Bagaimana bisa ada orang yang membenci Syiah tapi masih mengidolakan tokoh2 Syiah dan menggemari karya2 mereka?
Semoga mereka melakukannya karena kebodohannya atau ketidak tahuannya
akan hal itu. Ini peringatan untuk kita agar tidak asal ikut2an.
Karena banyak dari orang2 kita yang membenci Syiah, melaknat Syiah,
namun mereka masih mengidolakan tokoh Syiah dan menyukai karya2nya.
Mereka masih mengidolakan tokoh Syiah semisal Muhammad Quraish Shihab yang pemikirannya banyak terpengaruh ajaran Syiah, berikut dengan karyanya Tafsir Al Misbah.
Tidak ketinggalan juga dengan artis yang populer di Indonesia, yang pemikirannya juga terpengaruh ajaran Syiah, yaitu Haddad Alwi dan sulis.
Jangan kaget kalo lagu2 yang mereka bawakan diambil dari lagu2 ajaran Syiah. Seperti lagu berikut ini:
“Ya Thayyibah…ya Thayyibah…”
Contoh (dijamin 100% Syiah):
http://www.youtube.com/watch?v=9h2Wv-24rMc&feature=related
(Ket: Jangan didengarkan dan jangan dinikmati lagunya. Sekedar referensi saja)
Disebutkan:
Mengenai nyanyian Ya Thoybah (wahai Sang Penawar) itu juga nyanyian,
hanya berbahasa Arab. Kalau nyanyian berbahasa Indonesia, Inggeris atau
lainnya yang biasanya berkisar tentang cinta, pacaran dan sebagainya,
misalnya dinyanyikan di masji…d, orang sudah langsung faham bahwa itu
tidak boleh.
Nyanyian cinta-pacaran seperti itu justru kesalahannya jelas. Orang
langsung tahu. Sebaliknya, kalau nyanyiannya itu seperti Ya Thoybah,
kalau itu mengandung kesalahan (dan memang demikian), justru orang tidak
mudah untuk menyalahkannya. Karena dia berbahasa Arab, dan menyebut
nama sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyebut Al-Quran dan
sebagainya.
Padahal, nyanyian Ya Thoybah itu justru isinya berbahaya bagi Islam,
karena ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memuji Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu.
Berikut ini kutipan bait yang ghuluw dari nyanyian Ya Thoybah (wahai Sang Penawar):
Ya ‘Aliyya bna Abii Thoolib Minkum mashdarul mawaahib.
Artinya: “Wahai Ali bin Abi Thalib, darimulah sumber keutamaan-keutamaan (anugerah-anugerah atau bakat-bakat).”
Bagaimanapun, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah manusia
biasa, bukan Tuhan. Di dalam nyanyian itu sampai disanjung sebegitu,
dianggap, dari Ali lah sumber anugerah-anugerah atau bakat-bakat atau
keutamaan-keutamaan. Ini sangat berlebihan alias ghuluw.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
Artinya: “Jauhilah olehmu ghuluw (berlebih-lebihan), karena
sesungguhnya rusaknya orang sebelum kalian itu hanyalah karena ghuluw
–berlebih-lebihan– dalam agama.” (HR Ahmad, An-Nasaai, Ibnu Majah, dan
Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, Shahih).
Ali ra sendiri pernah disikapi seperti itu. Abdullah bin Saba’,
pendeta Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam, bekata kepada Ali:
“Engkau lah Allah”. Maka Ali bermaksud membunuhnya, namun dilarang oleh
Ibnu Abbas. Kemudian Ali cukup membuangnya ke Madain (Iran). Dalam
riwayat lain, Abdullah bin Saba’ disuruh bertaubat namun tidak mau. Maka
ia lalu dibakar oleh Ali (dalam suatu riwayat). (lihat Rijal Al-Kusyi,
hal 106-108, 305; seperti dikutip KH Drs Moh Dawam Anwar, Mengapa Kita
Menolak Syi’ah, LPPI Jakarta, cetakan II, 1998, hal 5-6).
Rupanya antek-antek Abdullah bin Saba’ kini berleluasa menyebarkan missinya.
Kelompok yang oknum-oknumnya diakui sebagai para pendukung tersebarnya
aliran sesat di Indonesia itu juga merupakan kelompok yang ghuluw dalam
menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya adalah
nyanyian mereka dalam pengajian-pengajian yang dikenal dengan nyanyian
Ya Robbi bil Mushtofaa.
Nyanyian yang satu ini dikhawatirkan menjurus kepada syirik
(kemusyrikan, menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala), kalau lafal bil
(dari Yaa Robbi bil-Mushtofaa) itu dimaksudkan untuk sumpah, artinya
demi (Rasul) pilihan (Mu). Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. (الترمذي)
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka sungguh ia telah
musyrik (menyekutukan Alah).” (HR At-Tirmidzi dalam bab iman dan nadzar,
kata Abu Isa, hadits ini hasan).
Terlarang pula bila lafal bil (dari Yaa Robbi bil-Mushtofaa) itu
dimaksudkan untuk sababiyah atau perantara, karena berarti menjadikan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah wafat sebagai perantara
(wasilah) kepada Allah. Itu terlarang. Karena hal itu termasuk ibadah.
Sedang ibadah harus tauqifi, berdasarkan dalil. Karena tak ada dalilnya
yang membolehkan, maka para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak bertawassul dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika beliau sudah wafat.
Adapun minta didoakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika orang
yang diminta itu masih hidup atau tawassul ketika orangnya masih hidup,
maka tidak terlarang.
Kalau ada yang minta hadits larangan bertawassul dengan dzat makhluk,
dalam hal ini isi dari syair Ya Robbibil, sebenarnya sudah jelas dalam
keterangan di atas. Namun agar lebih jelas, kami kutipkan hadits:
رَوَى الطبراني فِي مُعْجَمِهِ الْكَبِيرِ { أَنَّهُ كَانَ فِي زَمَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَافِقٌ يُؤْذِي
الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ : قُومُوا بِنَا
لِنَسْتَغِيثَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
هَذَا الْمُنَافِقِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إنَّهُ لَا يُسْتَغَاثُ بِي وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاَللَّهِ }
Thabrani meriwayatkan di dalam kitabnya, Mu’jam Al-Kabir: Bahwa dulu
pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang munafiq
(Abdullah bin Ubay) menyakiti/ mengganggu orang-orang mukmin, maka Abu
Bakar berkata: Bangkitlah dengan kami, kami akan minta tolong kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari (gangguan) munafiq ini.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya aku
tidak (boleh) dimintai tolong, dan sesungguhnya hanya Allah lah yang
dimintai tolong.” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaaid
10/159 dan ia berkata: Diriwayatkan oleh Thabrani sedang para
periwayatnya shahih selain Ibnu Lahi’ah dan hadits ini hasan).
Dalam kitab Fathul Majid dikomentari, Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam itu adalah nash/ teks bahwasanya tidak (boleh) minta tolong
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga orang lainnya. Beliau
membenci perbuatan ini sebenarnya, walaupun beliau termasuk mampu
mengerjakannya (memberi pertolongan) dalam hidupnya (tetapi ini) sebagai
penjagaan akan terjauhnya Tauhid, dan menutup jalan ke arah bahaya
syirik, dan adab serta tawadhu’ kepada Tuhannya, dan memberikan
peringatan kepada ummatnya tentang sarana-sarana kemusyrikan dalam
ucapan dan perbuatan.
Kalau dalam hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu
mengerjakannya ketika hidupnya saja (beliau tidak membolehkan), maka
bagaimana beliau akan membolehkan untuk minta tolong (diperantarakan
kepada Allah, misalnya) setelah beliau wafat, dan dimintai untuk
mengerjakan hal-hal yang beliau tidak mampu atasnya kecuali Allah saja
yang mampu mengerjakannya? Sebagaimana telah dilakukan oleh lisan-lisan
sebagian banyak penyair seperti Al-Bushiri, Al-Bara’i dan lainnya, yang
beristighotsah (minta tolong) kepada orang yang tidak memiliki manfaat
dan mudhorot pada dirinya sendiri…( Fathul Majid, hal. 196-197).
Secara pasti, ibadah itu harus ada dalilnya (ayat Al-Quran atau
Hadits yang shahih) atau ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam atau para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (kesepakatan
Sahabat Nabi shallallahu ‘alaih…i wa sallam). Dalam kasus ini, sya’ir
itu tidak sesuai dengan dalil, seperti uraian tersebut di atas, dan
tidak pernah ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun
para sahabatnya.
Ibadah saja mesti ada dalilnya atau contohnya dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sedang sya’ir Ya Rabbi bil Musthofaa… itu menyangkut
aqidah, maka dalilnya untuk membolehkannya harus jelas. Ternyata tidak
ada dalil yang membolehkan secara jelas, yang ada justru isi dan bentuk
sya’ir itu bertentangan dengan dalil aqidah yang benar.
Jadi pertanyaan yang mestinya diajukan adalah: Mana hadits yang
membolehkan atau membenarkan isi sya’ir itu, bukan mana haditsnya yang
melarang. Karena isi sya’ir itu menyangkut aqidah, yang dalam hal
aturannya justru lebih ketat dibanding ibadah. Apalagi isi sya’ir itu
sudah tidak sesuai dengan aqidah yang benar.
Masalah ulama tidak tahu atau tahu tetapi tidak menyatakan bahwa itu
salah, ini hal yang sering diungkapkan orang dalam berbagai kesempatan.
Namun yang jelas, agama itu landasannya adalah dalil (ayat Al-Quran atau
Hadits yang shahih) dengan pemahaman yang sesuai dengan penjelasan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’it
tabi’in. Di sinilah pentingnya mempelajari agama, agar tidak hanya
mengikuti apa kata orang, walau disebut ulama. Insya Allah kalau
menempuh jalan seperti ini, kita akan selamat. Amien.
Demikian pula sholawat Badar, di sana ada lafal bil haadii Rasuulillaah.
Itu sama dengan keterangan tersebut di atas. (lebih jelasnya, baca buku
Tasawuf Belitan Iblis, Darul Falah, Jakarta, 1422H, atau Aliran dan
Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002, atau
Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, WIP Solo, 2007).
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama