Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.
Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء
“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)
Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah
hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan
mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.
Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami
sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak
tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan
sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para
pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi
kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.
Hadits 1
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli
medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif
ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah
tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan
pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual
ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai
ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya,
seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya,
atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah.
Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan
setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa
dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan
bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal
kebaikan, bukan bermalas-malasan.
Hadits 3
يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل
الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان
كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما
سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد
فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من
النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول
الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر
صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه
الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه
مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di
dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah
menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan
menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa
pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia
seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain.
Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan
70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran,
sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan
tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa
pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang
berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan
memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi
pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat
berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk
diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang
memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air
atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat,
pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api
neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah,
seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan
bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya
sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja.
Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap
amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana
amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala
ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar
berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar,
sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan
berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Hadits 4
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.
Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas
rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha
Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata
lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali
Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”
Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(’Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.
Hadits 5
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan
Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan
dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.
Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil
Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa
“Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus
bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.”
(Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
Hadits 6
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu.
Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi
dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana
pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’
tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Hadits 7
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa
puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri,
keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah
syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia
mendapat dosa tersendiri.
Hadits 8
رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334), dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
Hadits 9
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan
minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan
Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan
mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan
hadits:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang
lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa
sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)
Hadits 10
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang
besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau
bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.
Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan,
yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan
lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun
ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun
perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang
paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah
yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya,
makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di
jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang
terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa
nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
Hadits 11
قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك
“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata:
Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu
minna wa minka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya
ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu
Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah
Anda)”
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 12
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu:
berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan
bersumpah palsu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya,
serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.”
(HR. Bukhari, no.6057)
Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang
teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan
rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah
di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama