Bagi Yang Menghutangkan Agar Memberi Keringanan Kepada Yang berhutang
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.
Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.
[1]. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya,
dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat
beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si
penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu
juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan
cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.
[2]. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si
pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran
waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi
hutangnya.
Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Suatu
hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar
nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. : Aku melakukan
transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar
(hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia
diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). [1]
[3]. Pemberi
pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang,
sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.
Beginilah
kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka
ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli
terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia
pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian
dan akan menambah pahala bagi yang memberi.
Sebagai contoh,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin
Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan
menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.
Contoh
kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu
dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman.
Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman
menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga
muruah (martabat)mu”.
Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah
Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat
menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya
kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi
saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar
mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia
telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya
orang yang menjenguk. [2]
Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa
memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian
pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan
tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang
yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain,
seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa
yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.
Semoga
kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya
ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M.]
_____________________________________________________________________________________
Foot Note.
[1]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[2].Mukhtashar
Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid,
Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama