Sejarah Nabi Muhammad SAW
BAB IV - DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA KERASULANNYA
Perawakan dan Sifat-sifat Muhammad, Penduduk Mekah Membangun Ka'bah, Putusan Muhammad Tentang Hajar Aswad, Pemikir-pemikir Quraisy dan Paganisma, Putera-puteri Muhammad, Kematian putera-puterinya, Perkawinan Puteri-puterinya, Kecenderungan Muhammad Menyendiri, Menjauhi Dosa ke Gua Hira, Mimpi Hakiki, Wahyu Pertama, Catatan kaki.
Perawakan dan Sifat-sifat Muhammad
Dengan
duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan
perkawinannya itu dengan
Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib1 telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun sangat setia dan hormat kepadanya.
Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib1 telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun sangat setia dan hormat kepadanya.
Paras mukanya manis dan indah, Perawakannya
sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk
kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus.
Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan
bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya
agak ke merah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat: pandangan matanya
tajam, dengan bulu-mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata
dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali,
berleher panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang.
Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan
kakinya yang tebal.
Bila berjalan badannya agak condong
kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan
renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan,
membuat orang patuh kepadanya.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak
heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula
mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri
yang memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya
menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan
dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang
tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan
rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang diberikan
kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang baik dengan Khadijah.
Tetapi semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam
hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala.
Bahkan ia lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya
yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya
bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang
lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia
rnemutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia
mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun
begitu iapun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau,
tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa
sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak
kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat.
Ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya
keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada,
berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan
mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras,
tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian
ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali
pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya
tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang
bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin
dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang
sungguh setia itu.
Penduduk Mekah Membangun Ka'bah
Pergaulan
Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya
dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang
sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa
dan meretakkan dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum
itupun pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak
beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di
dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau bangunannya
diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi beratap, dewa Ka'bah yang
suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang zaman
Jahiliah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda yang
mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan
demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami bencana banjir
tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba
takut-takut dan ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi
sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang
dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang
ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah
Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira
dengan beberapa orang dari Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari
pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke
Mekah guna membantu mereka membangun Ka'bah kembali. Baqum menyetujui
permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang Kopti yang
mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa
diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Ka'bah itu oleh Quraisy dibagi
empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan
dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka
masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid
bin'l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia
berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan3.
Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti
terhadap al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi
apa-apa, merekapun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu
yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
Setelah mereka berusaha membongkar batu
hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya
batu itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu
sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit
berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai. Sesudah bangunan itu
setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang
disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah
perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat
kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya
perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya.
Keluarga Abd'd-Dar dan keluarga 'Adi bersepakat takkan membiarkan
kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini.
Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abd'd-Dar membawa
sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu
guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama
La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan darah.'
Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum,
adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi.
Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
"Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini."
Putusan Muhammad Tentang Hajar Aswad
Tatkala
mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu,
mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya."
Lalu mereka menceritakan peristiwa itu
kepadanya. Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa
berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya:
"Kemarikan sehelai kain," katanya. Setelah kain dibawakan
dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan
tangannya sendiri, kemudian katanya; "Hendaknya setiap ketua kabilah
memegang ujung kain ini."
Mereka bersama-sama membawa kain tersebut
ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu
dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan
itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Quraisy menyelesaikan bangunan Ka'bah
sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari
tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang
orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua
deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik
sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka'bah. Juga di
tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum
dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka'bah
dan memberikan keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan
pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn Ishaq
berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang
pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang jelas cepatnya Quraisy
menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa, disusul
dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain lalu
mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah,
menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa
besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Adanya pertentangan antar-kabilah, adanya
persepakatan La'aqat'd-Dam ('Jilatan Darah'), dan menyerahkan putusan
kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan bahwa
kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy,
Hasyim dan Abd'l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya
pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya
sesudah matinya Abd'l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.
Pemikir-pemikir Quraisy dan Paganisma
Dengan
jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat
buruk terhadap Mekah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam
hati semua orang Arab terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan
itupun membawa akibat secara wajar pula, yakni menambah adanya
kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan
keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang
masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani mereka
lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan hilangnya
pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang
Quraisy sendiri, meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah
masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu.
Sikap mereka ini sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat,
bahwa agama yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga
ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir. Dengan adanya
penyembahan-penyembahan berhala dalam Ka'bah, ini merupakan jaminan
bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan. Dan memang
demikianlah sebenarnya, dibalik kedudukan ini Mekah dapat juga
menikmati kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan
mengubah hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
Ada beberapa keterangan yang menyebutkan,
bahwa pada suatu hari masyarakat Quraisy sedang berkumpul di Nakhla
merayakan berhala 'Uzza; empat orang di antara mereka diam-diam
meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. 'Amr, Usman
bin'l-Huwairith, 'Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa b. Naufal.
Mereka satu sama lain berkata: "Ketahuilah
bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan; mereka dalam kesesatan. Apa
artinya kita mengelilingi batu itu: memdengar tidak, melihat tidak,
merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah korban yang
mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama
lain, bukan ini."
Dari antara mereka itu kemudian Waraqa
menganut agama Nasrani. Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke
dalam bahasa Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya.
Kemudian masuk Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah
menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya - Umm Habiba
bint Abi Sufyan - tetap dalam Islam, sampai kemudian ia menjadi salah
seorang isteri Nabi dan Umm'l-Mu'minin.
Zaid b. 'Amr malah pergi meninggalkan
isteri dan al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian
kembali lagi. Tetapi dia tidak mau menganut salah satu agama, baik
Yahudi atau Nasrani. Juga dia meninggalkan agama masyarakatnya dan
menjauhi berhala. Dialah yang berkata, sambil bersandar ke dinding
Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara bagaimana yang
lebih Kausukai aku menyembahMu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak
mengetahuinya."
Usman bin'l-Huwairith, yang masih
berkerabat dengan Khadijah, pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama
Nasrani. Ia mendapat kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu.
Disebutkan juga, bahwa ia mengharapkan Mekah akan berada di bawah
kekuasaan Rumawi dan dia berambisi ingin menjadi Gubernurnya. Tetapi
penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu Ghassan di
Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah. Tetapi hadiah-hadiah
penduduk Mekah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia mati di
tempat itu karena diracun.
Putera-puteri Muhammad
Selama
bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah
teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan
seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti:
al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta
puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang
al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan
bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan
sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan
bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian juga pada diri
Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
Kematian putera-puterinya
Pada
tiap kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap
sang berhala menanyakannya: kenapa berhalanya itu tidak memberikan
kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan,
sehingga dia mendapat kemalangan, ditimpa kesedihan berulang-ulang!?
Perasaan sedih karena kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga
oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup
terbayang pada isterinya, terlihat setiap ia pulang ke rumah
duduk-duduk di sampingnya
Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga
betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang
membenarkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga
keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan
lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya kesedihan itu,
Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga
ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya kepada Khadijah supaya
dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin
Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia menjadi
pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad merasa sedih
sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan
demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak
perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa sorga berada di
bawah telapak kaki ibu.
Sudah tentu malapetaka yang menimpa
Muhammad dengan kematian kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan
dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya tertuju
pada kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh
Khadijah dilakukan dengan membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam
Ka'bah, menyembelih hewan buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga
yang terakhir4.
Ia ingin menebus bencana kesedihan yang
menimpanya. Akan tetapi, semua kurban-kurban dan penyembelihan itu
tidak berguna sama sekali.
Perkawinan Puteri-puterinya
Terhadap
anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian, dengan
mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu').
Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu'l-'Ash bin'r-Rabi' b.'Abd
Syams - ibunya masih bersaudara dengan Khadijah - seorang pemuda yang
dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia
perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah
datangnya Islam - ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke Medinah -
mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih terperinci nanti.
Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan 'Utba dan 'Utaiba anak-anak
Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah dari suami
mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri
mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman5.
Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu
ternyata tenteram adanya. Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya
itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan bersama Khadijah,
yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda yang bahagia dan
rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila Muhammad membiarkan dirinya
berjalan sesuai dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan
mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta
apa pula yang dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri
mereka itu. Ia berpikir dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya
dialah orang yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat
dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan
menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia, serta mengantarkannya
kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak mungkin
berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah
kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini,
sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima
risalahNya. Begitu besar dan kuatnya kecenderungan rohani yang ada
padanya, ia tidak ingin menjadikan dirinya sebangsa dukun atau ingin
menempatkan diri sebagai ahli pikir seperti dilakukan oleh Waraqa b.
Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya hanyalah kebenaran semata.
Pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia bermenung. Pikiran dan
renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit sekali dinyatakan
kepada orang lain.
Kecenderungan Muhammad Menyendiri
Sudah
menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir
mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian
orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan
bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan.
Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan
tahannuth6.
Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat
tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang
berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan
dalam dinnya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri,
ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar,
ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.
Menjauhi Dosa ke Gua Hira
Di
puncak Gunung Hira, - sejauh dua farsakh7 sebelah utara Mekah
-terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan
tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan
berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya.
Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup
dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran
semata.
Demikian kuatnya ia merenung mencari
hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa
segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam
kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia
mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. Tambah
tidak suka lagi ia akan segala prasangka yang pernah dikejar-kejar
orang.
Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya
itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan
para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan
bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala
panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala
langit yang jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang
sedap dan lembut, atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala
yang ada di balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta
diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakekat
Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri
demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan alam
semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak
memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh
masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang
disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak
membawa kebenaran sama sekali. Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak
menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki, tak dapat memberi
perlindungan kepada siapapun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan 'Uzza,
dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam
dan di sekitar Ka'bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat,
atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu!
Gerangan di mana kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas
dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya?
Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan
cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan,
sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini
hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak!
Bintang-bintang itu tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi
ini juga. Atau barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang
tak terbatas, tak berkesudahan?
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita
alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa
sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita
di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai
ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin bila
dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan atau
keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah
bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian
serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan
diri dan bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan
melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi jiwanya,
memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam
hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu
dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas
padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega
hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.
Dalam melakukan ibadat selama dalam
tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam
hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat
yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut
syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata
menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang
mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu
syariat dan diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih
tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan
dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.
Tahun telah berganti tahun dan kini telah
tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung,
sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh.
Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu
dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan cahaya
kebenaran yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan itu pula
dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam
kemewahan yang tiada berguna.
Ketika itulah ia percaya bahwa
masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian
mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta
kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya.
Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani
tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan
mereka itu masing masing memang benar; tapi masih mengandung
bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak
mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang
sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong,
yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan
Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain
Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha
Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai
berdasarkan perbuatannya. "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat
atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat
atompun akan dilihatNya pula." (Qur'an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu
benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan
selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman
yang paling durhaka.
Mimpi Hakiki
Muhammad
sudah menjelang usia empatpuluh tahun. Pergi ia ke Hira' melakukan
tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah
dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala
kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan
sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran
yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh
jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada
masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia
bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia
berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari
gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke
tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam
perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu? Hal
serupa itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa kuatir
akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan
rasa kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah
dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan jin.
Tetapi isteri yang setia itu dapat
menenteramkan hatinya. Dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak
mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam
pikiran isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah
mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani
sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat,
yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk
membawakan pesan dan risalah yang besar.
Wahyu Pertama
Tatkala
ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang
malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!"
Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca". Ia merasa
seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya
lagi: "Bacalah!" Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad
menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya malaikat itu berkata:
"Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang
mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum
diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya8.
Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan,
sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?!
Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam
sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa yang terjadi dalam gua
itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat
ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah
gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang
menyuruhnya membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu
sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari
sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di
hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana
kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat
Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi
terbuka.
Sinar terang-benderang yang memancar di
hadapannya dan kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu,
ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi
peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menciptakan manusia dan
bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada manusia dengan
pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia memasuki pegunungan itu masih dalam
ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara
memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit.
Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah
yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di
tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia
masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju
ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak
juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian.
Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua
tapi tidak menjumpainya.
Setelah rupa malaikat itu menghilang
Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya.
Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya
Khadijah sambil ia berkata: "Selimuti aku!" Ia segera diselimuti.
Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu
berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin
mendapat kekuatan.
"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian
diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa
kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti
juru nujum saja.
Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth
dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa
kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram ke
dalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam
gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan
dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:
"O putera pamanku9. Bergembiralah, dan
tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah10, aku berharap
kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan
mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan,
jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan
menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan
yang benar."
Muhammad sudah merasa tenang kembali.
Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih.
Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia
tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu
kehidupan rohani yang kuat, yang luar biasa kuatnya. Suatu kellidupan
yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh
pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan
untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan
disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga
sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak
disukai.
Catatan kaki:
[1]
Berdasarkan pada sebagian besar ahli genekologi, bahwa putera-putera
Nabi s.a.w. dari Khadijah dua orang: al-Qasim dan Abdullah, yang diberi
julukan at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga, ada pula
yang mengatakan empat orang.
[2] Mungkin nama ini sudah diarabkan (A)
[3]
Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan nama-nama sudut
utara, ar-Rukn'l-Iraqi (Irak), sudut selatan, ar-Rukn'l-Yamani, sudut
barat, ar-Rukn'l-Syami dan sudut timur, ar-Rukn'l-Aswad (A)
[4]
Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat adalah berhala-berhala sembahan Arab
pagan. Konon kabarnya Hubal berhala terbesar yang tinggal dalam Ka'bah,
dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia.
Keterangan
tentang tuhan-tuhan wanita Lat, 'Uzza dan Manat berbeda-beda mengenai
bentuknya. Katanya Lat dalam bentuk manusia juga, 'Uzza berhala kaum
Thaqif. 'Uzza pada mulanya adalah pohon suci, terletak di antara Mekah
dengan Ta'if. Manat merupakan batu putih, berhala kaum Hudhail dan
Khuza'a. Ketiga-tiganya itu berbentuk wanita. (A)
[5]
Usman b. 'Affan, Khalifah ketiga. Setelah Ruqayya diceraikan oleh
'Utba diambil isteri oleh Usman b. 'Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa
kawin dengan 'Utaiba, lalu diceraikan pula. Sesudah dalam tahun ke-2 H.
Ruqayya wafat, Usman kawin dengan Umm Kulthum. Ia meninggal dalam tahun
ke-9 H. di Medinah (A).
[6]
Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar dengan hanif, yang
berarti 'cenderung kepada kebenaran' 'meninggalkan berhala dan
beribadat kepada Allah' (LA) atau sebaliknya dari perbuatan syirik.
(Bandingkan Qur'an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha,
beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada Tuhan' (N).
'Beribadat dan menjauhi berhala, seperti tahannatha (LA). Dalam
terjemahan selanjutnya kedua kata ini tidak diterjemahkan (A).
[7] Bahasa Persia, parsang, ukuran panjang dahulu kala, kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km. (A).
[8]
Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula menceritakan. Ibn Ishaq juga
ke sana dasarnya. Demikian juga yang datang kemudian banyak yang
menceritakan begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa
permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di waktu siang,
dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui Jibril yang menenteramkan
hati Muhammad ketika dilihatnya dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam
Tarikh-nya menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na'im
al-Ashbahani dalam bukunya Dala'il'n-Nubawa dari 'Alqama bin Qais,
bahwa "Yang mula-mula didatangkan kepada para nabi itu mereka dalam
keadaan tidur (dengan maksud) supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu
kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: "Ini yang dikatakan 'Alqama ibn
Qais sendiri, suatu keterangan yang baik, diperkuat oleh yang datang
sebelum dan sesudahnya."
[9] Suatu
kebiasaan orang Arab memanggil orang yang dianggap seturunan. Muhammad
dan Khadijah dari nenek moyang yang sama, yakni Qushayy (A).
[10] Suatu pernyataan sumpah yang biasa diucapkan pada masa itu, maksudnya "Demi Allah" (A)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama