Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di bulan Sya'ban ini kita dapat melihat bahwa kaum muslimin sangat
antusias dengan hari atau malam nishfu sya'ban (15 Sya'ban). Benarkah
ada amalan tertentu ketika itu? Apakah ada tuntunan puasa, shalat atau
do'a ketika itu? Semoga tulisan ini bisa menjawabnya.
Malam Nishfu Sya’ban, Malam Diturunkannya Al Qur’an
Di antara kaum muslimin ada yang menganggap bahwa malam Nishfu
Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah malam yang istimewa. Di
antara keyakinan mereka adalah bahwa malam tersebut adalah malam
diturunkannya Al Qur’an. Sandaran mereka adalah perkataan ‘Ikrimah
tatkala beliau menjelaskan maksud firman Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 3-4)
Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam
lailatul qadar, menurut mayoritas ulama. Sedangkan ‘Ikrimah –semoga
Allah merahmati beliau- memiliki pendapat yang lain. Beliau berpendapat
bahwa malam tersebut adalah malam nishfu sya’ban. (Zaadul Maysir, 5/346)
Namun pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu turun pada malam nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena pendapat tersebut telah menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat Ad Dukhan) itu masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,
Namun pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu turun pada malam nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena pendapat tersebut telah menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat Ad Dukhan) itu masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an.” (QS. Al Baqarah:185). Dan dijelaskan pula dengan firman Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada Lailatul Qadr.” (QS. Al Qadr:1)
Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Klaim yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah (pada surat Ad Dukhan ayat 3-4) adalah malam Nishfu Sya’ban –sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan lain-lain-, tidak diragukan lagi bahwasanya itu adalah klaim yang jelas keliru yang menyelisihi dalil tegas dari Al Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa saja yang menyelisihi al haq (kebenaran) itulah kebatilan. Sedangkan berbagai hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan malam tersebut adalah malam nishfu Sya’ban, itu jelas-jelas telah menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas dan hadits tersebut sungguh tidak berdasar. Begitu pula sanad dari hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul ‘Arobi dan para peneliti hadits lainnya. Sungguh sangat mengherankan, ada seorang muslim yang menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas, padahal dia sendiri tidak memiliki sandaran dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits yang shahih.” (Adhwaul Bayan, 1552)
Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a
Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan
atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid.
Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita
Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di
masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca
berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang.
Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan
berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak
ada tuntunannya (baca: bid’ah).
Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan
shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan
dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama
tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah
‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah,
dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang
tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut.
Pertama, tidak
ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam nishfu
Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun
yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.
Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’
negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).
Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah
(komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah
bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu
Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan
sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada
malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu
(maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’, 20).
Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa
diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau
pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang
menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang
bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)
Kedua, ulama
yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam nishfu sya’ban dan
menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut,
sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika
sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil
untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu
Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan,
“Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil
untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)
Ketiga, adapun
orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang
menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya
mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal
ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari
alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang
harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah
tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)
Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى
وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk
shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk
berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144)
Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu
malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena
malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at
adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits
dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR.
Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar
jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat
tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama
untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada
suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam nishfu
sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj
boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya, tentu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk kepada kita
umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri merayakannya. Jika
memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum
akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak mungkin
para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah, para sahabat adalah
sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam
penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari
bulan Rajab dan keutamaan malam nishfu sya’ban. Oleh karena itu,
menjadikan hari tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada
tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini.
Apakah shalat Alfiyah adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam nishfu sya’ban?
Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada
malam nishfu sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Ibnu Abil
Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki
bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam nishfu sya’ban dia
melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di
belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang
bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya
bertambah banyak. Ketika dating tahun berikutnya, semakin banyak yang
shalat bersamanya pada malam nishfu sya’ban. Kemudian amalan yang dia
lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin,
sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)
Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti
1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut
dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah
100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10
kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh
karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.
Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala
mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana
yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan
Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan
keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut
adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah
majhul (tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang
lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin
sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama