Terjadi pada zaman ini sibuknya sebagian Ahlus Sunnah terhadap
sebagian yang lainnya sikap saling caci dan saling tahzir (waspada), hal
demikian telah menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta sikap
saling Hajar (menjauhi), sepantasnya yang ada diantara mereka bahkan
suatu keharusan adalah saling kasih dan saling sayang, dan mereka
menyatukan barisan mereka dalam menghadapi para ahli bid’ah dan Ahli
Ahwa’ (pengikut nafsu sesat) yang mereka tersebut para penentang Ahlus
Sunnah wal Jam’ah, hal yang demikian disebabkan oleh dua sebab;
Pertama:
Sebahaqian Ahlus Sunnah pada masa ini ada yang kebiasaan dan
kesibukkannya mencari-cari dan menyelidiki kesalahan-kesalahan baik
lewat karangan-karangan atau lewat kaset-kaset, kemudian mentahzir
(peringatan untuk dijauhi) barangsiapa terdapat darinya suatu kesalahan,
bahkan diantara kesalahan tersebut yang membuat seseorang bisa dicela
dan ditahzir disebabkan ia bekerja sama dengan salah satu badan sosial
agama (jam’iyaat khairiyah) seperti memberikan ceramah atau ikut serta
dalam seminar yang dikoordinir oleh badan sosial tersebut, pada hal
syeikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz dan syeikh Muhammad bin sholeh
Al Utsaimin sendiri pernah memberikan muhadharah (ceramah) terhadap
badan sosial tersebut lewat telepon, apakah seseorang layak untuk dicela
karena ia melakukan satu hal yang sudah difatwakan oleh dua orang ulama
besar tentang kebolehannya, dan lebih baik seseorang menyalahkan
pendapatnya terlebih dulu dari pada menyalahkan pendapat orang lain,
terlebih-lebih apabila pendapat tersebut difatwakan oleh para ulama
besar, oleh sebab itu sebagian para sahabat Nabi selepas perjanjian
Hudaybiyah berkata:
“Wahai para manusia!, hendaklah kalian mengkoreksi pendapat akal (arro’yu) bila bertentangan dengan perintah agama”.
Bahkan diantara orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfaat
yang cukup besar, baik dalam hal memberikan pelajaran-pelajaran, atau
melalui karya tulis , atau berkhutbah, ia ditahzir cuma karena gara-gara
ia tidak pernah diketahui berbicara tentang si Fulan atau jama’ah
tertentu umpamanya, bahkan celaan dan tahziran tersebut sampai merembet
kebahagian yang lainnya di negara-negara arab dari orang-orang yang
manfaatnya menyebar sangat luas dan perjuangnya cukup besar dalam
menegakkan dan menyebarkan Sunnah serta berda’wah kepadanya, tidak ragu
lagi bahwa mentahzir seperti mereka tersebut adalah sebuah tindakan
menutup jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang ingin mencari
faedah dari mereka dalam mempelajari ilmu dan akhlak yang mulia.
Kedua:
Sebahagian dari Ahlus Sunnah apabila ia melihat salah seorang dari
Ahlus Sunnah melakukan kesalahan spontan ia menulis sebuah bantahan
terhadapnya, kemudian orang yang dibantahpun membalas dengan menulis
bantahan pula, kemudian masing-masing dari keduanya saling sibuk membaca
tulisan yang lainnya atau ceramah serta mendengar kaset-kasetnya yang
sudah lama demi untuk mengumpulkan berbagai kesalahan dan ‘aibnya, boleh
jadi sebahagiannya berbentuk keterledoran lidah, ia melakukan hal
tersebut dengan sendirinya atau orang lain yang melakukan hal itu
untuknya, kemudian masing-masing keduanya berusaha mencari pendukung
untuk membelanya sekaligus untuk meremehkan pihak lain, kemudian
pendukung dari kedua belah pihak berusaha memberikan dukungan terhadap
pendapat orang yang didukungnya dan mencela pendapat lawannya, dan
memaksa setiap orang yang mereka temui untuk menunjukkan pendirian
terhadap orang yang tidak didukungnya, jika tidak menunjukan
pendiriannya ia dibid’ahkan mengikuti bagi penbid’ahan terhadap pihak
lawannya, kemudian hal yang demikian dilanjutkan dengan perintah untuk
menhajarnya (mengucilkannya).
Tindakan para pendukung dari kedua belah bihak termasuk sebagai
penyebab yang paling utama dalam muncul dan semakin menyebarnya fitnah
dalam bentuk sekala luas, dan keadaan semakin bertambah parah lagi
apabila setiap pendukung kedua belah pihak menyebarkan celaan tersebut
melalui internet, kemudian generasi muda dari Ahlus Sunnah di berbagai
negara bahkan di berbagai benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan
yang tersebar di webset masing-masing kedua belah pihak tentang kata ini
kata itu yang tidak membuahkan kebaikan tapi hanya membawa kerusakan
dan perpecahan, hal itu telah membuat pendukung kedua belah pihak yang
bertikai untuk selalu mojok didepan kaca iklan untuk mengetahui berita
apa yang sedang tersebar, tak ubahnya seperti orang yang terfitnah oleh
club-club olahraga yang mana masing-masing pendukung memberikan suport
untuk clubnya, sehingga hal yang demikian telah menimbulkan diantara
mereka persaingan, keberingasan dan pertengkaran.
Jalan untuk selamat dari fitnah ini adalah dengan mengikuti beberapa langkah berikut ini :
Pertama : Tentang hal yang berhubungan dengan caci maki dan tahzir perlunya memperhatikan hal yang berikut ;
1. Hendaknya orang yang menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama
dan para penuntut ilmu serta mentahzir terhadap mereka tersebut
hendaklah ia merasa takut kepada Allah, lebih baik ia menyibukan diri
dengan memeriksa aib-aibnya supaya ia terlepas dari aibnya tersebut,
dari pada ia sibuk denga aib-aib orang lain, dan menjaga kekekalan
amalan baiknya jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia dan
membagi-bagikannya kepada orang yang dicela dan dicacinya, sedangkan ia
sangat butuh dari pada orang lain terhadap amal kebaikan tersebut pada
hari yang tiada bermanfaat pada hari itu harta dan anak keturunan
kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang suci.
2. Hendaklah ia menyibukan dirinya dengan mencari ilmu yang
bermanfaat dari pada ia sibuk melakukan celaan dan tahziran, dan giat
serta bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut supaya ia mendapat
faedah dan memberikan faedah, mendapat manfa,at dan bermanfa’at, maka
diantara pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah bahwa ia sibuk
dengan ilmu, belajar, mengajar, berda’wah dan menulis, apabila ia mampu
melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang
membangun, dan tidak menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan
para penuntut ilmu dari Ahlus Sunnah serta menutup jalan yang
menghubungkan untuk mengambil faedah dari mereka sehingga ia menjadi
golongan penghancur, orang yang sibuk dengan celaan seperti ini, tentu
ia tidak akan meninggalkan sesudahnya ilmu yang dapat memberi manfa’at
serta manusia tidak akan merasa kehilangan atas kepergiannya sebagai
seorang ulama yang memberi mereka manfaat, justru dengan kepergiannya
mereka merasa selamat dari kejahatannya.
3. Bahwa ia menganjurkan kepada para generasi muda dari Ahlus Sunnah
pada setiap tempat untuk menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, membaca
kitab-kitab yang bermanfa’at dan mendengarkan kaset-kaset pengajian para
ulama Ahlus Sunnah seperti Syeikh Bin Baz dan Syeikh Bin Al ‘Utsaimin,
dari pada menyibukan diri mereka dengan menelepon sifulan dan sifulan
untuk bertanya; (apa pendapat engkau tentang sifulan atau sifulan?), dan
(apa pula pandanganmu terhadap perkataan sifulan terhadap sifulan?),
dan (perkataan sifulan terhadap sifulan?).
4. Hendaknya ketika seorang penuntut ilmu bertanya tentang hal
orang-orang yang menyibukan dirinya dengan ilmu, hendaklah pertanyaan
tersebut diajukan kepada tim komisi pemberi fatwa di Riyadh untuk
bertanya tentang hal mereka tersebut, apakah mereka tersebut berhak
untuk dimintai fatwanya dan boleh menutut ilmu darinya atau tidak?, dan
barang siapa yang betul-betul tau tentang hal seseorang tersebut
hendaklah ia menulis surat kepada tim komisi pemberi fatwa tentang apa
yang diketahuinya tentang halnya untuk sebagai bahan pertimbangan dalam
hal tersebut, supaya hukum yang lahir tentang celaan dan tahziran timbul
dari badan yang bisa dipercaya fatwa mereka dalam hal menerangkan siapa
yang boleh diambil darinya ilmu dan siapa yang bisa dimintai fatwanya.
Tidak diragukan lagi bahwa seharusnya badan resmilah sebagai tempat
rujukan berbagai persoalan yang membutuhkan fatwa dalam hal mengetahui
tentang siapa yang boleh dimintai fatwanya dan diambil darinya ilmu, dan
janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai rujukan dalam seperti
hal-hal yang penting ini, sesungguhnya diantara tanda baiknya Islam
seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak menjadi urusannya.
Kedua : Apa yang berhubungan dengan bantahan terhadap siapa yang tersalah, perlunya memperhatikan hal-hal berikut.
1. Bantahan tersebut hendaknya disampaikan dengan halus dan lemah
lembut dan disertai oleh harapan yang tulus dalam menyelamatkan orang
yang tersalah tersebut dari kesalahannya, ketika kesalahan tersebut
jelas lagi nyata, dan perlunya merujuk kepada bantahan-bantahan yang
ditulis oleh Syeikh Bin Baz untuk mengambil faedah darinya dalam hal
cara-cara bagaimana selayaknya saat menulis sebuah bantahan.
2. Apabila bantahan tersebut terhadap sebuah kesalahan yang kurang
jelas, tetapi ia dari jenis persoalan yang bantahan terhadapnya
mengandung sisi benar dan sisi salah, maka untuk memutuskan persoalan
tersebut perlunya merujuk kepada tim komisi pemberi fatwa, adapun
apabila kesalahan tersebut jelas, bagi siapa yang dibantah perlunya
kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran
lebih baik dari pada berlarut-larut dalam kebatilan.
3. Apabila seorang telah melakukan bantahan terhadap orang lain maka
sesungguhnya ia telah melaksanakan kewajibannya, selanjutnya ia tidak
perlu menyibukkan dirinya untuk mengikuti gerak-gerik orang yang
dibantahnya, tetepi ia menyibukan diri dengan menuntut ilmu yang akan
membawa manfa’at sangat besar untuk dirinya dan orang lain, beginilah
sikap Syeikh Bin Baz -.
4. Tidak dibolehkannya seorang penuntut ilmu menguji yang lainnya,
bahwa mengharuskannya untuk memiliki sikap tegas terhadap yang dibantah
atau yang membantah,? jika setuju ia selamat dan jika tidak ia
dibid’ahkan dan dihajar (dikucilkan). Tidak seorangpun yang berhak
menisbahkan kepada manhaj Ahlus Sunnah sikap ketidak beraturan seperti
ini dalam membid’ahkan dan menghajar. Begitu juga tidak seorangpun yang
berhak menuduh orang yang tidak melalui cara yang kacau seperti ini
bahwa orang tersebut penghancur bagi manhaj salaf.
Hajar yang bermanfaat dikalangan Ahlus Sunnah adalah apa yang dapat
memberikan manfa’at bagi yang dihajar (dikucilkan), seperti orang tua
mengucilkan anaknya, Dan seorang Syeikh terhadap muridnya, dan begitu
juga pengucilan yang datang dari seorang yang mempuyai kehormatan dan
kedudukan yang tinggi, sesungguhnya pengucilan mereka sangat berfaedah
bagi orang yang dikucilkan, adapun apabila hal itu dilakukan oleh
sebagian penuntut ilmu terhadap sebagian yang lainnya apalagi bila
disebabkan oleh persoalan yang tidak sepantasnya ada hal pengucilan
dalam persoalan tersebut, hal yang demikian tidak akan membawa faedah
bagi yang dikucilkan sedikitpun, bahkan akan berakibat terjadinya
keberingasan dan pertengkaran serta perpecahan.
Berkata Syeikh Islam Ibnu Taymiyah dalam kumpulan fatwanya
(3/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah:
”Pendapat yang benar adalah apa yang menjadi pegangan para ulama bahwa
sesungguhnya Yazid tersebut tidak dikhususkan kecintaan terhadapnya dan
tidak pula boleh melaknatnya, bersamaan dengan itu sekalipun ia seorang
yang fasik atau seorang yang zholim maka Allah mengampuni dosa seorang
yang fasik dan dosa seorang yang zholim apalagi bila ia memiliki
kebaikan-kebaikan yang cukup besar, sesungguhnya Imam Bukhari telah
meriwayakan dalam shohihnya dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
“Pasukan yang pertama sekali memerangi Al Qasthanthiniyah bagi mereka keampunan.”
Pasukan yang pertama sekali memerangi Al Qasthanthiniyah komandan
mereka adalah Yazid bin Muawiyah dan termasuk bersama pasukan tersebut
Abu Ayub Al Anshory maka yang wajib dalam hal tersebut adalah
pertengahan dan berpaling dari membicarakan Yazid serta tidak menguji
kaum muslim dengannya, karena hal ini adalah termasuk bid’ah yang
menyalahi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ia berkata lagi (3/415): “Dan demikian juga memecah belah antara umat
dan menguji mereka dengan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan Allah
dan RasulNya”.
Dan Ia berkata lagi (20/164): “Tidak seorangpun yang berhak
menentukan untuk umat ini seorang figur yang diseru untuk mengikuti
jalannya, yang menjadi pola ukur dalam menentukan wala’ (berloyalitas)
dan bara’ (memusuhi) selain Nabi , begitu juga tidak seorangpun yang
berhak menentukan suatu perkataan yang menjadi pola ukur dalam
berloyalitas dan memusuhi selain perkataan Allah dan RasulNya serta apa
yang menjadi kesepakatan umat, tetapi perbuatan ini adalah kebiasaan
Ahli bid’ah, mereka menentukan untuk seorang figur atau suatu pendapat
tertentu, melalui itu mereka memecah belah umat, mereka menjadikan
pendapat tersebut atau nisbah (gelaran) tersebut sebagai pola ukur dalam
berloyalitas dan memusuhi.
Ia berkata lagi (28/15-16): “Apabila seorang guru atau ustadz
menyuruh mengucilkan seseorang atau menjatuhkan dan menjauhinya atau
yang seumpamanya seorang murid harus mempertimbangkan terlebih dulu,
jika orang tersebut telah melakukan dosa secara agama ia berhak dihukum
sesuai dengan dosa tampa berlebihan, dan jika ia tidak melakukan dosa
secara agama maka ia tidak boleh dihukum dengan sesuatu apapun karena
berdasarkan keinginan seorang guru atau lainnya.
Tidak selayaknya bagi para guru mengelompokan para manusia dan
menanamkan rasa permusuhan dan kebencian antara mereka, tetapi hendaklah
mereka seperti saling bersaudara yang saling tolong menolong dalam
melakukan kebaikan dan ketaqwaan,sebagaimana firman Allah,
”Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebaikan dan ketaqwaan, dan
janganlah kamu saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan”.
Berkata Al Hafiz Ibnu Rajab dalam mensyarahkan hadits:
“Diantara ciri baiknya Islam seseorang adalah Ia meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi urusannya.”
Dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/288): ‘Hadits ini mengadung
pokok yang amat penting diantara pokok-pokok adab, telah menceritakan
Imam Abu ‘Amru bin Ash Sholah dari Abi Muhammad bin Abi Zeid (salah
seorang imam mazhab malikiyah pada zamannya) bahwa ia berkata: “Kumpulan
berbagai adab dan himpunannya bercabang dari empat hadits; sabda Nabi :
“Barang siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat maka
hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau lebih baik diam.”
Dan sabdanya :
“Diatara ciri baiknya Islam seseorang adalah Ia meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi urusannya.”
Dan sabdanya dalam wasiatnya yang singkat:
“Jangan marah”,
dan sabdanya:
“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”
Aku berkata (penulis) : Alangkah sangat butuhnya para penuntut ilmu
untuk beradab dengan adab-adab ini yang mendatangkan untuk mereka dan
untuk selain mereka kebaikan dan faedah, serta menjauhi sikap kasar dan
kata-kata kasar yang tidak akan membuahkan kecuali permusuhan,
perpecahan, saling benci dan mencerai beraikan persatuan.
5. Kewajiban setiap penuntut ilmu yang mau menasehati dirinya,
hendaklah ia memalingkan perhatiannya dari mengikuti apa yang disebarkan
melalui jaringan internet tentang apa yang dibicarakan oleh
masing-masing pihak yang bertikai, ketika mempergunakan jaringan
internet hendaklah menghadapkan perhatiannya pada webset Syeikh
Abdul’aziz bin Baz dan membaca berbagai karangan dan fatwanya yang
jumlahnya sampai sekarang dua puluh satu jilid, dan fatwa tim komisi
fatwa yang jumlahnya sampai sekarang dua puluh jilid, begitu juga webset
Syeikh Muhammad bin Utsaimin dan membaca buku-buku dan fatwa beliau
yang cukup banyak lagi luas.
Diambil dari : Rifqan Ahlus-Sunnah bi Ahlis-Sunnah, oleh: Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad al-‘Abbad
Dengan Alih Bahasa: Ali Musri Semjan Putra Abu Hasan al-Maidani.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama