Saudaraku, seringkali lisan ini tergelincir mengucapkan kata-kata
kotor, mencela orang lain, membicarakan orang lain padahal dia tidak
senang untuk diceritakan, bahkan seringkali lisan ini mengucapkan
kata-kata yang mengandung kesyirikan dan kekufuran.
Harusnya setiap muslim mengoreksi diri dalam setiap tingkah lakunya,
apalagi dalam perkara lisannya, yang begitu enteng mengucapkan sesuatu
karena keluar dari lidah yang tak bertulang.
Ingatlah saudaraku, setiap yang kita ucapkan, mencakup perkataan yang
baik, yang buruk juga yang sia-sia akan selalu dicatat oleh malaikat
yang setiap saat mengawasi kita. Seharusnya kita selalu merenungkan ayat
berikut agar tidak serampangan mengeluarkan kata-kata dari lisan ini.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
”Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18).
Ucapan dalam ayat ini bersifat umum. Oleh
karena itu, bukan perkataan yang baik dan buruk saja yang akan dicatat
oleh malaikat, tetapi termasuk juga kata-kata yang tidak bermanfaat atau
sia-sia.
(Lihat Tafsir Syaikh Ibnu Utsaimin pada Surat Qaaf)
Kita dapat melihat contoh ulama yang selalu menjaga lisannya bahkan
sampai dalam keadaan sakit. Imam Ahmad pernah didatangi oleh seseorang
dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih karena sakit
yang dideritanya. Lalu ada yang berkata kepadanya (yaitu Thowus, seorang
tabi’in yang terkenal),
“Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh
malaikat).” Setelah mendengar nasehat itu, Imam Ahmad langsung diam,
tidak merintih. Beliau takut jika merintih sakit, rintihannya tersebut
akan dicatat oleh malaikat. (Silsilah Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 11/5)
Lihatlah saudaraku, bentuk rintihan seperti ini saja dicatat oleh malaikat, apalagi ketergelinciran lisan yang lebih dari itu.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Tidak ada yang lebih pantas dipenjara dalam
waktu yang lama melainkan lisanku ini.” (Mukhtashor Minhajil Qoshidin,
hal. 165, Maktabah Darul Bayan)
Di Antara Ketergilincaran Lisan
[Pertama] Mencela Makhluk yang Tidak Dapat Berbuat Apa-apa
Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa terjadi karena bulan
ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan! Gara-gara angin ribut
ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan pula, ‘Aduh!! hujan lagi,
hujan lagi’.
Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti ini. Padahal
makhluk yang kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas
kehendak Allah. Mencaci waktu, angin, dan hujan, pada dasarnya telah
mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur
mereka yaitu Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman,
‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku
adalah pemilik dan pengatur masa. Aku-lah yang mengatur malam dan siang
menjadi silih berganti’.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki
angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)
[Kedua] Seringnya Berdusta
Hal ini juga sering dilakukan oleh kita saat ini. Dalam mu’amalah
saja seringkali seperti itu. Hanya ingin mendapat untung yang besar,
seorang tukang bangunan rela berdusta. Harga semennya sebenarnya 30
ribu, namun tukang tersebut mengatakan pada juragannya bahwa harganya 40
ribu.
Begitu juga dalam mendidik anak, seringkali juga muncul perkataan
dusta. Ketika seorang anak merengek, menangis terus-terusan. Untuk
mendiamkannya, sang Ibu spontan mengatakan, “Iya, iya, nanti Mama akan
belikan coklat di warung. Sekarang jangan nangis lagi.” Setelah anaknya
diam, ibunya malah tidak memberikan dia apa-apa. Kelakuan ibu ini juga
secara tidak langsung telah mengajarkan anaknya untuk berdusta. Jadi
jangan salahkan anaknya, jika dewasa nanti, anaknya malah yang sering
membohongi orang tuanya.
Saudaraku, bentuk pertama dan kedua ini sama-sama berkata dusta.
Ingatlah bahwa perbuatan semacam ini termasuk ciri-ciri kemunafikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda orang munafik
itu ada tiga : jika berkata, dia dusta; jika berjanji, dia menyelisinya;
dan jika diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah di antara dua bentuk ketergelinciran lisan dan masih banyak sekali bentuk yang lainnya.
Berpikirlah Sebelum Berucap
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu
karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara
dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu,
sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari
pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim
tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, ”Ini merupakan dalil yang
mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika
tidak maka diamlah.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu,
selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau
kalimat, hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika
memang ada manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika tidak,
hendaklah dia menahan lisannya.”
Itulah manusia, dia menganggap perkataannya seperti itu tidak
apa-apa, namun di sisi Allah itu adalah suatu perkara yang bukan sepele.
Allah Ta’ala berfirman, “Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.
Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An Nur [24] : 15)
Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap
perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah
besar.
Dengan Lisan, Seseorang Bisa Ditinggikan Derajatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada
seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan
lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu.” (HR.
Bukhari)
Ketinggian derajat di sini bisa diperoleh jika lisan selalu diarahkan
pada perkara kebaikan, di antaranya dengan berdo’a, membaca Al Qur’an,
berdakwah di jalan Allah, mengajarkan orang lain di majelis ilmu dan
lain sebagainya. Atau dengan kata lain, ketinggian derajat tersebut bisa
diperoleh dengan mengarahkan lisan pada perkara-perkara yang Allah
ridhoi. (Lihat Nashihatu Linnisa’, hal. 20)
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menjaga lisan ini dan
mengarahkannya kepada hal-hal yang dirihoi oleh Allah. Amin Ya Mujibad
Da’awat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama