Jawaban Syaikh Bin Baz rahimahullah:
Islam tidak melarang seorang wanita bekerja ataupun berdagang bahkan sebaliknya Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hambaNya untuk beramal dan bekerja.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.’”(QS. At-Taubah: 105)
Dan juga firmanNya,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2)
Ayat ini bersifat umum mencakup laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala
membolehkan perdagangan juga untuk semua. Karena setiap manusia
diperintahkan untuk berusaha, menempuh sebab serta beramal baik dia
laki-laki ataupun perempuan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan bathil. Kecuali dalam perdagangan yang berlaku
atas dasar suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa: 29)
Ayat ini juga bersifat umum ditujukan untuk laki-laki dan perempuan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا
رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء
أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ
الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ
صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ
وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
“Dan persaksikanlahlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara
kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki maka boleh satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu sukai
dari para saksi yang ada, agar jika seorang lupa maka yang seorang lagi
mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila
dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya untuk batas waktunya
baik (utang itu) kecil atau besar. Yang demikian itu lebih adil disisi
Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu
kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai
yang kamu jalankan diantara kamu. Maka tidak ada dosa bagi kamu jika
kamu tidak menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Ayat ini ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala
memerintahkan untuk mencatat ketika transaksi hutang piutang. Allah
juga memerintahkan agar menghadirkan saksi saat transaksi tersebut.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa semua (peraturan) terkait dengan utang
piutang ini berlaku umum (bagi laki-laki dan perempuan).
Kemudian Allah Ta’ala melanjutkan firmanNya,
إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
“Kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan
diantara kamu. Maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak
menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Sementara isyhad (mempersaksikan), bentuknya adalah menghadirkan saksi. Karena itu Allah berfirman di ayat selanjutnya,
وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ
“Ambillah saksi jika kamu berjual beli.” (QS. Al Baqarah: 282)
Ayat-ayat diatas berlaku secara umum baik untuk laki-laki dan
perempuan. (Perintah) mencatat hutang piutang ditujukan untuk laki-laki
dan perempuan. Berdagang (jual-beli) dan menjadi saksi berlaku untuk
lelaki dan perempuan. Mereka (laki-laki dan perempuan) boleh mengambil
saksi untuk perdagangan serta pencatatan mereka. Hanya saja, jual beli
secara tunai boleh tidak dicatat. [catatan: “حاضرة” artinya dilakukan
secara tunai. Penjual dan pembelil hadir di tempat akad -ed] karena telah dibayar dengan tunai sehingga tidak menyisakan urusan. Semua peraturan ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
Demikian juga yang terdapat dalam dalil lainnya, semuanya berlaku bagi laki-laki dan perempuan, seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda,
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا مُحِقت بركة بيعهما
“Dua orang yang melakukan transaksi jual beli itu punya hak khiyar
(memilih) selama mereka belum berpisah. Bila keduanya jujur dan terus
terang maka keduanya akan diberi barakah dalam jual belinya. Tetapi bila
mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat) maka akan dihilangkan
keberkahan jual belinya itu.”(HR. Bukhari 2079 dan Muslim 1532)
Juga firman Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dabn mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Semuanya berlaku umum (bagi laki-laki dan perempuan).
Akan tetapi yang wajib diperhatikan ketika bekerja ataupun
berdagang adalah hendaknya interaksi diantara mereka harus dalam bentuk
interaksi yang jauh dan terbebas dari semua penyebab masalah dan yang
menimbulkan perbuatan munkar.
Wanita bekerja (ditempat) yang tidak ada campur baur dengan laki-laki
serta tidak memicu timbulnya fitnah. Demikian pula tatkala wanita
berdagang, dalam keadaan yang bersih dari fitnah. Dengan tetap
memperhatikan hijabnya, menutupi aurat, serta menjauhi sebab terjadinya
fitnah.
Demikianlah yang sepatutnya diperhatikan dalam jual beli dan semua kegiatan wanita. Karena Allah berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap berada dirumahmu dan janganlah kamu berhias
dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu.”(QS.
Al-Ahzab: 33)
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada mereka (istri-istri
Nabi) maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih
suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mukmin,’Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al-Ahzab: 59)
Karena itu, jual beli para wanita hanya dilakukan diantara para
wanita, sementara jual beli para laki-laki di tempat tersendiri,
hukumnya dibolehkan. Demikian pula untuk semua pekerjaan wanita. Seorang
wanita menjadi dokter untuk pasien wanita, perawat wanita untuk pasien
wanita, guru wanita mengajar wanita maka ini tidak masalah. Dokter
laki-laki menangani pasien laki-laki, dan guru laki-laki mengajar
laki-laki.
Adapun dokter wanita menangani pasien laki-laki atau dokter laki-laki
menangani pasien wanita atau perawat wanita untuk laki-laki dan perawat
laki-laki untuk pasien wanita maka inilah yang dilarang syariat, karena mengandung fitnah dan kerusakan.
Oleh karena itu, disamping adanya toleransi untuk bekerja dan
berdagang bagi lelaki dan wanita, semua harus dilakukan dalam keadaan
terbebas dari segala yang membahayakan agama dan kehormatan para wanita,
serta tidak membahayakan bagi lelaki. Namun pekerjaan para wanita
dilakukan dalam kondisi tidak memicu segala yang membahayakan agamanya,
kehormatannya, dan tidak menimbulkan kerusakan dan godaan bagi lelaki.
Demikian pula pekerjaan para lelaki yang terjadi diantara mereka, tidak
boleh ada kehadiran wanita, yang bisa memicu godaan dan kerusakan.
Yang ini memiliki area pekerjaan sendiri, yang itu juga memiliki area
pekerjaan sendiri, dengan meniti jalur selamat, yang tidak membahayakan
kelompok pertama maupun kelompok kedua, serta tidak membahayakan
masyarakat itu sendiri.
Akan tetapi menjadi pengecualian dari hal diatas bila dalam keadaan darurat.
Jika keadaan mendesak dimana seorang lelaki harus bekerja menangani
wanita, seperti melayani pasien wanita ketika tidak ada dokter laki-laki
atau wanita melakukan pekerjaan laki-laki ketika tidak ada dokter
lelaki yang menangani pasien lelaki, sementara wanita ini tahu
penyakitnya dan bisa menanganinya, dengan tetap menjaga diri, menjauhi
segala yang memicu godaan, dan menghindari kholwat (berdua-duaan), serta
larangan semacamnya.
Karena itu, jika ada pekerjaan wanita yang dilakukan bersama lelaki
atau sebaliknya karena kebutuhan yang mendesak atau darurat, dengan
tetap menjaga sebab-sebab yang menimbulkan fitnah baik khalwat atau
terbukanya (aurat) maka keadaan seperti ini dikecualikan (baca:
diperbolehkan).
Tidaklah mengapa seorang wanita menolong laki-laki yang memerlukan
bantuan. Begitu juga laki-laki menolong wanita yang perlu ditangani,
dengan catatan tidak membahayakan keduanya. Seperti dokter wanita
mengobati pasien laki-laki disaat tidak ada dokter laki-laki, sementara
si wanita tahu penyakitnya dengan tetap menjaga diri dari fitnah dan
khalwat. Demikian juga, yang dilakukan dokter laki-laki pada pasien
wanita karena tidak dijumpai dokter wanita yang mengobatinya maka
keadaan ini termasuk keadaan yang mendesak.
Demikian pula kegiatan di pasar, wanita melakukan jual beli yang mereka
butuhkan, dengan tetap menutup aurat dengan benar dari pandangan
laki-laki. Demikian juga tatkala wanita shalat berjama’ah dimasjid
hendaknya tetap menjaga diri, menutup aurat, berada di belakang shaf
laki-laki. Serta kegiatan serupa yang dilakukan wanita, yang tidak
menimbulkan fitnah dan bahaya bagi kedua pihak (laki-laki dan
perempuan).
Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Terkadang beliau berbicara dengan wanita, para wanita berkumpul untuk
mendengar kajian beliau lalu beliaupun memberi nasehat. Inilah yang
boleh dilakukan laki-laki kepada wanita.
Ketika shalat Ied, seusai berkhutbah di hadapan lelaki beliau
mendatangi jamaah wanita, mengingatkan mereka, menasehati mereka untuk
beramal kebaikan.
Demikian juga di beberapa kesempatan, para wanita berkumpul dan
beliau memberi peringatan, mengajari mereka (perkara agama) serta
menjawab pertanyaan mereka. Semua aturan di atas termasuk dalam kasus
ini.
Demikian pula generasi sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seorang laki-laki memberi peringatan kepada kaum wanita, menasehati
mereka, mengajari mereka ketika berkumpul (disuatu tempat) dan dengan
cara yang terpuji, menjaga hijab dan menjauhi sebab-sebab timbulnya
fitnah.
Jika semua itu dibutuhkan, seorang laki-laki boleh melakukan hal
penting yang mereka butuhkan (mengajar, memberi peringatan dan nasehat)
(para wanita), dengan menjaga hijab, menutup (aurat) dan menjauhi semua
bentuk fitnah bagi keduanya.
Catatan Redaksi:
Syaikh Bin Baz rahimahullah telah memberikan jawaban dengan
sangat rinci. Bahkan beliau memberikan permisalan dan contoh hingga
berulang kali. Hal ini menandakan kesungguhan beliau untuk memberi
penjelasan agar masalah ini bisa difahami si penanya khususnya dan
umumnya kaum muslimah. Betapa banyak orang yang menganggap remeh
permasalahan ini namun tidak bagi beliau. Tidaklah cukup beliau menjawab
dengan cara singkat akatetapi beliau menjelasakannya dengan jelas dan
gamblang. Maka adakah orang yang mau mengerti?
***
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4110
Diterjemahkan oleh: Tim Penerjmah Muslimah
Muroja’ah: Ust. Ammi Baits
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama