Mengingat Kematian dan Keutamaannya Serta Bersiap Untuk Menyambutnya

An-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia menuturkan, Rasulullah bersabda,
“Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan yaitu Kematian” (HR. At-Tarmidzi No. 2307)
Maksudnya, kematian. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan at-Tirmidzi. Abu Nu’aim al-Hafizh meriwayatkannya dengan sanadnya dari hadits Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa’id bi Musayyab, dari Umar bin al-Khaththab. Ia menuturkan,
Rasulullah bersabda, ‘Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan.’ Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah penghancur kelezatan itu Beliau menjawab, ‘Kematian’.”

 
Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia menuturkan, “Kami duduk bersama Rasulullah, lalu seorang dari Anshar datang dan mengucapkan salam kepada Nabi, lantas bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah mukmin yang paling utama itu?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang paling baik akhlaknya.’ Ia bertanya lagi, ‘Lalu siapakah mukmin yang paling beruntung?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk sesudah kematian. Mereka itulah orang yang paling beruntung’.” Diriwayatkan oleh Malik juga.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Syadad bin Aus, ia menuturkan, Nabi bersabda,
“Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal untuk perkara sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan berandai-andai terhadap Allah”
Diriwayatkan dari Anas ia menuturkan, Rasulullah bersabda, “Perbanyaklah mengingat kematian. Sebab, itu dapat menghapuskan dosa-dosa dan menjadikan zuhud di dunia.”
Diriwayatkan juga darinya, bahwa beliau bersabda, “Cukuplah kematian sebagai nasehat dan cukuplah kematian sebagai pemecah kesatuan.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang akan dikumpulkan bersama para syuhada?” Beliau menjawab, “Ya, yaitu orang yang mengingat kematian sehari semalam sebanyak duapuluhkali.”
Tentang firman Allah,
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia mengujikamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)
As-Suddy mengatakan, “Yang lebih baik amalnya adalah, yang paling banyak mengingat kematian dan memiliki kesiapan yang baik serta sangat takut dan khawatir terhadapnya.”
Menurut para ulama kita, pernyataan Nabi, “Perbanyaklah mengingat Penghancur kelezatan, yaitu kematian” adalah pernyataan ringkas yang berisi peringatan dan nasehat yang sangat mendalam. Sebab, siapa yang mengingat kematian dengan sebenarnya, maka itu akan menjadi penghalang baginya untuk menikmati kelezatannya saat ini dan menghalangmya untuk mengangankannya di masa yang akan datang serta berzuhud terhadap segala yang diinginkan dari kelezatan tersebut. Tetapi jiwa yang beku dan hati yang lalai memerlukan nasehat-nasehat yang panjang dan kata-kata yang bertele-tele. Jika tidak, maka dalam sabda Nabi, “Perbanyaklah mengingat Penghancur kelezatan” dan firmanNya,”tiap-tiap akan merasakan kematian” sudah cukup bagi siapa yang mendengarnya untuk merenungkannya. Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab acapkali bertamsil dengan bait-bait ini:
Tiada sesuatu pun dari apa yang kamu lihat tetap tersenyum Kecuali Tuhan. Sedangkan anak dan harta maka akan binasa
Pada suatu hari perbendaharaan tidak bermanfaat bagi orang yang kaya
Keabadian telah berubah, lalu mereka tidak abadi
Tidak pula Sulaiman, ketika angin berhembus untuknya
Manusia dan jin di antara keduanya berlalu
Di manakah raja-raja yang dulu, karena kemuliaannya
memiliki delegasi yang mewakilinya?
Haudh (telaga), di sanalah tempat minum yang sebenarnya
Yang pasti meminumnya suatu hari, sebagaimana mereka telah meminumnya

Pasal

Jika apa yang telah kami sebutkan itu shahih, maka ketahuilah, bahwa mengingat kematian itu menyebabkan perasaan cemas terhadap dunia yang fana ini dan setiap saat menatap kepada kehidupan akhirat yang abadi. Kemudian, manusia itu selalu berada dalam dua keadaan: kesempitan dan keluasan, kenikmatan dan ujian yang tidak menyenangkan. Jika ia dalam kondisi yang sempit dan ujian yang tidak mengenakkan, maka mengingat kematian akan meringankan sebagian penderitaannya. Karena hal itu tidak berlangsung seterusnya, dan kematian itu lebih sulit darinya. Sedangkan dalam keadaan yang sarat dengan kenikmatan dan keluasan, maka mengingat kematian akan mencegahnya untuk terperdaya dengannya dan menyikapinya dengan tenang, karena kelak ia berpisah dengannya. Sungguh indah apa yang dikatakan oleh seorang penyair:

Ingatlah kematian si penghancur kelezatan 
Dan bersiaplah untuk menghadapi kematian yang bakal datang
Penyair lainnya mengatakan,
Ingatlah kematian, maka kamu mendapatkan kesenangan. Karena mengingat kematian akan memperpendek angan
Umat telah bersepakat, kematian itu tidak memiliki tahun tertentu, waktu tertentu dan penyakit tertentu. Itu semua agar seseorang menyadarinya dan siap untuk hal itu. Ada seorang yang shalih biasa berseru pada malam hari di depan gerbang Madinah, “Ingatlah kematian, ingatlah kematian.” Ketika ia meninggal, gubernur Madinah merasa kehilangan suaranya, lalu menanyakan hal itu. Dijawab, “Dia telah meninggal.” Mendengar hal itu, gubernur tadi bersenandung:
la senantiasa berucap,”Ingatlah kematian” 
Sehingga unta-unta bersuara di hadapannya 
Lalu dia meninggal dengan kesadaran dan kesungguhan Memiliki kesiapan dan tidak dilalaikan oleh angan-angan
Yazid ar-Raqasyi berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka kamu, wahai Yazid. Siapakah yang akan mengganti shalatmu sesudah mati? Siapakah yang akan mengganti puasamu sesudah mati? Siapakah yang akan memintakan untukmu dispensasi kematian kepada Tuhanmu?” Kemudian dia mengatakan, “Wahai manusia, tidakkah kalian menangis dan meratapi diri kalian pada sisa umur kalian? Adakah yang meminta kematian? Kubur sebagai rumahnya, tanah sebagai tempat tidurnya dan cacing tanah sebagai temannya. Meskipun demikian, ia terus menanti ‘peristiwa besar’ (kematian) ini: Bagaimana keadaannya kelak?” Kemudian ia menangis, sehingga jatuh pingsan.
At-Taimi berkata, “Ada dua perkara yang memutuskan kelezatan dunia dariku: mengingat kematian dan mengingat saat dihadapkan di hadapan Allah. Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para ulama, lalu mereka saling mengingat kematian, kiamat dan akhirat. Kemudian mereka menangis seolah-olah di hadapan mereka terdapat jenazah.”
Abu Nu’aim berkata, “Apabila ats-Tsauri mengingat kematian, maka beberapa hari kami tidak bisa mengambil manfaat dari beliau. Jika ditanya tentang sesuatu, maka dia menjawab, ‘Aku tidak tahu, aku tidak tahu’.” Al-Asbath berkata, “Ada seorang yang namanya dipuji dihadapan Nabi, maka beliau bertanya, ‘Bagaimana dia mengingat kematian?’ Ternyata dia tidak mengingat hal itu, maka beliau bersabda, ‘Kalau begitu, dia tidak sebagaimana yang kalian katakan”.”
Ad-Daqqaq berkata, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian, maka ia dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera bertaubat, hati yang qana’ah, dan giat beribadah. Sebaliknya, barangsiapa yang lupa kematian, maka ia diadzab dengan tiga hal: menunda-nunda taubat, tidak ridha dengan nikmat yang diberikan, dan bermalas-malasan dalam beribadah.”
Karena itu, renungkanlah, wahai orang yang terperdaya, mengenai kematian berikut sekaratnya, kesulitannya dan kepahitannya. Duhai, betapa benarnya janji kematian dan betapa adilnya. Cukuplah kematian melukakan hati, menangiskan mata, memisahkan komunitas, menghancurkan kelezatan, dan memutuskan angan-angan. Apakah kamu telah berpikir, wahai anak Adam, tentang hari kematianmu dan perpindahanmu dari tempat (dunia)-mu ini. Saat kamu dipindah dari keluasan menuju kesempitan, sahabat dan kawan mengkhianatimu, saudara dan teman meninggalkanmu, kamu diambil dari kasurmu dan selimutmu menuju tempat yang hina. Dulu kamu berselimutkan dengan selimut yang lembut maka kini dengan tanah dan lumpur. Wahai orang yang mengumpulkan harta dan membanting tulang membangun bangunan! Demi Allah, kamu tidak memiliki harta apapun selain beberapa lembar kain kafan. Bahkan itu pun, demi Allah, akan hancur dan hilang, sedangkan jasadmu untuk tanah dan lumpur. Lalu di mana-kah harta yang telah kamu kumpulkan? Apakah harta tersebut dapat menyelamatkanmu dari ketakutan ini? Sama sekali tidak. Bahkan kamu meninggalkan harta tersebut kepada orang yang tidak memujimu, sedangkan kamu datang dengan membawa dosa- dosamu kepada Dzat yang tidak menerima alasanmu. Sungguh bagus tokoh yang mengatakan, mengenai tafsir firman Allah
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat” (Al-Qashas: 77).
“Yakni, carilah pada apa yang diberikan Allah kepadamu berupa dunia untuk akhirat, yaitu surga. Sebab, hak mukmin ialah membelanjakan dunia untuk suatu yang bermanfaat baginya di akhirat, bukan untuk bermewah-mewahan, kecongkakan dan kesesatan.” Seolah-olah mereka mengatakan, “Jangan lupa, kamu akan meninggalkan semua hartamu, kecuali bagianmu, yaitu kafan.” Senada dengan ini ialah pernyataan penyair:
Bagianmu dari dunia yang kamu kumpulkan seluruhnya
Ialah dua lembar kain yang akan hancur dan obat (agar tidak cepat rusak)
Penyair lainnya berkata:
Itulah qana’ah (kaya hati), jangan mencari gantinya Di dalamnya berisi kenikmatan dan menyenangkan badan Perhatikanlah orang yang memiliki dunia seluruhnya 
Apakah dia senang terhadapnya dengan tanpa katun dan kafan

Pasal

Pernyataan Nabi ,

“Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya.”

Dana ??? , artinya, instropeksi diri. Konon, menundukkan diri. Abu Ubaid berkata, “Dana nafsahu ???? ???, artinya, menundukkannya dan memintanya untuk beribadah. Dikatakan, apabila aku menundukkannya lalu jiwanya tunduk untuk beribadah kepada Allah, dengan amalan yang disiapkannya untuk sesudah kematian dan berjumpa Allah. Demikian pula ia instropeksi terhadap dirinya atas umur yang disia-siakannya dan menyiapkan diri untuk akhir urusannya dengan amalnya yang shalih, menjauhkan diri dari kesalahannya yang telah lewat, mengingat Allah dan mentaati Nya dalam segala ihwalnya. Ini adalah perbekalan untuk hari yang dijanjikan (hari akhir). Sedang al-’Ajiz adalah kebalikan al-Kayyis (orang yang cerdas). Al-Kayyis adalah orang yang berakal dan al-’Ajiz adalah orang yang lemah dalam segala hal. Meskipun dengan segala kekurangannya dalam mentaati Tuhannya serta lebih suka mengikuti hawa nafsunya, ia berharap kepada Allah agar mengampuninya. Ini adalah keterpedayaan. Sebab Allah telah memberikan perintah dan larangan. Al-Hasan al-Bashri berkata, “Suatu kaum terilhami oleh angan-angan sehingga mereka keluar dari dunia dengan tanpa memiliki suatu kebajikan pun. Salah seorang dari mereka mengatakan, ‘Aku berbaik sangka kepada Tuhanku.’ Sungguh dia telah berdusta. Seandainya dia berbaik sangka (kepada Allah), niscaya dia beramal kebajikan.” Kemudian ia membacakan firman Allah:
“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Rabbmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Fushshilat 23).
Sa’id bin Jubair berkata, “Tetap meneruskan kamaksiatan tetapi mengharapkan ampunan dari Allah adalah gambaran seseorang yang menipu Allah.”
Baqiyyah bin al-Walid mengatakan, “Abu Umair al-Anshari menulis surat kepada sebagian saudaranya seiman:
Amma ba’du: Kamu telah mengangan-angankan dunia sepanjang usiamu dan kamu menaruh berbagai harapan kepada Allah dengan perbuatan burukmu. Kamu hanyalah memukul besi yang dingin. Wassalam
(Disalin dari Buku Pintar Alam Akhirat, Jilid 1 Bab 3, Penerbit Darul Haq . Judul Asli At-Tadzkirah fil ahwal al-mauta wa Umur al-akhirat, Imam Al-Qurthubi)
Abu Luthfah
Share on Google Plus

About Admin

Khazanahislamku.blogspot.com adalah situs yang menyebarkan pengetahuan dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikutnya.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment


Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com

Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama