“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.”(HR. Bukhari, Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, dan Tirmidzi)
Tulisan ini terinspirasi dari sebuah
obrolan ringan penulis dengan teman-temannya mengenai pergerakan dan dinamika
dunia Islam yang sedang terjadi saat ini. Obrolan-obrolan itu mengalir begitu
saja membahas berbagai masalah keIslaman. Hingga akhirnya sampai kepada
gerakan-gerakan dakwah. Kita, dalam hal ini kaum muslimin Indonesia, telah
mengenal berbagai gerakan-gerakan dakwah seperti misalnya Hizbut Tahrir (HT),
tarbiyah (yang juga diusung oleh salah satu partai politik di Indonesia), hingga
yang namanya gerakan Salafi.
Ketika bicara Salafi, teman-teman
penulis mulai mengutarakan pendapatnya tentang gerakan ini. Tapi kebanyakan
yang muncul adalah stigma negatif, seperti Salafi itu memonopoli masjid,
mengeksklusifkan diri, keras, dan sebagainya. Intinya kebanyakan opini mereka
hampir sama dengan opini umum publik terhadap gerakan yang dinamai Salafi ini,
yang dinyatakan sebagai gerakan ekstrimis, eksklusif, mudah memvonis, dan yang
lainnya.
Berangkat dari sanalah penulis ingin
memberikan sebuah penjelasan mengenai Salafi dalam artikel ini. Artikel ini
bukan merupakan sebuah risalah layaknya risalah ulama-ulama kibar (besar),
bukan merupakan tesis ilmiah, tapi hanya sebuah catatan pengalaman, opini, dan
mungkin otokritik terhadap gerakan dakwah Salafi di Bumi Pertiwi.
Siapa Salafi?
Kata Salafi berasal dari kata salaf yang berarti orang yang terdahulu,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,
“Maka
tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan
mereka semuanya (di laut). Dan Kami jadikan mereka sebagai salaf dan contoh
bagi orang-orang yang kemudian” (QS.
Az Zukhruf: 55-56)
Oleh karena itu, Fairuz Abadi dalam Al Qamus Al Muhith mengatakan, “Salaf juga berarti orang-orang yang
mendahului kamu dari nenek moyang dan orang-orang yang memiliki hubungan
kekerabatan denganmu.” (Al Manhajus Salaf
‘inda Syaikh Al Albani, ‘Amr Abdul Mun’im Salim, Al Wajiz fii Aqidah Salafish Shalih, Abdullah bin Abdul Hamid Al
Atsary).
Dalam konteks lain, salaf menurut
para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan
tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah
yang disebut dengan salafush shalih (orang-orang terdahulu yang sholih).
Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda
Rasulullah ﷺ,
“Sebaik-baik
manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi
sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu
Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi)
Sedangkan salafi itu sendiri adalah
orang yang mengikuti salafuh shalih (Lihat Untukmu
yang Berjiwa Hanif, Armen Halim Naro)
Jadi jelaslah Salafi bukanlah aliran
baru, bukan pula madzhab, tetapi Salafi adalah orang-orang yang bermanhaj (cara
beragama) sebagaimana para salafush shalih.
Sejarah Salafi
Salafi bukanlah sebuah gerakan dakwah
layaknya Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, atau yang lainnya. Sebagaimana
definisi yang telah diterangkan, Salafi bermakna mereka-mereka yang mengikuti
salafush shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Tidak bisa kita
sebut bahwa Gerakan Salafi muncul di sini, di waktu ini, karena justru dakwah
Salafi lahir dan berkembang dari kajian-kajian dan majelis ilmu. Di sanalah ruh
mereka hidup, di sanalah terbentuknya “pemahaman” salafi, yakni ketika membahas
ilmu-ilmu Islam yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah, dan menyandarkan
perkataan mereka pada perkataan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan
ulama-ulama yang mengikuti mereka. Mereka hidup secara alami, dan terus
berlangsung dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Pun seandainya Salafi ingin
dipaksakan untuk disebut sebagai gerakan dakwah yang baru bagi kaum muslimin,
maka mungkin yang bisa saya sebutkan adalah gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab di Jazirah Arab sana. Gerakan dakwah beliau berpijak pada dua
prinsip: Tashfiyah dan Tarbiyah yang berarti pemurnian dan
pendidikan. Dan hingga sekarang, dua prinsip itulah yang dipegang oleh Salafi.
Hal ini bukan berarti Syaikh Muhammad membawa sebuah ajaran baru, tidak sama
sekali. Beliau “hanya” mengubah
tradisi dan kepercayaan orang-orang di Jazirah Arab yang kebanyakan melakukan
dan meyakini takhayul, bid’ah, dan kesyirikan yang saat itu memang menjadi tren.
Yang beliau lakukan adalah menyerukan manusia untuk kembali kepada aqidah dan
cara beragama yang benar sebagaimana generasi para sahabat dan pendahulu ummat.
Yang disampaikan beliau adalah apa-apa yang telah disampaikan oleh ulama-ulama
terdahulu. Apa yang beliau serukan telah diserukan pula oleh Imam Ahmad, Imam
Syafi’i, Imam Malik, Al Auza’i, dan yang lainnya –rahimahumullah-.
Ketika Salafi Digugat
Mendengar komentar-komentar miring
tentang Salafi, sebenarnya penulis sendiri bingung. Apa yang membuat
orang-orang tidak suka pada dakwah salafiyah ini?
Salafi tidak mengajarkan hizbiyah
(fanatisme kelompok) layaknya jama’ah-jama’ah dakwah lain justru sibuk mengajak
orang ke dalam barisan mereka.
Salafi tidak mengajak manusia untuk
bersikap anarkis layaknya ormas yang mengatasnamakan Islam namun berbuat
brutal.
Salafi tidak mengajak manusia
berdemonstrasi, yang mana demonstasi itu justru mengganggu urusan manusia
(misalnya, membuat jalanan macet), belum lagi ikhtilatnya.
Salafi tidak mengajarkan
anti-pemerintah, yang mana bisa membuat urusan negara dan kaum muslimin menjadi
tidak karuan.
Salafi tidak mengajarkan untuk keluar
berdakwah kepada manusia tetapi meninggalkan tanggung jawab kepada keluarga
sebagaimana jama’ah dakwah lain melakukannya.
Dakwah Salafiyah inilah yang mengajak
manusia kepada aqidah dan cara beribadah yang benar ketika jama’ah dakwah lain
sibuk mengajak manusia untuk membentuk khilafah tanpa langkah kongkrit untuk mencerdaskan
ummat.
Dakwah Salafiyah inilah yang
mengajarkan manusia untuk meramaikan masjid dan majelis-majelis ilmu ketika
jama’ah dakwah lain justru mengajak manusia untuk duduk di kursi parlemen
sekalipun yang diajak adalah orang-orang kafir.
Dakwah Salafiyah inilah yang mengajak
manusia untuk menuntut ilmu, mempelajari kitab-kitab para ulama, ketika jama’ah
dakwah lain justru mengajak manusia untuk melakukan aksi anarkis dan merusak.
Ketika jama’ah dakwah lain melalaikan
dakwah tauhid yang telah Rasulullah ﷺ ajarkan
sejak di Makkah selama 13 tahun, dakwah Salafiyah secara istiqamah menyerukan
manusia kepada ketauhidan ini. Menurut penulis, tidak ada jama’ah dakwah lain
yang lebih kosisten dalam memurnikan aqidah dan menebarkan sunnah dibandingkan
dengan jama’ah Salafi ini.
Bayangkan ketika
dakwah Salafiyah ini padam, entah bagaimana kondisi aqidah ummat. Harus diakui,
tidak ada jama’ah dakwah lain yang membawa konsep aqidah sejelas dan sekongkrit
konsep yang didakwahkan Salafiyah, karena konsep aqidah ini memiliki dalil dan
penjabaran yang ilmiah. Bukan seperti golongan yang beraqidah tidak jelas, yang
bahkan mengklaim mendapatkannya dari Allah dan Rasul-Nya melalui mimpi dan
halusinasi.
Begitu pun
tentang konsistensi memegang teguh Sunnah. Kaum Salafi ini benar-benar
istiqamah dan tegas dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Nabi ﷺ. Ketika jama’ah
dakwah lain lembek dalam masalah ini, Salafi tetap ketat menyeleksi bentuk
ibadah agar tidak tercampur dengan ibadah buatan manusia. Bayangkan ketika
standar ini tidak diberlakukan. Entah sudah ada berapa jenis dan bentuk ibadah
yang harus kita lakukan karena kita menganggapnya bahwa hal itu baik. Padahal yang
baik menurut kita belum tentu benar dalam timbangan Syari’at.
Sebuah Kritik
Ketika dakwah
Salafi dikatakan sebagai dakwah yang eksklusif, maka hal itu adalah salah
besar.
Sebelum saya
mengenal dakwah ini, saya juga sempat berpikir demikian. Namun ketika memasuki
majelis-majelis mereka, sama sekali tidak. Tidak ada sama sekali persyaratan, “Yang mau ikut kajian, pakai baju putih,
punya jenggot, celana harus ngatung, dan berpeci”. Dakwah ini sama sekali
terbuka untuk masyarakat. Bahkan di daerah asal penulis, banyak orang yang
akhirnya mendapatkan pencerahan dan menuai berkah lewat dakwah Salafi ini. Mulai
dari tukang ojek, hingga penjual somay. Mungkin jika disebut sebagai eksklusif,
hal ini adalah karena penampilan mereka yang hampir seluruhnya seragam, sebagai
salah satu konsekuensi ittiba’ kepada Rasulullah ﷺ, maka
gaya berpakaiannya pun mengikuti beliau. Tidak isbal, tidak ketat, dan
lain-lain. Begitu pun memelihara jenggot sebagai sebuah konsekuensi mentaati
perintah Nabi. Dakwah ini sama sekali terbuka untuk umum. Tidak seperti kajian
salah satu jama’ah dakwah yang terbagi menjadi kajian umum dan kajian khusus
anggota.
Ketika dakwah
Salafi digugat sebagai pemakan masjid atau suka memonopoli masjid, maka hal itu
adalah dusta. Karena Salafi tidak pernah membuat klaim dan memonopoli sebuah
masjid karena masjid sejatinya adalah rumah bagi setiap kaum mu’minin. Adapun yang
dilakukan oleh jama’ah Salafi adalah memakmurkan masjid. Justru jama’ah yang
memonopoli masjid adalah jama’ah lain, yang disebut sebagai ormas Islam
terbesar di Indonesia.
Ketika Salafi
dikatakan sebagai jama’ah yang keras dan suka menebar vonis sesat, maka hal ini
perlu dijelaskan lebih lanjut.
Salafi sebagai
sebuah manhaj, sebuah ideologi, sejatinya adalah manhaj dan ideologi yang
ideal. Bayangkan saja, fokus dakwahnya selalu kepada apa-apa yang Rasulullah ﷺ ajarkan,
berdasarkan pemahaman para sahabat yang notabene adalah kaum yang paling
mengerti tentang Islam. Munculnya sikap keras dari da’i-da’i Salafi ini mungkin
terkait dengan beberapa hal. Setidaknya ada dua yang mungkin bisa kami sebutkan
di sini,
Yang pertama, dakwah Salafi ini
konsisten dan tegas antara yang haq dan yang batil.
Tidak ada
jama’ah dakwah lain yang lebih konsisten dalam menetapkan standar melainkan
Salafi. Entah itu standar ibadah maupun standar muamalah. Salafi ini tidak
lembek, tidak seperti jama’ah dakwah lain yang melempem ketika menghadapi suatu
masalah yang hingga akhirnya malah melemahkan dakwahnya hingga dakwah pun
bercampur dengan hal lainnya.
Apa yang
hitam, maka hitam. Yang putih, maka putih. Dan tidak ada yang namanya abu-abu. Mungkin
begitulah prinsip Salafi yang terus dipegang hingga saat ini. Wajar ketika
masyarakat kita yang kebanyakan sudah dicelupi oleh pemikiran-pemikiran dari
luar Islam atau belum mengenal antara yang benar dan yang salah, kemudian
berkata “Ih, kok keras banget sih Islamnya, kok gini aja disalahin?”, “Masa’
ngelakuin ini aja udah dibilang bid’ah?”, dan reaksi lainnya.
Yang kedua, dakwah Salafi memegang
teguh prinsip Tashfiyah (Pemurnian).
Dakwah Salafi
sangat konsisten dengan gerakan pemurnian ajaran Islam. Dan sangat wajar bila
ada ajaran-ajaran di luar Islam yang tercampur dalam Islam, maka ajaran-ajaran
di luar Islam tersebut wajib ditolak.
Tidak seperti
definisi pembaharuan Islam yang dikatakan oleh banyak orang saat ini, yakni
pembaharuan Islam adalah rekonstruksi ulang ajaran-ajaran Islam sesuai dengan
zaman. Definisi pembaharuan menurut Salafi adalah pemurnian ajaran Islam dan
mengembalikan sumber-sumber syariat kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai
dengan pemahaman para sahabat. Pembaharuan ala Salafi inilah yang sering
menimbulkan gejolak di kalangan masyarakat. Karena memang dalam beberapa hal
ada yang telah mendarah daging di masyarakat padahal salah, maka hal tersebut
harus dibuang. Misal dalam masalah Kitab Ihya
Ulumuddin yang ditulis oleh Imam Al Ghazali rahimahullah. Tidak bisa dipungkiri bahwa kitab Ihya merupakan
salah satu kitab terbaik dalam konteks penyucian jiwa. Bahkan buku ini
dijadikan referensi oleh Dr. Ahmad Farid, murid ulama besar Salafi dalam bidang
hadits yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, dalam menulis
kitab-kitabnya. Namun, karena banyaknya kekurangan dalam kitab Ihya ini, entah
itu banyaknya hadits palsu maupun cerita yang riwayatnya kurang jelas, maka
kitab Ihya Ulumuddin ini jarang digunakan sebagai referensi kaum Salafi dalam
masalah aqidah maupun masalah yang lain. Hal ini bukan berarti karena Salafi
melaknat Kitab Ihya Ulumuddin dan penulisnya, tidak sama sekali. Namun hal ini
dikarenakan adanya keinginan pemurnian ajaran Islam dengan literatur-literatur
yang lebih otentik.
Jadi ketika melihat adanya oknum
Salafi yang berlaku keras dalam berdakwah, selain alasan-alasan yang dibenarkan
syariat, maka hal itu tidak lepas dari kekurangan oknumnya. Tidak bisa
dipungkiri, jama’ah Salafi bukanlah jama’ah malaikat. Betapa banyak diantara
mereka yang juga memiliki begitu banyak khilaf. Diantaranya berdakwah dengan
keras sehingga membuat manusia lari dari kebenaran. Salafi sebagai manhaj tidak
bisa kita gugat karena memang konsep manhaj Salafi telah jelas memiliki dasar
yang ilmiah, tetapi Salafi sebagai personal atau oknumnya, maka jangan
sandarkan perilaku kesalahan itu kepada manhajnya, tetapi semata-mata karena
kesalahan pribadi. Sama seperti ketika Islam dituduh lantaran aksi-aksi
terorisme. Bukan Islamnya yang salah tetapi oknum yang mengaku Islam itulah
yang bersalah.
Penutup
Jika tulisan ini terkesan memunculkan
Salafi sebagai sebuah hizb atau harakah, maka tolong jangan disalahartikan. Penulis
memilih bahasa atau gaya penulisan seperti ini agar pembaca mengerti, bagaimana
“Salafi” sebagai sebuah gerakan dakwah Tashfiyah
wat Tarbiyah. Atau mungkin jika tulisan ini dirasa menyinggung suatu
golongan tertentu, maka tolong introspeksi diri karena dalam tulisan ini sama
sekali tidak ada hujatan atau cacian kepada satu golongan tertentu dari kaum muslimin.
Penulis bukanlah seorang yang berilmu
tinggi, tidak pula seorang yang paling tahu akan manhaj Salaf dan dakwahnya,
tetapi penulis di sini hanya sekedar berbagi opini dan pandangan dengan harapan
para pembaca mendapat pencerahan mengenai gerakan dakwah yang dikenal sebagai
Salafi ini. Dimohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama