10 Faedah tentang Ikhtilaf

PENGERTIAN DAN 10 FAEDAH TENTANG IKHTILAF


A. PENGERTIAN IKHTILAF

Ikhtilaf adalah lawan dari ittifaq / kesepakatan.
Dalam kamus Lisanul Arab : Ikhtalafa al-amr in lam yattafiqa – sesuatu disebut ikhtilaf ketika belum bisa bersatu/bersepakat. Setiap yang tidak sama bisa juga disebut dengan ikhtilaf (perbedaan).

Sedangkan khilaf mempunyai makna lain, yaitu : berlawanan / berkebalikan, artinya lebih khusus dari sekedar berbeda.
Ikhtilaf bagi para ulama juga dimaknai sebagaimana asal katanya, yaitu perbedaan. Sebagian ulama membedakan antara ikhtilaf dan khilaf dengan perincian yang lebih khusus.

B. HAKEKAT IKHTILAF

Sebuah perbedaan, apapun bentuknya ; dari perbedaan warna kulit, bahasa, hingga perbedaan aqidah atau keyakinan sekalipun, semua itu adalah sunnah kauniyah yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT atas makhluknya.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka” (QS Huud 118-119)
Namun, perbedaan sebagai sebuah sunnah kauniyah bukan berarti kita tidak diperintahkan untuk berusaha menghindarinya. Ini sebagaimana ada pada kekufuran dan maksiat, yang tidak akan menimpa seseorang kecuali atas takdir Allah SWT.
Meski demikian kita semua diperintahkan untuk menghindarinya, karena pada dua hal itu tetap saja mengandung unsur kehendak (irodah) dan pilihan manusia (al-ikhtiyar). Bahkan secara umum, para ulama menyatakan bahwa manusia wajib berusaha menghindari sunnah kauniyah yang bersifat buruk (seperti maksiat atau kekufuran).

C. PEMBAGIAN IKHTILAF

Al-Ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu terpuji (mahmud) dan tercela. (madzmum). Ikhtilaf disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi syarat dan adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru.
Dari Amr bin Ash Rasulullah SAW bersabda :
“Jika seorang hakim menghukumi (suatu urusan) kemudian dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihadi kemudian salah, maka baginya satu pahala ” … (HR Bukhori dan Muslim)
Ikhtilaf yang terpuji ini sebagaimana perbedaan yang ada di antara para shahabat dalam masalah fiqh yang cabang. Contoh : hak waris antara kakek dan saudara, jatuhnya talak tiga dalam satu majlis, beberapa masalah riba, dst. Begitu pula perbedaan yang ada di antara imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fikih. Maka perbedaan yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Adapun bentuk ikhtilaf yang tercela, adalah hasil ijtihad yang keliru karena bukan berlandaskan pada kebenaran, tetapi permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya. Maka kemudian mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya sudah final.
Atau bahkan membuat dalil-dalil baru palsu untuk menguatkan pendapatnya. Ikhtilaf dalam bentuk yang tercela adalah sebagaimana ikhtilaf yang muncul dari faham-faham tertentu seperti : Syiakh, khowariz, mu’tazilah dan sebagainya. Inilah bentuk ikhtilaf yang diisyaratkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda :
“Dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja yaitu al-jamaah “ … ( HR Ibnu Majah)

D. SEBAB –SEBAB IKHTILAF YANG TERCELA

Ikhtilaf yang tercela disebabkan oleh banyak hal, antara lain :
1.    Al-Baghi ( Pembangkangan)
Ini adalah sebab paling banyak dari ikhtilaf yang tercela, dimana sejarah islam banyak mencatat perbedaan-perbedaan yang berasal dari pembangkangan, dan pembelaan kepentingannya. Seperti : Khowarij, Syiah Rofidhoh dan seterusnya.
2.    Al-Ghurur Bi an-Nafsi ( Tertipu oleh dirinya sendiri)
Adalah merasa takjub dengan pendapatnya sendiri, merasa sombong dan meremehkan pendapat orang lain. Maka ia tetap pada pendapatnya sendiri meskipun jelas keliru, tanpa mau mendengarkan pendapat dan pertimbangan dari pihak lain.
3.    Berburuk sangka pada yang lain (suudzhan bil akhorin )
Yaitu melihat kepada yang lain dengan cara pandang negatif, menuduh pemahaman orang lain cacat, amal-amal orang lain salah, tujuan-tujuan orang lain adalah buruk. Maka mereka ini senantiasa menuduh dan menjelek-jelekkan orang lain, baik dengan perkataan dan juga dengan perbuatan.
4.    Suka tebar pesona dan berdebat ( Hubbu adzdzuhur wal jidal)
Yang senantiasa menjadi sebab sifat ini adalah dorongan hawa nafsu semata. Maka ia berbeda pendapat hanya karena menginginkan popularitas, pengakuan dan penghargaan dari yang lainnya. Begitu pula mereka berbeda pendapat karena memang menyukai perdebatan panjang, pada hal-hal yang semestinya tidak prioritas.
5.    Fanatik dengan pendapat seseorang atau madzhab tertentu
Ini ada sejak jaman dulu hingga kini. Bahkan hingga mengorbankan nyawa atau darah sekalipun. Ibnu Taimiyah mengatakan : ” Barang siapa yang bertaashob kepada salah satu dari para imam madzhab tanpa yang lainnya, maka ia bagaikan bertaashob pada salah seorang sahabat tanpa yang lainnya”. Contoh dalam masalah ini seperti Syiah dengan fanatisme terhadap para imamnya.
6.    Faktor-faktor dari luar
Para musuh-musuh Islam dari Yahudi dan Nasrani sangat mengetahui persis bahwa kekuatan umat Islam adalah pada persatuannya. Maka langkah pertama yang ia ambil dalam rangka menguasai negri muslim adalah dengan memecah belah kaum muslimin di daerah tersebut. Maka merekapun mempelajari hal-hal dalam ajaran Islam yang bisa djadikan sebab perpecahan, kemudian menambah-nambahi, menghias, memperbesar dan memperuncing perbedaan yang semestinya sederhana dan wajar.

D. SEBAB PERBEDAAN DALAM FIKH

Perbedaan dalam fikh yang cabang termasuk dalam perbedaan yang terpuji, dan hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya sebagai berikut :
1.    Perbedaan pada kecenderungan dan tabiat manusia, serta tingkat pemahaman akal yang berbeda.
Ibnul Qayyim mengatakan :
“Terjadinya perbedaan diantara manusia adalah hal yang sangat pantas dan harus terjadi, karena mereka juga berbeda keinginan, pemahaman dan kekuatan logikanya “
Contoh riilnya apa yang terjadi pada Sahabat Umar ra dan Abu Bakar pada kebijakan tawanan perang Badr. Umar yang cenderung keras dan tegas berpendapat untuk membunuh tawanan perang tersebut, sedang Abu Bakar yang dikenal dengan kelembutannya cenderung membolehkan tawanan tersebut dibebaskan dengan tebusan.
Termasuk dalam pembahasan ini adalah perbedaan yang mungkin terjadi karena lupa (nisyan). Dalam sejarah az-Zubair pernah diingatkan Ali pada sabda Rasulullah SAW yang berpesan untuk tidak memusuhi Ali. Maka setelah itu Zubair pun teringat dan mundur dari peperangannya melawan kubu Ali ra.
2.    Perbedaan manusia dalam Ilmu dan pengetahuan
Secara umum bisa digambarkan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena satu dari tiga hal. Pertama, perbedaan penilaian kuat lemahnya sebuah hadits. Kedua, perbedaan makna atas sebuah lafadz dalam hadits, dan yang ketiga : Perbedaan menilai apakah hadits tersebut masih berlaku atau sudah dihapus.
Secara khusus perbedaan tersebut terjadi karena hal-hal seperti dibawah ini :
1.    Perbedaan karena tidak sampainya dalil (nash) pada salah satu pihak
Ada kalanya ada sebuah nash yang tidak sampai pada salah satu pihak, maka ia beramal dengan dalil lain, baik berupa dhohir ayat, hadits maupun qiyas dan istishhab. Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Sebab ini adalah yang paling banyak menjadikan perbedaan diantara para salaf, karena menguasai seluruh hadits Nabi SAW itu tidak akan dapat dilakukan oleh seorangpun dari umat ini “
Contoh riilnya adalah Abu Bakar ra yang sempat menghukumi bahwa tidak ada jatah warisan bagi nenek, kemudian setelah mendapat hadits lain dari Mughiroh maka kemudian ia menetapkan jatah seperenam bagi nenek dalam masalah warisan.
2.    Perbedaan karena salah satu pihak tidak mengetahui bahwa dalil yang diyakininya telah dihapus / (mansukh) dengan dalil lain. Contoh yang paling jelas dalam masalah ini adalah tentang nikah mut’ah , riba nisa’ dan juga akad muzaro’ah dan sejenisnya.
3.    Perbedaan dalam menilai kuat tidaknya suatu hadits. Maka yang menganggap kuat akan beramal dengannya, sementara yang menganggap lemah akan beramal dengan hadits lain yang berbeda maknanya.
Contoh dalam masalah ini banyak tersebar dalam kitab fikh.
4.    Perbedaan dalam memahami lafadz sebuah dalil.
Sebagian besar perbedaan yang ada terjadi karena dua sebab utama. Pertama, karena memang ada lafadz yang dianggap asing (gharib) sehingga pemaknaannya pun berbeda. Seperti : Muzabanah, Muhaqolah dan Munabadzah dalam fiqh muamalat.
Atau Kedua, karena satu pihak memaknai secara mutlak (hakekatnya) dan ada yang memaknainya secara kias (majazi). Contoh dalam masalah ini , kata ‘al-lams’ yang membatalkan wudhu. Ada yang mengartikan hakikatnya yaitu menyentuh (kulit) sudah membatalkan.
Ada pula yang mengkiaskan dengan bersetubuh (jimak), sehingga menyentuh tidak membatalkan. Begitu pula dalam masalah penetapan awal ramadhan dengan rukyah. Lafadz rukyah dalam hadits ada yang diartikan melihat dengan mata kepala, dan ada yang memaknai melihat dengan banyak cara, seperti hisab.
5.    Perbedaan dalam menentukan posisi / kedudukan makna sebuah dalil. Yaitu berbeda dalam masalah lafadz ‘aam (umum ) atau khos (khusus), mutlak atau taqyiid (terikat) dst. Contoh seperti larangan dalam isbal (memanjangkan celana hingga melebihi mata kaki ), ada yang menyatakan mutlak : bahwa adalah haram jika celana melebihi mata kaki, dan ada pula yang mensyaratkan keharaman isbal jika diikuti dengan perasaan sombong.
6.    Salah satu pihak meyakini ada dalil lain yang maknanya berlawanan dengan makna dalil yang diyakini pihak lain. Sebagaimana perbedaan yang terjadi antara Umar bin Khatab dan Aisyah ra. Umar ra meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
” Sesungguhnya mayit itu sungguh akan disiksa dengan tangisan keluarganya terhadapnya “
Maka Aisyah ra mengingkari pendapat tersebut, karena berlawanan dengan dalil yang lebih kuat yaitu ayat Al-Quran, dimana Allah berfirman :
“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”… (QS al-An’am 164 )

E. ADAB DALAM IKHTILAF

1.    Menyadari bahwa perbedaan dalam hal furu’ adalah sesuatu yang dharurah dan rahmat.
2.    Mengikuti manhaj moderat / pertengahan dan menghindari berlebih-lebihan dalam agama
3.    Fokus pada hal-hal yang muhkamat (jelas) dari hal yang mutasyabihat.(masih rancu)
4.    Menghindari pengingkaran dan penetapan final dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang masih debatable.
5.    Pentingnya membaca perbedaan di antara ulama
6.    Penentuan dan pembatasan dalam pemahaman dan istilah.
7.    Menyibukkan diri dengan agenda umat yang lebih besar dan prioritas
8.    Saling bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati

10 FAEDAH TENTANG IKHTILAF

 1. BEDAKAN MASALAH KHILAFIYYAH DAN IJTIHADIYYAH

Slogan “Tidak boleh inkarul munkar atau saling menyalahkan dalam masalah khilafiyyah” secara mutlak adalah slogan yang tidak tepat karena masalah yang diperselisihkan atau khilafiyyah itu ada dua macam:
Pertama: Masalah khilafiyyah yang terdapat dalil dari al-Qur’an dan Sunnah atau ijma’ yang menunjukkan benarnya salah satu pendapat yang ada. Dalam kondisi ini kita wajib mengikuti dalil dan mengingkari orang yang mengambil pendapat selainnya, dengan tetap memaklumi (semacam memberi udzur, -ed) ulama mujtahid yang mengambil pendapat yang salah.
Kedua: Masalah khilafiyyah (perbedaan) yang tidak terdapat di dalamnya dalil tegas dari al-Qur’an dan Sunnah ataupun ijma’. Masalah semacam ini disebut masalah ijtihadiyyah, karena tiap-tiap ulama yang berselisih itu beramal atau berfatwa berdasarkan hasil ijtihadnya. Nah, dalam masalah semacam ini tidak boleh ada inkarul munkar atau saling menyalahkan.
Tidak sepatutnya dalam kondisi ini ada pihak-pihak yang memaksakan pendapatnya kepada pihak lain karena semua pihak yang ada tidak menyelisihi dalil atau ijma’, hanya menyelisihi ijtihad sebagian ulama yang berijtihad.
(Lihat Bayan ad-Dalil ‘ala Buthlani at-Tahlil karya Ibnu Taimiyyah, tahqiq dan takhrij Hamdi Abdul Majid as-Salafi hlm. 145-146, terbitan al-Maktab al-Islami Beirut, cetakan pertama 1988; I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Robbil ‘Alamin karya Ibnul Qoyyim, tahqiq Masyhur bin Hasan ali Salman 5/242-243, terbitan Dar Ibnul Jauzi Damam KSA, cetakan pertama 1423 H; dan ad-Duror as-Saniyyah fil Ajwibah an-Najdiyyah 4/8-9, cetakan pertama 1414 H)

2. KONSEKUENSI DARI MASALAH IJTIHADIYYAH

Ketika menjelaskan Masa’il Jahiliyyah (perilaku orang-orang jahiliah) yang kedua, Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah mengatakan:
“Jika penduduk suatu negeri itu menganut salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang masuk dalam ranah ijtihad, itulah pendapat-pendapat yang tidak tampak secara jelas kebenaran salah satu pendapat, mereka bersatu untuk mengamalkan salah satu pendapat fiqih yang bersifat sebagaimana di atas, maka tidak boleh bagi siapa pun untuk memecah belah persatuan ini, bahkan sepatutnya menjaga kebersamaan dan tidak menimbulkan perselisihan.”
(Syarh Masa’il Jahiliyyah hlm. 46, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama 1421 H)

3. DUA JENIS PERBEDAAN PENDAPAT

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan p boleh). Perbendapat itu ada dua macam. Yang pertama adalah perbedaan pendapat yang hukumnya haram. Sedangkan macam yang kedua tidaklah kukatakan hukumnya haram (baca:edaan pendapat seperti apa yang hukumnya haram?
Jawabannya, semua perkara yang telah Allah jelaskan secara gamblang hukum perkara tersebut baik dalam al-Qur’an maupun melalui lisan Nabi-Nya, maka tidaklah halal bagi semua orang yang telah mengetahui dalil tersebut untuk berbeda pendapat tentangnya.
Sedangkan perbedaan pendapat jenis kedua adalah semua masalah yang memang multi sudut pandang atau hukumnya mungkin untuk diketahui dengan menggunakan qiyas. Oleh karena itu, ada yang menyimpulkan hukum berdasarkan makna yang memang sangat mungkin dimuat oleh dalil atau ada yang membuat kesimpulan hukum berdasarkan qiyas meski hasil hukumnya berbeda dengan yang lain. Menurutku, orang tersebut tidak perlu disudutkan sebagaimana orang yang menyelisihi dalil tegas disudutkan.”
(ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir hlm. 536-537, terbitan Maktabah Dar at-Turots kairo, cetakan ketiga 1426 H)

4. DUA JENIS PERBEDAAN PENDAPAT DALAM AL-QUR’AN

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan pendapat sebagaimana yang Alloh sebutkan dalam al-Qur’an itu ada dua jenis. Yang pertama, perbedaan pendapat di antara dua belah pihak dan keduanya tercela.”
Lalu beliau contohkan dengan beberapa ayat dalam al-Qur’an semisal QS. al-Baqoroh [2]:186, Ali Imron [3]:19, dan al-Mu’minun [23]: 53.
Kemudian beliau menyebutkan bahwa perbedaan pendapat jenis pertama ini disebutkan dua hal:
  • (1) kezholiman, dan
  • (2) kebodohan.
Kemudian beliau mengatakan:  “Kebodohan dan kezholiman adalah akar dari semua bentuk kejelekan.”
Selanjutnya, beliau mengatakan:
“Mayoritas perselisihan yang berujung dengan munculnya berbagai kelompok ahli bid’ah itu termasuk dalam perselisihan jenis pertama. Demikian pula, perselisihan yang berujung pada pertumpahan darah, perampasan harta, permusuhan, dan kebencian. Salah satu kelompok tidak mau mengakui kebenaran yang ada pada kelompok yang lain dan tidak mau bersikap adil kepada kelompok lain. Bahkan kebenaran yang ada pada satu kelompok itu bercampur dengan berbagai kebatilan. Demikian pula kondisi kelompok yang kedua.”
(Iqtidho’ ash-Shiroth al-Mustakim li Mukholafati Ashhab al-Jahim, tahqiq Dr. Nashir al-‘Aql 1/146-156)

5. PERBEDAAN VARIATIF DAN PERBEDAAN KONTRADIKTIF

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa perbedaan pendapat itu ada dua macam:
Pertama, perbedaan variatif (tanawwu’). Perbedaan jenis ini memiliki beberapa bentuk:
Dua-duanya disyariatkan, semisal perbedaan dalam cara baca (qiro’ah) al-Qur’an, perbedaan redaksi adzan, iqomah, do’a iftitah, bacaan tasyahud, tata cara shalat khouf, bilangan takbir dalam shalat ‘id atau dalam shalat jenazah.
Perbedaan ungkapan dengan muatan makna yang sama, semisal perbedaan di antara ulama dalam mendefinisikan berbagai istilah.
Makna berbeda namun tidak bertolak belakang; yang pertama benar, yang kedua tidak salah. Di antara contohnya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar melaksanakan shalat di perkampungan Bani Quroizhoh.
Dua hal yang keduanya dibenarkan dalam syari’at lalu ada satu pihak memilih satu hal dan pihak kedua memilih hal yang lain. Semisal ada pesantren yang menekankan penguasaan terhadap ilmu-ilmu keislaman dan pesantren yang menitikberatkan pada hafalan al-Qur’an.
Kedua, perbedaan kontradiktif. Itulah dua pendapat yang saling bertolak belakang, boleh jadi dalam masalah aqidah ataupun dalam masalah fiqih. Dalam masalah aqidah, semisal dua kelompok yang saling menyesatkan kelompok yang lain. Dalam masalah fiqih, semisal satu perbuatan yang diwajibkan oleh satu pihak namun diharamkan oleh pihak yang lain.
(Lihat Iqtidho’ karya Ibnu Taimiyyah tahqiq Dr. Nashir al-‘Aql 1/149-151, cetakan ketujuh 1419 H diterbitkan oleh Depag KSA)

6. MADZHAB ZHOHIRI

Syaikh Abdul Aziz ar-Rois rahimahullah mengatakan:
“Di antara perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di jilid kelima dari Minhajus Sunnah adalah: ‘Semua pendapat yang hanya dikatakan oleh madzhab Zhohiri adalah pendapat yang salah.’ Hal ini dikarenakan jika ada suatu pendapat yang hanya dikatakan oleh Zhohiri maka pendapat mereka adalah pendapat yang baru karena kemunculan zhohiriyyah itu belakangan. Penjelasan semacam ini telah diisyaratkan oleh Ibnu Rojab dalam syarh beliau untuk Shahih al-Bukhari.”
(Syarh Dalil ath-Thalib oleh Syaikh Abdul Aziz bin Rois ar-Rois, Muqoddimah fi Dirosah al-Fiqh hlm. 12, bisa didownload di situs resmi beliau)

7. BEDA PENDAPAT KARENA TAKUT KEHILANGAN PENDAPATAN

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan:
“Sesungguhnya umat ini tidaklah berselisih gara-gara Robbnya, nabi, ataupun kitab sucinya. Mereka hanya berselisih gara-gara dinar dan dirham (baca: uang).”
(Shifah ash-Shofwah, karya Ibnul Jauzi, tahqiq Mahmud Fakhuri dan Muhammad Rowwas Qol’aji 2/115, terbitan Darul ma’rifah Beirut, cetakan ketiga 1405 H)

8. PERBEDAAN UMATKU ADALAH RAHMAT ?!

Abu Hamid al-Ghozali mengatakan:
“Keteraturan dunia itu jika semua penduduk dunia saling bekerja sama dan masing-masing kelompok manusia melakukan apa yang menjadi profesinya. Andai semua manusia hanya melakukan satu profesi saja dan tidak ada yang menjalani profesi yang lain, niscaya penduduk dunia akan binasa. Oleh karena itu, sebagian manusia menafsirkan hadits Nabi “
Perbedaan umatku adalah rahmat”[1] artinya perbedaan bakat umatku dalam industri dan profesi.’ (Ihya’ Ulumuddin karya Abu Hamid al-Ghozali 2/83, Darul Ma’rifah Beirut)

9. AHLUS SUNNAH MENJAUHI KHILAF

Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah mengatakan:
“Dan kami –yaitu Ahli Sunnah- menjauhi kenyelenèhan, khilaf, dan perpecahan.”
Al-Albani rahimahullah mengatakan:
“Artinya nyelenèh dalam artian menyimpang dari Sunnah dan khilaf dalam pengertian menyelisihi al-jama’ah yang sama dengan salaf.”
(al-Aqidah ath-Thahawiyyah Syarhun wa Ta’liqun karya al-Albani hlm. 80, terbitan al-Ma’arif Riyadh, cetakan pertama 1422 H).
Jadi, di antara karakter Ahli Sunnah adalah menjauhi khilaf dalam pengertian menyelisihi ijma’ salaf.

10. MENINGGALKAN NAHI MUNKAR PENYEBAB PERSELISIHAN

“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang besar. (QS.3 Ali Imron : 104-105)
Setelah ayat yang menunjukkan wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, Allah lanjutkan dengan larangan berselisih dan berpecah-belah. Apa hikmah di balik dihubungkannya dua ayat di atas?
Ibnu ‘Asyur mengatakan:
“Dalam dua ayat di atas terdapat isyarat bahwa meninggalkan amar ma’ruf adalah penyebab terjadinya perpecahan dan perselisihan. Karena dengan hilangnya amar ma’ruf nahi munkar, banyak mucul sengketa dan berbagai bentuk godaan setan. Dengannya umat akan terpecah belah sejadi-jadinya.”
(at-Tahrir wat Tanwir karya Muhammad ath-Thahir Ibnu ‘Asyur 4/42, terbitan Dar Sahnun Tunisia, 1997)

[1] Hadits ini tidak shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kembali majalah AL FURQON edisi 9 tahun ke-8 dalam rubrik hadits.

SEMOGA BERMANFA’AT – ALHAMDULILLAH

Share on Google Plus

About Admin

Khazanahislamku.blogspot.com adalah situs yang menyebarkan pengetahuan dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikutnya.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment


Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com

Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama