Sebagai seorang khalifah, hidup sahabat Nabi yang
dikenal juga dengan Abu Hafsh ini, benar-benar diabdikan untuk mencapai
ridha Ilahi. Ia berjuang demi kepentingan rakyat, benar-benar
memerhatikan kesejahteraan mereka. Di malam hari, ia sering melakukan
investigasi untuk mengetahui keadaan rakyat jelata yang sebenarnya.
Suatu malam, ia menemukan sebuah gubuk kecil. Dari dalam samar-samar terdengar suara tangis anak-anak. Umar mendekat dan memerhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Ia dapat meliht seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya. Ibu itu kelihatan sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya menangis, sang ibu berkata, “Tunggulah, sebentar lagi makanannya akan matang!”
Selagi Umar memerhatikan dari luar, sang ibu terus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan tak lama lagi akan matang. Umar penasaran. Setelah memberi salam dan meminta izin, ia msauk dan bertanya, “Mengapa anak-anak Ibu tak berhenti menangis?”
“Mereka kelaparan!” jawab sang ibu.
“Mengapa Ibu tak berikan makanan yang sedang Ibu masak sedari tadi?”
“Tak ada makanan. Periuk yang sedari tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan anak-anak. Biarlah mereka berpikir bahwa periuk itu berisi makanan. Mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur.”
“Apakah Ibu sering berbuat begini?” tanya Umar ingin tahu.
“Ya. Saya tidak memiliki keluarga dan suami tempat saya bergantung. Saya sebatangkara,” jawab si ibu dengan nada datar, berusaha menyembunyikan kepedihan hidupnya.
“Mengapa Ibu tidak meminta pertolongan kepada khalifah?” Mungkin ia dapat menolong Ibu dan anak-anak dengan memberikan uang dari Baitul Mal? Itu akan sangat membantu kehidupan Ibu dan anak-anak,” kata Umar menasihati.
“Khalifah telah berbuat zalim kepada saya…” jawab ibu itu.
“Bagaimana khalifah bisa berbuat zalim kepada Ibu?” tanya Umar.
“Saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya dalam kehidupan nyata. Siapa tahu, ada banyak orang yang senasib dengan saya,” jawab si ibu yang demikian menyentuh hati Umar.
Umar berdiri dan berkata, “Tunggu sebentar, Bu. Saya akan segera kembali.”
Di pengujung malam yang telah larut itu, Umar bergegas menuju Baitul Mal. Ia segera mengangkat sekarung gandum besar di pundaknya. Aslam, sahabatnya, membantu membawa minyak samin untuk memasak.
Karena jarak antara Madinah dengan rumah sang ibu cukup jauh, keringat bercucuran dari tubuh sang khalifah. Maka, Aslam berniat membantu Umar mengangkat karung itu. Dengan tegas Umar menolak tawaran Aslam. “Tidak akan kubiarkan kau memikul dosa-dosaku di akhirat kelak. Biarkan aku membawa karung besar ini karena aku merasa begitu bersalah atas apa yang telah terjadi pada si ibu beserta anak-anaknya,” kata Umar dengan napas tersengal.
Maka ketika khalifah menyerahkan sekarung gandum besar kepada si ibu dan anak-anaknya yang miskin, betapa gembiranya mereka menerima bahan makanan dari ‘lelaki yang tak dikenal ini’. Kemudian lelaki itu memberitahukan si ibu untuk menemui khalifah besok, untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal.
Betapa terkejutnya si ibu, ketika keesokan harinya ia berkunjung ke Madinah. Dia menemukan kenyataan bahwa ‘lelaki yang tak dikenal’ itu tak lain Khalifah Umar sendiri.
Umar adalah profil seorang pemimpin yang sukses, mujtahid (ahli ijtihad) yang ulung, dan sahabat Rasulullah yang sejati. Ia meriwayatkan 527 hadits.
Umar memiliki 12 anak, enam laki-laki dan enam perempuan. Mereka adalah Abdullah, Abdurrahman, Zaid, Ubaidillah, Ashim, Iyyadh, Hafshah, Ruqayyah, Fathimah, Shafiyah, Zainab, dan Ummu Walid.
Kesuksesannya dalam mengibarkan panji-panji Islam mengundang rasa iri dan dengki di hati musuh-musuhnya. Salah seorang di antara mereka adalah Fairuz, Abu Lu’lu’ah. Mantan pembantu Mughirah bin Syu’bah ini telah mengakhiri hidupnya dengan cara yang amat tragis. Ia menikam Umar tatkala memimpin shalat Subuh pada Rabu 26 Dzulhijjah 23 H.
Umar wafat pada hari Ahad, dalam usia 63 tahun, persis seperti usia Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, setelah menjabat selama 10 tahun enam bulan dan empat hari. Sebelum meninggal, ia sempat memilih enam orang sahabat Nabi sebagai formatur untuk menentukan khalifah setelahnya. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah. Berdasarkan hasil rapat yang digelar di rumah Musawwar bin Mukhrimat itu, terpilihlah Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Al-Khathab.
Keberhasilan Umar bin Al-Khathab menjadi khalifah, ditandai juga oleh kesuksesannya memperluas wilayah Islam. Dengan alasan inilah Michael Hart menempatkan Umar bin Al-Khatab pada urutan ke-51 dalam bukunya 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
Di akhir pemaparannya, Michael menuliskan, “Memang akan merupakan kejutan—buat orang Barat yang tidak mengenal Umar—membaca penempatan orang ini lebih tinggi daripada orang kenamaan seperti Charlemagne atau Julius Caesar dalam urutan daftar buku ini. Soalnya, penaklukan oleh bangsa Arab di bawah pimpinan Umar lebih luas wilayahnya dan lebih tahan lama dan lebih bermakna ketimbang apa yang diperbuat oleh Charlemagne maupun Julius Caesar.”
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama