TEGAKKAN SUNNAH
Walaupun Seluruh Manusia Meninggalkannya
Biasanya seseorang yang terpengaruh dengan lingkungannya, cenderung untuk menyamakan dirinya dengan masyarakat di sekitarnya. Ketika ada suatu sunnah yang tidak dikerjakan oleh ma-syarakat sekitarnya, maka ia tidak berani melakukannya. Hal itu dikarenakan rasa malu, minder atau khawatir dianggap ti-dak bermasyarakat. Padahal justru pada masa-masa seperti itu seseorang yang menerapkan sunnah akan mendapatkan pahala besar, lima puluh kali lipat pahala para sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Ini sesuai dengan sabda beliau shalallahu 'alaihi wa sallam:
إِنَّ
مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ، لِلْمُتَمَسِّكِ فِيْهِنَّ
يَوْمَئِذٍ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرَ خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ. قَالُوْا:
يَا نَبِيَّ اللهِ أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ: بَلْ مِنْكُمْ. (رواه المروازي
في السنة
“Sesungguhnya di belakang kalian nanti ada hari-hari sabar bagi orang-orang yang pada waktu itu berpegang dengan apa yang kalian ada di atasnya. Mereka akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian”. Para shahabat berta-nya: “Wahai nabi Allah, apakah lima puluh kali pahalanya dari mereka?” beliau shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan dari kalian”. (HR. Marwazi dalam As-Sunnah)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ
مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَامًا الصَّبْرِ فِيْهِنَّ مِثْلُ الْقَبْضِ عَلَى
الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيْهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِيْنَ رَجُلاً
يَعْمَلُوْنَ مِثْلُ عَمَلِكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَجْرُ
خَمْسِيْنَ مِنَّا أَوْ مِنهُمْ؟ قَالَ: بَلْ أَجْرُ خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ.
(رواه الترمذي وأبو داود وابن ماجه وابن حبان والحاكم وصححه ووافقه الذهبي
Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari dimana orang yang sabar ke-tika itu seperti memegang bara api. Me-reka yang mengamalkan sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian yang mengamal-kan amalan tersebut. Para Shahabat bertanya: “Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau dari mereka?” Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan lima puluh kali pahala dari kalian”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Dan dishahihkan oleh Imam Hakim dan disepakati oleh Dzahabi; lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 49)
Maka kaidah yang keempat dalam penerapan sunnah adalah “Kita tetap mengamalkan sunnah walaupun seluruh manusia meninggalkan-nya”. Kaidah ini tidak bertentangan dengan kaidah ketiga, yang membimbing kita agar memperhatikan maslahat dan mafsadah, karena matinya suatu sunnah jelas merupakan mafsadah besar. Oleh karena itu ketika manusia melupakan su-atu sunnah, maka semestinya kita meng-hidupkannya agar manusia mengenali-nya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimi-yah rahimahullah: ”Tidak mengapa kita meninggalkan suatu perkara yang mus-tahab (tidak wajib), tetapi kita tetap ti-dak boleh meninggalkan keyakinan di-sunnahkannya amalan tersebut. Karena mengenali sunnahnya amalan tersebut merupakan fardu kifayah agar tidak hi-lang sedikitpun dari agama ini.” (Majmu’ Fatawa, juz IV, hal. 436)
Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim rahimahullah ketika dia berkata: “Kalau semua perkara yang mustahab ditinggalkan, maka akan hilanglah sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan akan lenyap garis-garisnya serta sirna jejak-jejaknya. Betapa banyak amalan-amalan yang dilaksanakan menyelisihi sunnah yang jelas, sesuai dengan bertambah jauhnya zaman sampai sekarang. Setiap waktu ada sunnah yang ditinggalkan dan dikerjakan yang selainnya, begitulah se-terusnya. Akhirnya kau lihat sedikit sekali sunnah yang dikerjakan, itupun da-lam keadaan tidak sempurna….”. (I’lamul Muwaqi’in, 2/395; Lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 86)
Demikianlah, jika manusia dibiar-kan meninggalkan perkara yang sunnah, kemudian kita juga tidak mau mene-gakkannya karena masyarakat tidak me-ngerjakannya, niscaya akan matilah sun-nah dan tidak dikenal lagi oleh masya-rakat. Suatu saat kelak ketika ada yang mengerjakan sunnah tersebut akan di-anggap sebagai orang yang mengerjakan kebid’ahan.
Sebagai contoh, sunnah yang telah diperintahkan oleh Allah, dilakukan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, para sahabatnya dan para ulama yang setelahnya, yaitu sunnah taaddud atau Poligami. Betapa kerasnya manusia --bahkan kaum muslimin sendiri yang menentang sunnah ini. Orang yang melakukannya seakan-akan dia adalah orang jahat yang melakukan suatu aib yang besar. Padahal asal perintah Allah dalam masalah perkawinan adalah untuk berpoligami. Kecuali mereka yang tidak mampu untuk berbuat adil, maka diberi keringanan untuk beristeri satu saja.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
...فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُو. النساء: 3
…maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau em-pat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahi-lah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (an-Nisaa’: 3)
Ini adalah salah satu bukti tentang satu perkara sunnah yang jika ditinggal-kan oleh kebanyakan kaum muslimin da-lam kurun waktu yang lama, maka manu-sia akan mengingkari sunnah tersebut seperti pengingkaran mereka terhadap suatu kebidahan atau bahkan lebih dari itu.
Memang orang yang memulai meng-hidupkan suatu sunnah pada masa umat meninggalkannya akan mendapatkan re-siko yang berat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat di atas. Orang yang mengerjakannya seperti orang yang memegang bara api. Jika dipegang ta-ngan terbakar, namum jika dilepaskan kita akan tersesat jauh dari jalan Rasulul-lah shalallahu 'alaihi wa sallam. Namun resiko itu sesuai dengan pahalanya yang besar, yaitu limapuluh kali para sahabat.
Di samping itu, agama ini memang bermula dengan keasingan dan pada saatnya akan kembali asing seperti permulaannya. Jika dengan alasan masih asing, kemudian kita meninggalkan sunnah maka akan lenyaplah Islam. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhabarkan akan asingnya agama ini pada mulanya dan akan kembali menjadi asing pada saatnya. Namun beliau juga sekaligus memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang terasing karena menjalankan agama ini.
إنَّ اْلإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ. (رواه مسلم
Sesungguhnya Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing se-perti permulaannya, maka berbahagia-lah orang-orang yang asing. (HR. Muslim)
Untuk itu janganlah perasaan asing, malu, takut, dan lain-lain menjadikan kita meninggalkan sunnah. Kita harus ingat bahwa sunnah adalah Islam, dan Islam tidak lain melainkan kumpulan sunnah-sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Barbahari dalam bukunya, Syarhus Sunnah: “Islam adalah sunnah dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya”.
Jika berkurang satu sunnah maka berkuranglah kesempurnaan Islam, begi-tulah seterusnya hingga akan hilanglah Islam secara keseluruhan. Berkata Ab-dullah Ibnu Dailami: ”Sesungguhnya awal pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya sunnah. Agama ini akan hilang satu sunnah demi satu sunnah seperti hilangnya tali satu kekuatan demi kekuatan”. (Ushul I’tiqad Ahlussunnah, Al Lalikai 1/93).
Oleh karena itulah Ahlul bid’ah dikatakan oleh para ulama sebagai orang yang ikut andil dalam menghancurkan Islam. Karena dengan kebidahan yang mereka lakukan, maka ada sunnah yang tergeser. Semakin banyak bid’ah dikerja-kan, semakin banyak pula sunnah yang hilang, hingga hancurlah Islam.
Berkata Al Auza’i dari Hassan bin Athiyyah: ”Tidaklah suatu kaum meng-adakan suatu kebid’ahan kecuali Allah akan mencabut suatu sunnah yang semi-salnya. Kemudian tidak akan dikembali-kan kepada mereka sampai hari kiamat”.
Dan berkata Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: “Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka mengada-adakan satu kebid’ahan dan mematikan satu sunnah. Demikianlah hingga berkembanglah ke-bid’ahan dan matilah sunnah”. (al-Bida’ wa nahyu ‘anha,hal. 38-39; lihat Dlaruratul Ihtimam, hal. 85).
Sedangkan Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’nya menyatakan bahwa orang-orang yang mematikan sunnah itu ada dua jenis. Pertama orang-orang yang mengerjakan kebid’ahan-kebid’ahan dan yang kedua orang-orang yang tidak mau menghidupkan sunnah.
Ketahuilah bahwa di samping resiko yang akan dihadapi oleh orang yang memulai menghidupkan sunnah, ada pula maslahat bagi agama yang besar yaitu hidupnya sunnah. Adapun mafsadah atau resiko yang dihadapinya hanyalah bersifat pribadi. Tentunya maslahat agama harus lebih diutamakan daripada maslahat pribadi. Dengarkanlah apa yang diucapkan oleh Imam asy-Syatibi beri-kut: “Aku ragu dan berulang kali menghi-tung antara menerapkan sunnah dengan konsekwensi menyelisihi kebiasaan ma-nusia yang tentunya akan mendapatkan resiko seperti apa yang telah didapatkan oleh orang yang menyelisihi adat kebia-saan kaumnya; apalagi kalau mereka menganggap apa yang biasa mereka lakukan tidak lain adalah sunnah; namun di samping resiko yang berat itu ada pahala yang besar. Atau aku memilih untuk mengikuti kebiasaan mereka dengan konsekuensi menyelisihi sunnah dan menyelisihi jalan salafus shalih hing-ga aku digolongkan termasuk orang-orang yang menyimpang –Naudzubillah min dzalika—Namun karena aku menco-coki kebiasaan manusia akan dianggap sebagai orang yang bisa bermasyarakat dan tidak termasuk orang yang menye-lisihi adat. Akhirnya aku berpenda-pat bahwa kebinasaan dalam meng-ikuti sunnah adalah keselamatan, dan bahwasanya manusia tidak akan bisa mencukupi aku dari Allah sedikitpun”. (Dlaruratul Ihtimam, Syaikh, Abdus Salam bin Barjas hal. 88).
Wallahu a’lam
Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama