“Tujuh puluh ribu orang dari umatku akan masuk surga tanpa hisab.
Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak beranggapan
sial dan mereka selalu bertawakkal pada Rabbnya.”
Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muhammad At Tamimi dalam Kitab Tauhid ketika membahas keutamaan menyempurnakan tauhid akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa.
Yang dimaksud menyempurnakan tauhid (tahqiq tauhid) adalah dengan meninggalkan kesyirikan baik syirik besar dan syirik kecil, meninggalkan perbuatan bid’ah, dan meninggalkan maksiat. (Lihat At Tamhid li Syarh Kitabit Tauhid, hal. 56).
Syaikh Sulaiman At Tamimi menjelaskan bahwa yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah tidak ada di hati seseorang sesuatu selain Allah, tidak ada keinginan pada apa yang Allah haramkan, selalu patuh pada perintah Allah. Itulah bukti dari merealisasikan kalimat laa ilaha illallah. (Lihat Taisir Al ‘Azizil Hamid, 1: 253).
Baik kita sekarang lihat hadits panjang yang dimaksud. Hushain bin ‘Abdurrahman -rahimahullah- berkata,
Dari Hushain bin Abdurrahman berkata: “Ketika saya berada di dekat Sa’id bin Jubair, dia berkata:
Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muhammad At Tamimi dalam Kitab Tauhid ketika membahas keutamaan menyempurnakan tauhid akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa.
Yang dimaksud menyempurnakan tauhid (tahqiq tauhid) adalah dengan meninggalkan kesyirikan baik syirik besar dan syirik kecil, meninggalkan perbuatan bid’ah, dan meninggalkan maksiat. (Lihat At Tamhid li Syarh Kitabit Tauhid, hal. 56).
Syaikh Sulaiman At Tamimi menjelaskan bahwa yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah tidak ada di hati seseorang sesuatu selain Allah, tidak ada keinginan pada apa yang Allah haramkan, selalu patuh pada perintah Allah. Itulah bukti dari merealisasikan kalimat laa ilaha illallah. (Lihat Taisir Al ‘Azizil Hamid, 1: 253).
Baik kita sekarang lihat hadits panjang yang dimaksud. Hushain bin ‘Abdurrahman -rahimahullah- berkata,
كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُمَّ قُلْتُ أَمَا إِنِّي لَمْ أَكُنْ فِي صَلَاةٍ وَلَكِنِّي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ اسْتَرْقَيْتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمْ الشَّعْبِيُّ قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ الْأَسْلَمِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَا رُقْيَةَ إِلَّا مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ فَقَالَ قَدْ أَحْسَنَ مَنْ انْتَهَى إِلَى مَا سَمِعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الْإِسْلَامِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللَّهِ وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمْ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ
Dari Hushain bin Abdurrahman berkata: “Ketika saya berada di dekat Sa’id bin Jubair, dia berkata:
“Siapakah diantara kalian yang melihat bintang
jatuh semalam?”
Saya
menjawab:”Saya.” Kemudian saya berkata: “Adapun saya ketika itu tidak
dalam keadaan sholat, tetapi terkena sengatan kala-jengking.”
Lalu ia bertanya: “Lalu apa yang anda kerjakan?”
Saya menjawab: “Saya minta diruqyah”
Ia bertanya lagi: “Apa yang mendorong anda melakukan hal tersebut?”
Jawabku: “Sebuah hadits yang dituturkan Asy-Sya’by kepada kami.”
Ia bertanya lagi: “Apakah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya’bi kepada anda?”
Saya katakan: “Dia menuturkan hadits dari Buraidah bin Hushaib: “Tidak ada ruqyah kecuali karena ‘ain atau terkena sengatan.”
Sa’id pun berkata:
“Alangkah
baiknya orang yang beramal sesuai dengan nash yang telah didengarnya,
akan tetapi Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menuturkan kepada kami hadits
dari Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam, Beliau bersabda:
“Saya telah
diperlihatkan beberapa umat oleh Allah, lalu saya melihat seorang Nabi
bersama beberapa orang, seorang Nabi bersama seorang dan dua orang dan
seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun menyertainya. Tiba-tiba
ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang sangat banyak. Lalu saya
mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan kepada saya: “Itu adalah
Musa dan kaumnya”. Lalu tiba-tiba saya melihat lagi sejumlah besar
orang, dan disampaikan kepada saya: “Ini adalah umatmu, bersama mereka
ada tujuh puluh ribu orang, mereka akan masuk surga tanpa hisab dan
adzab.”
Kemudian
Beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun saling berbicara satu
dengan yang lainnya,” Siapakah gerangan mereka itu?”
Ada diantara mereka yang mengatakan: “Mungkin saja mereka itu sahabat Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam.”
Ada lagi
yang mengatakan: “Mungkin saja mereka orang-orang yang dilahirkan dalam
lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat syirik terhadap Allah” dan
menyebutkan yang lainnya.
Ketika Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda:
“Mereka itu
adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah, tidak meminta di kay dan
tidak pernah melakukan tathayyur serta mereka bertawakkal kepada Rabb
mereka.”
Lalu Ukasyah bin Mihshon berdiri dan berkata: “Mohonkanlah kepada Allah, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!”
Beliau menjawab: “Engkau termasuk mereka”
Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata:
“Mohonlah kepada Allah, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!”
Beliau menjawab: “Kamu sudah didahului Ukasyah.”
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Biografi Singkat Rawi Dan Sahabat Yang Terdapat Dalam Hadits
- Hushain bin Abdurrahman, beliau adalah As-Sulami Abu Hudzail Al-Kuufi, seorang yang tsiqah. Wafat pada tahun 136 H pada usia 93 tahun.
- Sa’id bin Jubair, beliau adalah seorang imam yang faqih termasuk murid senior Ibnu Abbas. Periwayatannya dari Aisyah dan Abu Musa adalah mursal, beliau seorang pemimpin Bani As’ad yang dibunuh oleh Al-Hajaaj bin Yusuf ats-Tsaqafiy tahun 95 H dalam usia 50 tahun.
- Asy-Sya’bi, beliau bernama Amir bin Surahil al-Hamadani, dilahirkan pada masa kekhilafahan Umar dan termasuk tabi’in terkenal dan ahli fiqih mereka, wafat tahun 103 H.
- Buraaidah bin al-Hushaib, beliau adalah Ibnul Harits al-Aslamy, shahabat masyhur, wafat tahun 63 menurut pendapat Ibnu Sa’ad.
- Ukasyah bin Mihshon, beliau berasal dari Bani As’ad bin Khuzaimah dan termasuk pendahulu dalam Islam. Beliau hijrah dan menyaksikan perang Badar dan perang-perang lainnya. Beliau mati syahid dalam perang Riddah dibunuh Thulaihah al-Asady tahun 12 H. Kemudian Thulaihah masuk Islam setelah itu, ikut berjihad melawan Persi pada hari Al-Qadisiyah bersama Sa’ad bin Abu Waqash dan mati syahid di Waqi’atuull Jasri’al-Mashurah.
Kedudukan Hadits
Hadits ini
menjelaskan beberapa hal. Diantaranya pentingnya beramal dengan dalil,
penjelasan tidak semua Nabi punya pengikut dan penjelasan mengenai
golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.
Keterangan Hadits
1. Beramal dengan dalil.
Hushain bin Abdurrahman terkena sengatan kalajengking, lalu meminta
ruqyah dalam pengobatannya. Beliau lakukan hal itu bukan tanpa dalil.
Beliau berdalil dengan hadits dari Buraidah bin al-Husaib
لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْـنٍ أَوْ حُـمَةٍ
"Tidak ada ruqyah kecuali karena ain atau sengatan kalajengking".
لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْـنٍ أَوْ حُـمَةٍ
"Tidak ada ruqyah kecuali karena ain atau sengatan kalajengking".
2. Jumlah pengikut Nabi.
Sa'id mendengar hadits dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, berisi
keterangan diperlihatkan kepada Nabi beberapa umat. Beliau melihat
seorang nabi beserta pengikutnya yang jumlahnya tidak lebih dari
sepuluh. Seorang nabi beserta satu atau dua orang pengikutnya, dan
seorang nabi yang tidak memiliki pengikut. Kemudian diperlihatkan kepada
beliau sekelompok manusia yang banyak dan ternyata adalah umat Nabi
Musa 'alaihissalam. Kemudian baru diperlihatkan umat Beliau sebanyak 70
ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab. Hal ini menunjukkan
kebenaran itu tidak dilihat dari banyaknya pengikut.
3. Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.
Mereka adalah umat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa sallam yang merealisasikan tauhid. Sebagaimana dalam riwayat Ibnu Fudhail:
وَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ هَؤُلاَءِ مِنْ أُمَّتِكَ سَبْعُوْنَ أَلْفًا
"Dan akan masuk surga diantara mereka 70 ribu orang."
Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah dalam shahihain:
أَنَّهُمْ تُضِيْءُ وُجُوْهُهُمْ إِضَاءَةَ لَيْلَةِ الْبَدْرِ
"Wajah-wajah mereka bersinar seperti sinar bulan pada malam purnama".
Dalam hal yang sama Imam Ahmad rahimahullâh dan Baihaqi rahimahullâh meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu dengan lafadz:
فَاسْتَزَدْتُ رَبِّي فَزَادَنِي مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعِيْنَ أَلْفًا
"Maka saya minta tambah (kepada Rabbku), kemudian Allâh memberi saya tambahan setiap seribu orang itu membawa 70 ribu orang lagi".
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini: "Sanadnya jayyid (bagus)". Mereka itu adalah orang-orang yang:
وَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ هَؤُلاَءِ مِنْ أُمَّتِكَ سَبْعُوْنَ أَلْفًا
"Dan akan masuk surga diantara mereka 70 ribu orang."
Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah dalam shahihain:
أَنَّهُمْ تُضِيْءُ وُجُوْهُهُمْ إِضَاءَةَ لَيْلَةِ الْبَدْرِ
"Wajah-wajah mereka bersinar seperti sinar bulan pada malam purnama".
Dalam hal yang sama Imam Ahmad rahimahullâh dan Baihaqi rahimahullâh meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu dengan lafadz:
فَاسْتَزَدْتُ رَبِّي فَزَادَنِي مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعِيْنَ أَلْفًا
"Maka saya minta tambah (kepada Rabbku), kemudian Allâh memberi saya tambahan setiap seribu orang itu membawa 70 ribu orang lagi".
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini: "Sanadnya jayyid (bagus)". Mereka itu adalah orang-orang yang:
A. Tidak minta diruqyah.
Demikianlah yang ada dalam shahihain. Juga pada hadits Ibnu Mas’ud dalam musnad Imam Ahmad. Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim (وَلاَ يَرْقُوْنَ) artinya yang tidak meruqyah.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ini merupakan lafadz tambahan dari
prasangka rawi dan Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam tidak bersabda (وَلاَ يَرْقُوْنَ) karena Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam pernah ditanya tentang ruqyah, lalu beliau menjawab:
“Barangsiapa
diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya, maka berilah
padanya manfaat” dan bersabda: “Boleh menggunakan ruqyah selama tidak
terjadi kesyirikan padanya.”
Ditambah
lagi dengan amalan Jibril ‘alaihissalam yang meruqyah Nabi Salallahu
‘Alaihi Wassalam dan Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam meruqyah
shahabat-shahabatnya. Beliaupun menjelaskan perbedaan antara orang yang
meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah: Mustarqi (orang yang
meminta diruqyah) adalah orang yang minta diobati, dan hatinya sedikit
berpaling kepada selain Allah. Hal ini akan mengurangi nilai tawakkalnya
kepada Allah. Sedangkan arraaqi (orang yang meruqyah) adalah orang yang
berbuat baik.”
Beliau
berkata pula: “Dan yang dimaksud sifat golongan yang termasuk 70 ribu
itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal mereka kepada
Allah dan tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya serta
tidak pula minta di kay.” Demikian pula hal ini disampaikan Ibnul
Qayyim.
B. Tidak Minta di kay (وَلاَ يَكْتَوُوْنَ)
Mereka tidak
minta kepada orang lain untuk mengkay sebagaimana mereka tidak minta
diruqyah. Mereka menerima qadha’ dan menikmati musibah yang menimpa
mereka.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata: “Sabda Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam (لاَ يَكْتَوُوْنَ) lebih umum dari pada sekedar minta di kay atau melakukannya dengan kemauan mereka.
Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:
Bahwa Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.
Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas radhiallahu’anhu :
Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam masih hidup.”
Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas:
Sesungguhnya
Nabi mengkay As’ad bin Zurarah karena sengatan kalajengking Juga dalam
shahih Bukhari dari Ibnu Abbas secara marfu’:
“Pengobatan
itu dengan tiga cara yaitu dengan berbekam, minum madu dan kay dengan
api dan saya melarang umatku dari kay. { Dalam riwayat yang lain: Dan
saya tidak menyukai kay}.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tentang kay itu mengandung 4 hal yaitu:
- Perbuatan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Hal itu menunjukkan bolehnya melakukan kay.
- Rasulullah tidak menyukainya. Hal itu tidak menunjukkan larangan.
- Pujian bagi oraang yang meninggalkan. Menunjukkan meninggalkan kay itu lebih utama dan lebih baik.
- Larangan melakukan kay. Hal itu menunjukkan jalan pilihan dan makruhnya kay.
C. Tidak Melakukan Tathayyur
Mereka tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau binatang yang lainnya.
4. Mereka Bertawakal Kepada Allah
Disebutkan
dalam hadits ini, perbuatan dan kebiasaan itu bercabang dari rasa
tawakkal dan berlindung serta bersandar hanya kepada Allah.
Hal tersebut
merupakan puncak realisasi tauhid yang membuahkan kedudukan yang mulia
berupa mahabbah (rasa cinta), raja’ (pengharapan), khauf (takut) dan
ridha kepada Allah sebagai Rabb dan Ilah serta ridha dengan qadha’Nya.
Ketahuilah
makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mencari sebab
sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya sembuh) termasuk
fitrah dan sesuatu yang tidak terpisah darinya.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan cukupi segala keperluannya. – (Ath-Thalaq: 3)
Mereka
meninggalkan perkara-perkara (ikhtiyar) makruh walaupun mereka sangat
butuh dengan cara bertawakkal kepada Allah. Seperti kay dan ruqyah,
mereka meninggalkan hal itu karena termasuk sebab yang makruh. Apalagi
perkara yang haram.
Adapun
mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang tidak
dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.
Dengan
demikian kita tidaklah meninggalkan sebab-sebab yang disyari’atkan,
sebagaimana dijelaskan dalam shahihain dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu secara marfu’.
Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat untuknya, mengetahui obat itu orang yang mengetahuinya dan tidak tahu obat itu bagi orang yang tidak mengetahuinya.”
Dari Usamah
bin Syarik dia berkata: Suatu ketika saya di sisi Nabi Salallahu ‘Alaihi
Wassalam , datanglah orang Badui dan mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah kami saling mengobati?”
Beliau menjawab: “Ya, wahai hamba-hamba
Allah saling mengobatilah, sesungguhnya Ta’ala tidaklah menimpakan
sesuatu kecuali Dia telah meletakkan obat baginya, kecuali satu penyakit
saja, yaitu pikun.” (HR. Ahmad)
Berkata Ibnu
Qoyyim rahimahullah: Hadits-hadits ini mengandung penetapan sebab dan
akibat, dan sebagai pembatal perkataan orang yang mengingkarinya.
Perintah
untuk saling mengobati tidak bertentangan dengan tawakkal. Sebagaimana
menolak lapar dan haus, panas dan dingin dengan lawan-lawannya (misalnya
lapar dengan makan). Itu semua tidak menentang tawakkal. Bahkan
tidaklah sempurna hakikat tauhid kecuali dengan mencari sebab yang telah
Allah Ta’ala jadikan sebab dengan qadar dan syar’i. Orang yang menolak
sebab itu malah membuat cacat tawakkalnya.
Hakikat
tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allah Ta’ala kepada perkara yang
bermanfaat bagi hamba untuk diri dan dunianya. Maka bersandarnya hati
itu harus diimbangi dengan mencari sebab. Kalau tidak berarti ia menolak
hikmah dan syari’at. Maka seseorang hamba tidak boleh menjadikan
kelemahannya sebagai tawakkal dan tidaklah tawakkal sebagai kelemahan.
Para ulama
berselisih dalam masalah berobat, apakah termasuk mubah, lebih baik
ditinggalkan atau mustahab atau wajib dilakukan? Yang masyhur menurut
Imam Ahmad adalah pendapat pertama, yaitu mubah dengan dasar hadits ini
dan yang semakna dengannya.
Sedangkan
pendapat yang menyatakan lebih utama dilakukan adalah madzhab Syafi’i
dan jumhur salaf dan khalaf serta al-Wazir Abul Midhfar, Demikian
dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Sedangkan Madzhab Abu
Hanifah menguatkan sampai mendekati wajib untuk berobat dan Madzhab Imam
Malik menyatakan sama saja antara berobat dan meninggalkannya,
sebagaimana disampaikan oleh Imam Malik: “Boleh berobat dan boleh juga
meninggalkannya.”
Dalam
permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tidaklah wajib
menurut jumhur para imam, sedangkan yang mewajibkan hanyalah sebagian
kecil dari murid Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.”
5. Kisah ‘Ukasyah bin Mihshan ‘Ukasyah
‘Ukasyah bin
Mihshan ‘Ukasyah meminta kepada Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam
supaya mendo’akannya masuk dalam golongan orang yang masuk surga tanpa
hisab dan adzab.
Lalu
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab: “Engkau termasuk dari
mereka.” Sebagaimana dalam riwayat Bukhari beliau berdo’a: “Ya Allah
jadikanlah dia termasuk mereka.”
Dari sini
diambil sebagai dalil dibolehkan minta do’a kepada orang yang lebih
utama. Kemudian temannya yang tidak disebutkan namanya meminta
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam mendo’akannya pula, tapi
Rasullullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab: “Engkau telah didahului
‘Ukasyah.”
Berkata
Al-Qurthubi: “Bagi orang yang kedua keadaanya tidak seperti ‘Ukasyah,
oleh karena itu permintaannya tidak dikabulkan, jika dikabulkan tentu
akan membuka pintu orang lain yang hadir untuk minta dido’akan dan
perkara itu akan terus berlanjut. Dengan itu beliau menutup pintu
tersebut dengan jawabannya yang singkat. Berkata Syaikh Abdirrahman bin
Hasan Alu Syaikh: “Didalamnya terdapat penggunaan ungkapan sindiran oleh
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam dan keelokkan budi pekerti
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam.”
FAIDAH-FAIDAH HADITS :
1- Hushain bin ‘Abdurrahman khawatir jika orang-orang menyangka ia
melakukan shalat malam ketika melihat bintang. Ia tidak mau dinilai
melakukan ibadah saat itu padahal ia tidak melakukannya. Inilah yang
menunjukkan keutamaan salafush sholeh dan menunjukkan bagaimana
keikhlasan pada diri mereka. Mereka berusaha menjauhkan diri dari riya’.
Mereka tidak mau mengatakan bahwa ia telah melakukan seperti ini dan
seperti itu supaya orang-orang sangka ia adalah wali Allah. Ada yang
memakai biji tasbih di leher atau sengaja membawa tasbih di tangannya
ketika berjalan, supaya orang-orang sangka ia sedang berdzikir. Dan
memang memamerkan biji tasbih di leher ketika jalan lebih cenderung pada
riya’ (ingin memamerkan amalan).
2- Hushain ketika tersengat
kalajengking mengambil pilihan untuk meminta diruqyah karena ia punya
pegangan dalil dari Asy Sya’bi (‘Amir bin Syarohil Al Hamdani Asy
Sya’bi) dari Buraidah bin Al Hushaib. Dalilnya mengatakan bahwa tidak
ada ruqyah yang lebih manjur kecuali pada penyakit ‘ain (mata dengki) atau pada humah
(sengatan kalajengking). Ini menunjukkan bahwa boleh meminta diruqyah
dalam hal seperti ini, namun ada jalan yang lebih baik sebagaimana
disebutkan oleh Sa’id bin Jubair.
3- Ketika Sa’id bin Jubair
meminta dalil pada Hushain kenapa ia meminta diruqyah, ini menunjukkan
bahwa para ulama salaf dahulu sudah biasa saling menanyakan dalil atas
pendapat yang mereka anut. Saling bertanya ilmiah ini adalah kebiasaan
yang baik yang patut dicontoh, “Apa dalil Anda dalam masalah ini?”
4-
Al Khottobi mengatakan bahwa maksud hadits “Tidak ada ruqyah kecuali
disebabkan oleh penyakit ‘ain dan racun (sengatan binatang berbisa)”
yaitu tidak ada ruqyah yang lebih mujarab kecuali pada ‘ain dan humah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah meruqyah dan diruqyah. (Lihat Ma’alimus Sunan, 4: 210 dan Masyariqul Anwar, 1: 366).
Yang dimaksud ‘ain adalah pandangan tidak suka dari orang yang hasad. Sedangkan humah adalah sengatan kalajengking dan semacamnya.
5-
Sa’id bin Jubair mengatakan, “Sungguh sangat baik orang melaksanakan
dalil yang telah ia dengar”. Ini menunjukkan bahwa jika seseorang telah
mengamalkan ilmu yang telah sampai padanya, maka itu sudah disebut baik
karena ia telah melakukan kewajibannya. Beda halnya dengan orang yang
beramal dilandasi kebodohan atau tidak mengamalkan ilmunya, maka ia
jelas berdosa.
6- Perkataan Sa’id bin Jubair juga menunjukkan
baiknya adab salaf dalam menyampaikan ilmu dan bagaimana menyatakan
pendapatnya dengan lemah lembut. Lalu Sa’id menunjukkan pada Hushain
tentang manakah cara yang lebih baik ditempuh, padahal apa yang
dilakukan oleh Hushain masih boleh.
7- Siapa yang telah
mengamalkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya sudah disebut baik, bukan
hanya sekedar berdiam pada perkataan ulama madzhab.
8- Hadits yang
disampaikan pertama yaitu tidak ada ruqyah yang lebih mujarab kecuali
pada ‘ain dan humah dan hadits kedua dari Ibnu ‘Abbas tentang
orang-orang yang meninggalkan meminta ruqyah tidaklah kontradiksi atau
bertentangan.
9- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditampakkan umat yang disebutkan dalam hadits adalah saat peristiwa Isra’ Mi’raj.
10-
Ada Nabi yang pengikutnya banyak, ada nabi yang pengikutnya sedikit.
Ini menunjukkan bahwa tidak selamanya jumlah pengikut yang banyak
menunjukkan atas kebenaran. Yang jadi patokan kebenaran bukanlah jumlah,
namun diilihat dari pedoman mengikuti Al Qur’an dan hadits, siapa pun
dia dan di mana pun dia berada.
11- Sekelompok orang yang disebutkan dalam hadits, yang dimaksud adalah jumlah orang yang banyak yang dilihat dari jauh.
12- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan umat Nabi Musa yang begitu banyak, itu menunjukkan keutamaan Musa dan pengikutnya.
13- Lalu dilihat lagi sekelompok umat yang besar yang itu adalah umatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
tengah-tengah umat Muhammad terdapat 70.000 orang yang masuk surga
tanpa hisab dan tanpa siksa. Mereka itulah orang-orang yang mentahqiq
tauhid atau merealisasikan tauhid dengan benar.
14- Umat Muhammad
bisa terbedakan dari umat lainnya karena dilihat dari bekas wudhu
mereka. Umat Muhammad nampak bekas wudhu mereka pada wajah, tangan dan
kaki mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits riwayat Muslim,
إِنَّ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ
“Sesungguhnya umatku datang pada hari kiamat dalam keadaan wajah, tangan dan kakinya bercahaya karena bekas wudhu” (HR. Muslim no. 246).
15-
Ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa setiap 1000 dari 70.000 tadi ada 70.000
lagi. Dari Abu Umamah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
وَعَدَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِى سَبْعِينَ أَلْفاً بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعُونَ أَلْفاً
“Rabbku ‘azza wa jalla telah menjajikan padaku
bahwa 70.000 orang dari umatku akan dimasukkan surga tanpa hisab dan
tanpa siksa. Setiap 1000 dari jumlah tersebut terdapat 70.000 orang lagi.” (HR. Ahmad 5: 268. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dan sanad hadits ini hasan). Berarti berdasarkan hadits ini ada 4.900.000 orang yang dimaksud.
16- Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
ada 70.000 orang dari umatnya yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa
siksa, lalu beliau masuk rumah. Para sahabat pun berbincang-bincang
siapakah orang-orang yang dimaksud tersebut. Ini menunjukkan bahwa boleh
berdiskusi ilmiah dalam masalah ilmu untuk mengambil faedah dan
mendapatkan kebenaran.
17- Apa yang mereka diskusikan menunjukkan
bagaimana dalamnya ilmu para sahabat. Mereka mengetahui bahwa untuk
menggapai keutamaan tersebut harus dengan beramal. Itu pun menunjukkan
semangat mereka dalam kebaikan.
18- Sifat pertama dari 70.000
orang tersebut adalah tidak meminta diruqyah. Dalam riwayat Muslim
disebutkan “laa yarqun”, artinya tidak meruqyah. Tambahan tidak meruqyah
di sini keliru karena orang yang meruqyah adalah orang yang berbuat
baik. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang ruqyah, beliau bersabda,
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa yang mampu di antara kalian untuk memberi kemanfaatan pada saudaranya, maka lakukanlah“(HR. Muslim no. 2199).
‘Auf bin Malik berkata,
كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ « اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا »
“Kami dahulu pernah meruqyah di
masa jahiliyah, kami berkata, “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu
tentang ruqyah yang kami lakukan?” Beliau bersabda, “Tunjukkan ruqyah kalian. Yang namanya ruqyah tidaklah mengapa selama tidak ada kesyirikan di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 3886, shahih kata Syaikh Al Albani).
Alasan lainnya, meruqyah orang lain tidaklah masalah karena Jibril pernah meruqyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meruqyah para sahabatnya.
19-
Perbedaannya jelas antara orang yang meruqyah dan orang yang meminta
diruqyah. Orang yang meminta diruqyah cenderung hatinya bergantung pada
selain Allah. Adapun orang yang meruqyah orang lain adalah orang yang
berbuat baik.
20- Sifat 70.000 orang tersebut yang lainnya adalah
tidak meminta diruqyah. Namun pengobatan kay yaitu penyembuhan luka
dengan besi panas asalnya boleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus dokter pada Ubay bin Ka’ab untuk mengobati lukanya dengan cara kay.
Hadits-hadits yang membicarakan tentang pengobatan kay ada empat macam: (1) Nabi shallallahu melakukannya,
(2) beliau tidak suka dengan pengobatan kay, (3) beliau memuji orang
yang tidak dikay, (4) beliau melarang pengobatan kay. Yang beliau
lakukan menunjukkan bahwa kay itu boleh. Beliau tidak pada kay bukan
berarti pengobatan kay itu terlarang. Hadits yang menunjukkan beliau
memuji orang yang meninggalkan kay berarti meninggalkan kay lebih utama.
Adapun hadits yang menyatakan beliau melarangnya menunjukkan bahwa kay
itu makruh. Jadi dalil-dalil yang ada tidak saling bertentangan.
Demikian kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad.
21- Sifat
70.000 orang tersebut selanjutnya adalah mereka tidak bertathoyyur.
Tathoyyur adalah beranggapan sial dengan burung atau lainnya. Kalau di
tengah-tengah kita misalnya menganggap sial dengan bulan Suro.
22-
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sifat utama dari 70.000 orang tersebut
terkumpul pada sifat tawakkal. Karena tawakkal mereka yang sempurna,
mereka tidak meminta diruqyah, tidak meminta dikay, dan tidak
beranggapan sial. Lihat Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
23-
Hadits yang dibicarakan saat ini tidaklah menunjukkan untuk
meninggalkan usaha atau sebab. Dan tawakkal itu adalah cara yang utama
untuk meraih sebab. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal pada Allah, Dialah yang mencukupinya.“(QS.
Ath Thalaq: 3). Jadi mereka punya enggan melakukan yang dimakruhkan
yaitu meminta diruqyah dan meminta dikay, mereka lebih memilih tawakkal
daripada mengambil sebab yang makruh tersebut.
24- Adapun
mengambil sebab dan berobat dengan cara yang tidak makruh, maka seperti
itu boleh dan tidak mencacati tawakkal. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Allah tidaklah menurunkan penyakit melainkan menurunkan pula penawar (obatnya)” (HR. Bukhari no. 5678).
25-
‘Ukkasyah bin Mihshan adalah di antara 70.000 orang tersebut. Ia adalah
di antara penunggang kuda terbaik di kalangan Arab dahulu. Beliau mati
syahid tahun 12 H ketika berperang bersama Kholid bin Walid memerangi
orang-orang yang murtad.
26- Hadits ini menunjukkan boleh meminta
do’a pada orang yang punya keutamaan yang lebih seperti yang dilakukan
oleh Ukkasyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
27-
Lantas orang berikutnya setelah ‘Ukkasyah ingin meminta lagi pada Nabi
agar berdo’a pada Allah supaya ia juga termasuk dalam 70.000 golongan
tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau
sudah kedahuluan oleh ‘Ukkasyah”. Ini adalah cara Nabi supaya yang
lainnya tidak meminta seperti itu lagi. Ini menunjukkan kelemah lembutan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akhlak beliau yang baik.
28-
Orang yang meminta kedua kalinya bukanlah munafik dengan dua alasan:
(a) para sahabat Nabi asalnya bukanlah orang munafik, (2) orang yang
meminta seperti itu pada Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berarti yakin akan benarnya Rasul dan itu tidak muncul dari orang munafik.
29- Boleh menolak sesuatu dengan cara yang terlihat seperti berbohong, namun maksudnya tidak demikian.
Faedah-faedah di atas diambil dari kitab Taisir Al ‘Azizil Hamid
karya Syaikh Sulaiman At Tamimi, yang merupakan kitab penjelasan
pertama, paling lengkap dan memuaskan dari kitab tauhid Syaikh Muhammad
At Tamimi.
—
Referensi:
At Tamhid li Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Darul Imam Al Bukhari, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Taisir Al ‘Azizil Hamid fii Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, terbitan Darush Ash Shomi’i, cetakan kedua, tahun 1429 H.
Dipetik dari: Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid (hal 54-62) karya Syaikh Abdir Rohman bin Hasan Alu Syaikh.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama