menengadahkan kedua tangannya di bawah mihrab suci-Nya untuk
memohon belas kasih supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya
yang salih.
Semua
faktor ini akan memunculkan semangat spiritual dalam dirinya; sebuah
gelombang besar yang mampu melebur dan meluluhlantakkan setiap dosa yang
menumpuk di hadapannya.
Amal
semacam ini terulang beberapa kali dalam sehari semalam. Bahkan, ketika
ia terbangun dari tidurnya di pagi hari yang masih gulita pun, ia telah
tenggelam dalam kenikmatan mengingat-Nya.
Di
pertengahan hari, ketika ia telah disibukkan oleh kehidupan materi,
tiba-tiba suara takbir muazin akan menghentakkan dan menyadarkannya
untuk menghentikan sejenak apa yang sedang dikerjakannya, kemudian
bergegas mempersiapkan diri menghadap ke pelukan Sang Kekasih. Bahkan
pada akhir hari dan permulaan malam sebelum menuju ke tempat
istirahatnya pun, ia masih menyempatkan diri untuk mencurahkan seluruh
isi hatinya, mengadu, menangis, meratap, berkeluh kesah kepada Sang
Pemilik Hati dan menciptakan hatinya sebagai pusat cahaya-Nya.
Setelah
itu dan untuk selanjutnya, pada saat menyambut kedatangan shalat,
terlebih dahulu ia akan memulainya dengan mencuci dan menyucikan diri,
menjauhi segala hal yang haram dan menghindarkan diri dari kemarahan,
kemudian bergegas mendatangi tempat Sang Kekasih yang penuh dengan
persahabatan. Demikianlah, seluruh faktor ini mempunyai efek dalam
mencegah diri ketika berhadapan dengan hal-hal yang keji dan mungkar.
Hanya
saja, efek shalat itu sesuai dengan terpenuhinya syarat-syarat
kesempurnaan dan ruh ibadah dalam mencegah diri dari perbuatan keji dan
mungkar, yang terkadang hal ini dapat membentuk sebuah sistem kontrol
pada segala kondisi, terkadang pula pada kondisi-kondisi tertentu dan
terbatas.
Adalah
mustahil terjadi jika seseorang yang telah melakukan shalat tidak
mendapatkan sedikitpun efek dari apa yang telah ia lakukan, betapapun
shalat yang dilakukannya hanya bersifat formalitas saja dan betapapun
orang yang melakukan shalat adalah orang yang bergelimang dengan dosa.
Tentu saja pengaruh dari shalat yang dilakukan oleh orang-orang semacam
ini tidak akan pernah mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, bila
mereka meninggalkan shalat, sudah pasti akan semakin hanyut dan
bergelimang dalam perbuatan-perbuatan dosa.
Lebih
jelas kami tekankan bahwa pencegahan shalat dari perbuatan keji dan
mungkar memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda. Dan setiap
shalat apabila diukur dengan perhatian terhadap syarat-syarat yang
dimilikinya, akan mampu menduduki sebagian dari derajat-derajat
tersebut.
Di
dalam salah satu hadis, dinukil bahwa pada masa Rasulullah saw,
terdapat seorang pria muda dari kaum Anshar yang senantiasa mengikuti
shalat yang dilakukan oleh Rasul saw. Tetapi, pada sisi lain ia masih
senantiasa bergelimang dalam berbagai maksiat. Lalu, hal ini disampaikan
kepada Rasul saw. Setelah mendengar laporan ini beliau bersabda, “Suatu
hari nanti shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan-perbuatannya
tersebut.”
Sedemikian
pentingnya pengaruh shalat, hingga pada sebagian riwayat Islam
disebutkan bahwa bias yang akan muncul dari pelaksanaan shalat akan
menjadi tolok ukur apakah shalat yang dilakukan oleh seseorang telah
diterima di sisi-Nya ataukah belum. Imam Ash-Shadiq as dalam salah satu
hadis berkata, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah
diterima oleh Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat
yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji
dan mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal
tersebut, sekadar itu pulalah shalat yang dilakukannya telah dikabulkan
di sisi-Nya”.
Kelanjutan
ayat di atas menegaskan,”Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah
lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].”
Dzahir
ungkapan ini menjelaskan sisi lain dari filsafat shalat. Bahkan, ia
mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih penting dari mencegah
perbuatan keji dan mungkar itu sendiri. Efek tersebut adalah, bahwa
dengan melakukan shalat, manusia dituntun untuk senantiasa mengingat
Allah swt. Hal ini merupakan akar dari segala kebaikan dan kebahagiaan.
Bahkan, dapat diakui bahwa unsur utama dari pencegah perbuatan keji dan
mungkar adalah mengingat Allah (dzikrullah). Keutamaan mengingat Allah
dikarenakan dzikir merupakan sebab dari pencegahan tersebut.
Pada
prinsipnya, mengingat Allah swt merupakan inti detak kehidupan kalbu
manusia dan puncak ketenangan hati. Tidak ada sesuatu pun selainnya yang
bisa mencapai tingkatan semacam ini.
Di dalam surat Ar-Ra‘d [13], ayat 28 ditegaskan, “Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.”
Pada
dasarnya, ruh seluruh ibadah —baik ibadah shalat maupun selain shalat—
adalah mengingat Allah swt. Berbagai bacaan, gerakan, mukaddimah,
ta’qîb, doa, dan selainnya yang dilakukan dalam shalat, sebenarnya
adalah untuk menghidupkan ruh zikir kepada Allah swt di dalam hati
manusia.
Perlu
diperhatikan bahwa di dalam ayat 14 surat Thaha telah diisyaratkan
prinsip filsafat shalat. Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as,
“Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”
Dalam
sebuah hadis diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik dari amal manusia yang
bisa menyelamatkan mereka dari azab Ilahi selain mengingat-Nya.” Lalu,
Mu'adz bertanya kepada beliau, “Meskipun jihad di jalan Allah?” Beliau
menjawab, “Iya! Karena Allah swt berfirman, ‘Sesungguhnya mengingat
Allah adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].’”
Efek Shalat dalam Mendidik Individu dan Masyarakat
Meskipun
filsafat shalat bukanlah rahasi bagi seseorang, akan tetapi pemberian
atensi yang besar terhadap teks ayat dan riwayat Islam akan menuntun
kita pada berbagai pekerjaan yang lebih mengakar dalam masalah ini.
a. Hakikat, prinsip, tujuan, pondasi, mukaddimah, hasil, dan -pada akhirnya- filsafat shalat adalah mengingat Allah swt yang pada ayat di atas ditegaskan, bahwa zikir memberikan hasil yang paling tinggi dibandingkan ibadah-ibadah yang lain.
Tentu
saja yang dimaksud dengan zikir di sini adalah zikir sebagai mukaddimah
berpikir, dan berpikir yang dilandasi oleh keinginan untuk
mengaktualkannya. Imam Ash-Shadiq as dalam salah satu hadis ketika
menafsirkan ayat waladzikrullâh Akbar berkata, “(Zikir adalah mengingat
Allah ketika hendak melakukan pekerjaan halal dan haram.” (Yaitu,
mengingat Allah awt. ketika melakukan perbuatan yang halal dan menutup
mata dari perbuatan yang haram).
b. Shalat merupakan media menyucikan diri dari dosa-dosa dan memohon pengampunan Ilahi
Karena —mau tidak mau— shalat yang dilakukan oleh
manusia akan mengajaknya untuk mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan
bertaubat atas apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Oleh karena itu,
dalam salah satu hadis kita membaca, Rasulallah saw pernah bertanya
kepada para sahabat, “Apabila di hadapan pintu rumah Kamu terdapat
sebuah sungai yang mengalir dengan bening dan bersih, kamu mandi dan
mencuci badannya lima kali dalam sehari semalam di dalam sungai itu,
Apakah masih tersisa daki dan kotoran di badan Kamu?” Mereka menjawab,
“Tidak ada, ya Rasulallah!” Lalu beliau melanjutkan,“Shalat sebagaimana
halnya air mengalir itu. Setiap saat seseorang melakukan shalat, maka
dosa-dosa yang dilakukannya di antara dua shalatnya akan terhapus dan
menjadi bersih karenanya.”
Dan
dengan shalat ini, luka, barutan, dan goresan dosa yang ada di dalam
ruh dan jiwa manusia akan sembuh karena kemanjuran obat yang berbentuk
shalat ini, dan karat-karat yang terdapat di dalam kalbunya pun akan
menjadi bersih kembali dengan melakukan shalat.
c. Shalat merupakan tanggul penghalang dalam menghadapi serangan dosa-dosa yang akan datang
Karena sesungguhnya shalat akan menguatkan iman di
dalam kalbu manusia dan menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam
hatinya. Kita mengetahui bahwa “iman” dan “takwa” merupakan tanggul yang
paling kuat untuk menahan goncangan dosa, dan ini merupakan maksud
dalam ayat di atas bahwa shalat adalah pencegah dari perbuatan keji dan
mungkar, dan merupakan maksud dari banyak hadis yang mengatakan bahwa
terdapat sekelompok orang yang senantiasa melakukan dosa, lalu kondisi
mereka itu diceritakan kepada para imam as. Mereka berkata, “Janganlah
bersedih, karena shalat akan memperbaiki mereka”, dan ternyata memang
demikian.
d. Shalat Menghancurkan Kelalaian
Musibah
paling besar yang dialami oleh para pencari jalan kebenaran adalah
lalai terhadap tujuan penciptaan dan tenggelam dalam kehidupan materi
serta kelezatan-kelazatan duniawi yang hanya sekejap. Tetapi, dengan
adanya variasi hukum dalam setiap jaraknya dan pelaksanaannya secara
kontinyu yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam, shalat
akan senantiasa membunyikan lonceng peringatan kepada manusia dan akan
membangun ingatannya untuk senantiasa sadar terhadap tujuan penciptaan.
Dengan
shalat, kehadiran-Nya di alam ini akan senantiasa diperdengarkan, dan
merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar bahwa manusia mempunyai
sarana dan fasilitas yang berada dalam ikhtiyarnya, sehingga dengan alat
yang dimilikinya ini ia selalu terjaga secara kuat beberapa kali dalam
sehari semalan.
e. Shalat Menghilangkan Kesombongan dan 'Ujub
Dengan
shalat, kesombongan dan rasa kagum terhadap diri sendiri akan bisa
terberangus dari diri manusia. Karena selama sehari semalam manusia
melakukan tujuh belas rekaat shalat, di mana dalam setiap rekaatnya, ia
meletakkan dahinya di atas tanah sebanyak dua kali dan merendahkan diri
di hadapan-Nya. Ia menganggap dirinya hanyalah butiran yang begitu kecil
yang tak berharga dibandingkan dengan keagungan-Nya, bahkan menganggap
dirinya bukanlah apa-apa ketika berada di hadapan Dzat Yang Tak
Terbatas.
Shalat
akan menyibakkan tirai-tirai kesombongan dan egoisme manusia, serta
memporak-porandakan kesombongan dan rasa puas pada diri sendiri.
Dengan
dalil inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam sebuah hadis
terkenal yang merefleksikan filsafat ritual Islam setelah iman, dalam
rangka menjelaskan ibadah shalat berkata, “Allah mewajibkan iman untuk
membersihkan manusia dari syirik dan mewajibkan shalat untuk
membersihkan diri dari kesombongan.”
f. Shalat Sebagai Penyempurnaan Akhlak
Shalat
merupakan mediator kesempurnaan akhlak dan spiritualitas manusia,
karena shalat akan mengeluarkannya dari dunia materi yang terbatas dan
dari ruang lingkup empat sisi dinding alam natural, lalu mengajaknya
melesat terbang ke langit malakut dan menyatukannya dengan barisan para
malaikat. Setelah itu, ia akan melihat dirinya berada di hadapan -Nya
tanpa membutuhkan sedikitpun mediator, dan ia pun akan melihat betapa
dirinya telah mampu melakukan perjumpaan dengan Nya.
Pengulangan
amal ini dalam sehari semalam yang dilakukan dengan menyandar pada
sifat-sifat Allah yang Pengasih, Penyayang dan keagungan yang
dimiliki-Nya, khususnya dengan bertawassul kepada surat-surat yang
bervariasi dalam Al-Qur’an setelah selesai membaca Al-Fatihah, merupakan
penggerak ke arah kebaikan dan kesucian yang paling utama. Dan hal ini
mempunyai pengaruh yang tidak sia-sia dalam pembinaan keutamaan akhlak
di dalam wujud manusia.
Oleh
karena itu, dalam salah satu hadis mengenai filsafat shalat, Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Shalat merupakan perantara
untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada Allah bagi setiap orang
yang bertakwa.”
g. Shalat Mengisi Nilai pada Seluruh Amal
Shalat
memberikan nilai dan ruh pada keseluruhan amal yang dilakukan oleh
manusia. Karena shalat akan menghidupkan hakikat keikhlasan, dimana
shalat merupakan kumpulan dari niat yang murni dan perkataan yang suci,
serta amal-amal yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Pengulangan
amal-amal tersebut secara keseluruhan dalam sehari semalam akan
menyebarkan bibit-bibit amal yang terpuji di dalam jiwa manusia dan akan
menguatkan keikhlasan yang ada di dalam wujudnya.
Oleh
karena itu, dalam salah satu hadis terkenalnya, Amirul Mukminin Ali bi
Abi Thalib as ketika berwasiat setelah terluka oleh hujaman pedang Ibnu
Muljam (la’natullah ‘alaih) berkata, “Jagalah shalat! Karena
sesungguhnya shalat merupakan tiang dari agamamu.”
Kita
mengetahui bahwa apabila tiang yang dipergunakan untuk mendirikan kemah
patah atau roboh, maka betapapun kuatnya tali dan paku-paku yang
tertancap di sekitarnya tidak akan membawa pengaruh sedikitpun untuk
tegaknya kembali kemah tersebut. Demikian juga halnya ketika tidak ada
lagi komunikasi antara hamba dengan Tuhannya yang dimanifestasikan dalam
bentuk shalat, maka amal yang lainnya pun akan menjadi kehilangan
pengaruh.
Dalam
sebuah hadis, Imam Ash-Shadiq as berkata, “Masalah pertama yang akan
dihisab oleh Allah dari hambaNya pada Hari Kiamat adalah shalat. Apabila
shalatnya terkabul, akan terkabul pula seluruh amalnya yang lain dan
apabila shalat ini tidak diterima, maka akan gagal pulalah seluruh
amal-amal yang lain.”
Mungkin
dalil ucapan beliau ini adalah, bahwa shalat merupakan rumus dan
rahasia komunikasi antara makhluk dengan Khaliqnya. Apabila hal ini
dilakukan dengan cara yang benar, maka niat taqarrub dan keikhlasan yang
merupakan syarat terkabulnya keseluruhan amal akan bisa hidup dalam
dirinya, dan apabila tidak, maka amal-amal yang lainnya akan menjadi
kotor dan terpolusi sehingga akan menyebabkannya keluar dari derajat
yang disyaratkan.
h. Shalat Membawa Kesucian Hidup
Meskipun
tanpa memperhatikan kandungan yang ada di dalam shalat, yaitu dengan
memperhatikan validitasnya, pada hakikatnya ia mengajak manusia untuk
hidup dalam kesucian. Hal ini dapat kita ketahui dari syarat tempat yang
dipergunakan untuk melakukannya, pakaian yang dikenakan, alas dan air
yang dituangkan untuk berwudhu serta mandi. Dan juga tempat yang
dipergunakan oleh seseorang untuk mandi dan berwudhu harus merupakan
tempat yang betul-betul tidak terkotori oleh ghasab dan tidak diperoleh
dengan cara zalim dan melanggar hak-hak orang lain. Seseorang yang
terkotori dengan kezaliman, ternodai oleh sifat-sifat kelewatan, riba,
ghasab, mengurangi timbangan dalam transaksi, korupsi dan usaha-usaha
yang dilakukan dengan menggunakan kekayaan yang haram, bagaimana ia bisa
menyiapkan mukadimah shalat? Oleh karena itu, pengulangan shalat
sebanyak lima kali dalam sehari semalam merupakan sebuah ajakan untuk
menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain.
i. Shalat Sebagai Pelindungan Diri dari Maksiat
Shalat
selain harus mempunyai syarat keabsahan dan syarat keterkabulan, atau
dengan kata lain, harus mempunyai syarat-syarat yang sempurna dalam dua
hal tersebut, juga merupakan sebuah elemen yang efektif untuk
meninggalkan begitu banyak perbuatan dosa.
Dalam
kitab-kitab fiqih dan sumber hadis disebutkan begitu banyak faktor lain
yang bisa menjadi referensi dari terkabulnya seatu shalat. Di
antaranya, tentang meminum khamar (minuman keras) yang dalam sebuah
riwayat ditegaskan, “Selama empat puluh hari, tidak akan diterima shalat
seseorang yang meminum minuman keras, kecuali apabila ia bertaubat.”
Dalam
banyak riwayat kita membaca, “Salah satu dari golongan yang shalatnya
tidak akan dikabulkan oleh Allah adalah shalat yang dilakukan oleh kaum
zalim dan penganiaya.”
Dalam
sebagian riwayat lain telah ditegaskan bahwa shalat yang dilakukan oleh
seseorang yang tidak membayar zakat tidak akan pernah terkabul.
Demikian juga riwayat yang lain mengatakan bahwa memakan makanan haram,
mengagumi diri sendiri, sombong, dan takabur merupakan salah satu
penghalang bagi terkabulnya shalat. Dari sini bisa dipahami, sejauh
manakah pengaruh konstruktif yang akan didapatkan seseorang dengan
terpenuhinya syarat-syarat keterkabulan tersebut.
j. Shalat Penguat Semangat Disiplin
Shalat
akan menguatkan semangat disiplin dalam diri manusia, karena
bagaimanapun juga, shalat harus benar-benar dilakukan pada waktu yang
telah ditentukan. Pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan mengakhirkan
atau mempercepat dari waktu yang seharusnya akan menyebabkan batalnya
shalat yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan aturan dan
hukum-hukum lain dalam masalah niat, berdiri, ruku’, dan sujud.
Memperhatikan semua ini akan menumbuhkan kedisiplinan dalam kehidupan
sehari-hari menjadi betul-betul mudah dan lancar.
Semua
poin di atas merupakan manfaat yang terdapat di dalam shalat dengan
tanpa memperhatikan masalah shalat berjamaah. Namun bila keistimewaan
shalat berjamaah ini kita tambahkan dalam diskursus di atas, di mana
sebenarnya ruh dan hakikat shalat terletak pada shalat berjamaah, kita
akan menemukan berkah yang tak terhitung banyaknya. Tetapi, pembahasan
tentang shalat berjamaah bukan tempatnya untuk kami diskusikan di sini.
Selain itu, sedikit banyak kita pun telah mengetahuinya.
Kami
menutup pembahasan tentang filsafat dan rahasia shalat dengan sebuah
hadis yang telah dinukil dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as. Dalam
menjawab surat yang menanyakan filsafat shalat, beliau berkata, “Tujuan
disyariatkannya shalat adalah atensi dan pengakuan terhadap ketuhanan
Allah swt, melawan syirik dan penyembahan berhala, berdiri di hadapan
haribaan-Nya dalam puncak kekhusyukan dan kerendahan diri, mengakui
dosa-dosa serta memohon pengampunan-Nya terhadap dosa-dosa yang telah
dilakukannya, dan meletakkan dahi di seluruh hari untuk berkhidmat
kepada-Nya.
Demikan
juga, tujuan disyariatkannya shalat adalah supaya manusia senantiasa
terjaga dan berpikir sehingga tidak ada lagi debu-debu kelalaian yang
akan singgah di dalam hatinya, supaya manusia tidak sombong dan mabuk
dengan dirinya, supaya manusia menjadi orang-orang yang khusyu’ dan
tawadhu’, serta mencari dan mencintai bertambahnya pemberian segala
sesuatu dalam agama dan dunianya.
Selain
konsistensi zikir kepada Allah sepanjang hari dan malam yang dihasilkan
dari sinar shalat, shalat akan membuat manusia tidak melupakan
Pengatur dan Penciptanya, hingga jiwa liar dan tak terkendali tidak akan
mampu mengalahkannya.
Dengan
perhatiannya terhadap Allah swt dan berdiri di haribaan suci-Nya, ia
akan mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan dosa dan akan
menghindarkannya dari segala kerusakan.”
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama