Beberapa
waktu yang lalu, di Afrika Selatan hidup seorang petani yang memiliki
sebidang tanah pertanian. Pada awalnya, lahan tersebut sangat produktif
dan menghasilkan.
Namun, karena sifat dasar manusia mudah tergiur untuk mendapatkan
kekayaan lebih banyak secara instant, ia pun mulai berpaling. Suatu
hari, tersiar kabar bahwa beberapa puluh kilometer dari tempat
tinggalnya ditemukan harta karun berupa bijih emas.
Masyarakat di daerah tersebut berbondong-bondong memburu daerah
tersebut, termasuk sang petani. Bijih emas tersebut memang ada, namun
tidak banyak. Hal ini cukup membuat sang petani dan beberapa kelompok
masyakarat di sana penasaran.
Mengingat perjalanan untuk memuburu harta karun membutuhkan biaya
maka sang petani memutuskan untuk menjual ladangnya kepada orang lain.
Biaya hasil penjualan ladangnya tersebut digunakan untuk hidup di area
penambang bijih emas.
Setelah sekian lama mencoba mendulang emas, ternyata tidak
menghasilkan apa-apa. Bijih emas yang pernah diperolehnya adalah emas
muda dan itu pun tidak seberapa. Sang petani mulai kecewa dan putus asa.
Tabungan hasil penjualan ladangnya semakin hari semakin menipis. Pada
suatu hari, dalam keadaan putus asa, ia “linglung” dan terjatuh ke
sungai yang arusnya deras hingga mati tenggelam.
Sementara itu, orang yang membeli ladang
si petani awalnya tidak terlalu serius untuk menggarap ladang yang telah
dibelinya. Ia berpikir untuk investasi masa depan saja. Hingga pada
suatu hari, ketika sedang membersihkan ladang yang baru dibelinya
tersebut, ia menemukan sebuah batu yang berkilat-kilat. Penemuan ini
membuat tanda tanya besar baginya,
“Batu apakah ini? Mungkinkah berlian?”
Potongan batu tersebut kemudian dibawa ke tukang perhiasan di kota.
Hasil analisis tukang perhiasan tersebut membuat ia tercengang tak
percaya. Batu berkilat itu ternyata berlian dengan mutu tinggi. Secara
diam-diam, ia mengumpulkan batu-batu yang ada di ladangnya dengan
sedikit menggali dan menemukan berlian-berlian yang sangat banyak.
Dalam waktu singkat, sang pembeli ladang petani tersebut menjadi kaya
raya dan memiliki ratusan potongan berlian bermutu tinggi. Si petani
yang menjual ladangnya tidak menyadari bahwa selama ini ia telah “tidur dan bekerja” di atas tanah yang banyak berliannya.
Salah satu sifat dasar manusia adalah tidak pernah puas dan tidak
pernah merasa cukup. Semakin rendah kadar spriritualnya, semakin tinggi
pula rasa ketidakcukupannya.
Orang yang memiliki kadar spriritual yang rendah, akan memiliki
kehausan yang sangat tinggi untuk mengumpulkan harta di dunia ini; di
mana hartanya berada, biasanya di situ pula hatinya terpaut dan berada.
Rasa tidak puas dan selalu merasa tidak cukup, apalagi didorong oleh
keinginan yang kuat dalam mendapatkan sesuatu secara instant, terkadang
membuat tindakan yang dilakukan tidak melalui pertimbangan moral kuat.
Semua perlu proses yang konsisten dengan memperhatikan aspek moral,
dalam upaya untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit harta, baik harta
kekayaan itu dgunakan untuk kebahagiaan keluarga maupun untuk berbagi
dengan sesama.
Melakukan investasi untuk masa depan tidaklah salah. Tidak ada satu
kitab suci pun yang melarang orang untuk menjadi kaya. Justru bagaimana
cara yang benar dalam memperoleh kekayaan itu harus dijadikan fokus
utama.
Jika kita memeroleh kekayaan dengan cara-cara yang tidak benar, pada
akhirnya akan habis juga dengan cara bagaimana kita memerolehnya.
Setelah memilikinya, lebih baik kita berbagi dan memberikan kesempatan
pada orang lain untuk bersukacita bersama atas apa yang kita miliki.
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan” …. (Qs. Al-Baqarah: 110)
Semoga menjadikan cerminan diri kita
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama