MEMPERTIMBANGKAN MASHLAHAT&MAFSADAH
Dalam menerapkan sunah-sunah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak boleh lepas dari kaidah maslahat (pengaruh yang baik) dan mafsadah (pengaruh yang jelek)nya. Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah umum yang ma’ruf dan dikenal dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih. Kaidah tersebut diantaranya: “Jika dihadap-kan kepada kita dua mafsadah, maka kita harus menghindari mafsadah yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih kecil”. Atau kaidah yang sejenisnya yakni “Menolak mafsadah lebih diuta-makan daripada mendatangkan masla-hat”.
Kaidah-kaidah yang seperti ini sesungguhnya diterapkan kalau terjadi di-lematis antara 2 keadaan. Artinya jika dihindari yang satu, maka akan terkena yang lainnya. Adapun jika keadaannya tidak seperti itu, maka jelas mengamal-kan sunah-sunah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam merupa-kan maslahat yang besar.
Kaidah-kaidah para ulama tadi di-ambil dari dalil-dalil yang banyak dan shahih. Salah satu di antaranya adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah:
Aku bertanya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam: “Apakah al-jadru (Hijr Ismail) itu ter-masuk Baitullah (ka’bah)?”. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Ya”. Aku katakan: “Kalau begitu mengapa tidak dimasukkan ke dalam Baitullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya kaummu kekurangan dana”. Aku bertanya lagi: “Dan kenapa pintunya berada di atas?” Beliau menja-wab: “Dibangun sedemikian rupa supa-ya kaummu bisa memasukkan siapa yang dikehendaki dan melarang siapa yang dikehendakinya. Kalau saja bukan karena kaummu yang baru masuk Islam dan sangat dekat dengan jahiliyah --yang aku khawatir hati-hati mereka akan mengingkarinya, niscaya aku akan memasukkan al-Jadru ke dalam bangunan Baitullah dan niscaya aku tempelkan pintunya ke bumi.” ( HR. Bukhari dan Muslim ).
Hadist ini dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya dengan diberi judul: ”Bab meninggalkan sesuatu yang baik karena kekhawatiran kurangnya pemahaman manusia, hingga akan menyebabkan mereka bertambah jauh.” Ibnu Hajar dalam syarh hadist ini mengatakan: “Hadist ini memberikan faedah tentang bolehnya meninggalkan suatu maslahat karena kekhawatiran terjatuh ke dalam mafsadah”.
Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dianjurkan bagi sese-orang untuk memiliki tujuan melembutkan hati-hati manusia dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mustahab (tidak wajib). Karena maslahat menya-tunya hati-hati kaum muslimin terhadap agamanya lebih besar daripada maslahat yang akan didapatkan dengan mengerja-kannya. Sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan untuk membangun ka’bah (dengan menyatukan Hijr Ismail dengan bangunan ka’bah –pent), karena dengan cara yang demikian akan terjaga hati-hati kaum muslimin yang baru masuk Islam pada saat itu”.
Juga dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhuma. Ketika beliau melihat perbuatan khalifah Utsman ibn Affan yang tidak meng-qashar shalatnya ketika dalam safar. Beliau mengingkarinya dengan mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, aku shalat di belakang Abu Bakar dan Umar, keduanya mengqashar shalatnya. Namun Utsman bin Affan menyempurnakan shalatnya”. Meskipun demikian, beliau tetap sholat di belakang Utsman 4 rakaat. Ketika hal ini ditanyakan kepada-nya, beliau mengatakan bahwa perseli-sihan adalah suatu kejelekan.
Demikian pula jawaban khalifah Utsman bin Affan ketika beliau ditanya mengapa beliau menyempurnakan shalat dan tidak mengqasharnya. Beliau menja-wab bahwa karena pada saat itu banyak orang awam dan mereka yang baru masuk Islam, maka beliau khawatir jika mereka menganggap bahwa shalat dlu-hur itu dua rakaat.
Ini menunjukkan bahwa ta’liful qulub (menjinakkan hati) lebih besar maslahatnya daripada mengerjakan hal yang mustahab.
Oleh karena itu, mengerjakan suatu amalan sunah bisa jadi pada satu keada-an menjadi mustahab (dianjurkan); na-mun dalam keadaan lain, meninggal-kannya lebih afdhol sesuai dengan mas-lahat yang lebih unggul. (Majmu’ Fata-wa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juz 22, hal. 407)
Meskipun demikian, perlu diperha-tikan bahwa dalam masalah ini maslahat yang dimaksud adalah maslahat agama atau maslahat yang syar’iyah, bukan maslahat pribadi atau maslahat dunia (keuntungan dunia) belaka. Dan juga kaidah ini berlaku pada hal-hal yang hu-kumnya mustahab bukan pada perkara yang wajib. Adapun jika perkara itu ada-lah perkara yang wajib, maka mening-galkannya akan mendapat dosa dan dian-cam dengan adzab api neraka. Adakah mafsadah yang lebih besar dari pada masuknya seseorang ke dalam api neraka?
Kaidah ini tidak bertentangan dengan kaidah asal yang memerintahkan untuk senantiasa menghidupkan sunah. Karena kaidah yang sedang kita bahas ini bersifat sementara dan pada keadaan tertentu, bukan untuk mematikan sunah selama-lamanya.
Dalam masalah ini ada sebagian di antara kaum muslimin yang melampaui batas, seperti Ikhwanul Muslimin, Sururiyin (pengikut Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin), Qutbiyyun (pengikut Sayid Qutub) dan sejenisnya. Mereka menggunakan kaidah ini dalam metode dakwahnya secara berlebihan, hingga mereka mematikan sunah dan menggagap sunah sebagai penghalang da’wah. Bahkan di antara mereka ada yang mendudukkan “Maslahatu Da’wah” seakan-akan tuhan, mereka menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan Allah, mengharamkan hal-hal yang telah dihalalkan, merubah syari’at, mematikan sunah, bahkan membenci ahlussunah yang menghidupkan sunah hanya dengan alasan Maslahatud Da’wah (kepetingan dakwah).
Kita katakan bahwa kalau mening-galkan sunah secara keseluruhan, apala-gi meninggalkan perkara-perkara yang wajib, maka itu bukan maslahat untuk da’wah, bukan pula untuk agama ini, bahkan yang terjadi adalah mafsadah yang besar dan kehancuran Islam.
Berkata Ibnu Mas’ud radhiallahu anhuma: ”Akan muncul suatu kaum yang meninggalkan sunah seperti ini (yaitu satu ruas jari). Jika kalian biarkan, niscaya mereka akan mendatangkan bencana yang besar. Se-sungguhnya tidaklah ahlul kitab mening-galkan agamanya kecuali diawali dengan meninggalkan satu sunnah demi satu sunah, hingga berakhir dengan mening-galkan sholat. Kalau mereka tidak ber-usaha menghidupkan sunah niscaya mereka pun akan meninggalkan sholat.” (diriwayatkan oleh al-Lalikai di dalam Syarh Ushulul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, juz 1/91).
Untuk itu kita harus memiliki dan menerapkan kadah-kaidah dalam pene-rapan sunnah secara lengkap. Jangan mengambil salah satunya dan membuang yang lainnya. Kaidah yang pertama dan utama adalah bagaimana menghidupkan sunah secara keseluruhan pada diri kita dan masyarakat kita. Allah berfirman:
Kami berikan satu contoh, yaitu ketika kita melihat satu sunah yang tidak wajib hukumnya (mustahab) seperti su-nahnya sholat memakai sandal. Dalam keadaan masyarakat yang jahil dan diperkirakan akan dapat menjadi fitnah bagi mereka dengan mencela sunah ter-sebut atau mencela dakwah ahlu sunah, maka hendaknya kita tidak mengerjakan atau lebih tepatnya menunda hingga kita menyampaikan ilmunya, menerangkan dalilnya, menegakkan hujahnya, mem-buktikan keshahihan riwayatnya dan menjelaskan istimbat hukumnya menu-rut para ulama agar tidak membuat salah paham mereka.
Berkata Syaikh Abdussalam bin Bar-jas: “Pemahaman yang benar terhadap kaidah ini adalah jika pada penerapan suatu sunah dapat mengakibatkan maf-sadah yang jelas lebih besar dari mas-lahat yang didapatkannya maka tahanlah sunah tersebut di tempat tersebut (pada saat tersebut) dengan mengupayakan beberapa perkara:
1. Wajib menasehati mereka dan meng-ingatkan mereka tentang kedudukan sunah yang tinggi dan agung tersebut.
2. Tidak meninggalkan sunah tersebut untuk selamanya.
3. Jika diketahui bahwa para penentang sunah tersebut menolaknya bukan ka-rena bodoh, tetapi karena benci terha-dap sunah tersebut, karena ta’ashub (fanatik) kepada madzhab tertentu atau karena mengikuti aliran tertentu, maka sunah harus tetap ditegakkan. Tidak peduli dengan mereka atau seri-bu orang seperti mereka. Karena telah shahih riwayatnya bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Selanjutnya Syaikh Abdussalam bin Barjas mengatakan: “Karena maslahat besar yang kita inginkan adalah bagai-mana kita mewujudkan kasih sayang di antara ahlus sunah dan sebaliknya meng-hilangkan permusuhan dan kebencian di antara mereka, maka ketika telah dike-tahui seseorang atau sekelompok terten-tu benci kepada sunah, maka hilanglah kasih sayang kita kepada mereka dan wajib memboikot dan membenci mereka karena Allah.
Hal ini berbeda keadaannya jika yang membenci dan menolak sunah ada-lah orang awam seperti kebanyakan ka-um muslimin. Jika kita menunda bebe-rapa perkara yang tidak wajib karena mengimbangi mereka hingga mereka paham terhadap perkara tersebut, hal ini adalah satu sikap yang bijaksana dan per-kara yang disyari’atkan. Sikap ini dilaku-kan agar kebodohan mereka tidak mem-bawa mereka terjerumus dalam ucapan-ucapan yang tidak pantas diucapkan.
Langkah berikutnya adalah mengenalkan kepada mereka sunah-sunah tersebut dengan penuh hikmah dan kelembutan. Kalau perlu meminta bantuan kepada orang-orang yang berilmu dalam masa-lah tersebut.
Kalau upaya-upaya tersebut telah dilakukan dan telah jelas bagi mereka petunjuk, namun mereka tetap memben-ci dan menolaknya, maka gabungkanlah mereka dengan kelompok tadi (yakni ahlil bid’ah). (Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 96-97)
Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Dalam menerapkan sunah-sunah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak boleh lepas dari kaidah maslahat (pengaruh yang baik) dan mafsadah (pengaruh yang jelek)nya. Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah umum yang ma’ruf dan dikenal dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih. Kaidah tersebut diantaranya: “Jika dihadap-kan kepada kita dua mafsadah, maka kita harus menghindari mafsadah yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih kecil”. Atau kaidah yang sejenisnya yakni “Menolak mafsadah lebih diuta-makan daripada mendatangkan masla-hat”.
Kaidah-kaidah yang seperti ini sesungguhnya diterapkan kalau terjadi di-lematis antara 2 keadaan. Artinya jika dihindari yang satu, maka akan terkena yang lainnya. Adapun jika keadaannya tidak seperti itu, maka jelas mengamal-kan sunah-sunah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam merupa-kan maslahat yang besar.
Kaidah-kaidah para ulama tadi di-ambil dari dalil-dalil yang banyak dan shahih. Salah satu di antaranya adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنِ الْجَدْرِ أَمِنَ الْبَيْتِ هُوَ؟ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ
فَمَا لَهُمْ لَمْ يُدْخِلُوْهُ فِي الْبَيْتِ؟ قَالَ إَنَّ قَوْمَكِ
قَصَّرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ. قُلْتُ فَمَا شَأْنُ بَابِهِ مُرْتَفِعًا؟
قَالَ فَعَلَ ذَلِكَ قَوْمُكِ لِيُدْخِلُوْا مَنْ شَاؤُوْا وَيَمْنَعُوْا
مَنْ شَاؤُوْا وَلَوْلاَ أَنْ قَوْمَكِ حَدِيْثٌ عَهْدُهُمْ
بِالْجَاهِلِيَّةِ فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ قُلُوْبَهُمْ أَنْ أَدْخُلَ
الْجَدْرَ فِي الْبَيْتِ وَأَنْ أُلْصِقَ بَابَهُ بِاْلأَرْضِ. (رواه
البخاري ومسلم
Aku bertanya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam: “Apakah al-jadru (Hijr Ismail) itu ter-masuk Baitullah (ka’bah)?”. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Ya”. Aku katakan: “Kalau begitu mengapa tidak dimasukkan ke dalam Baitullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya kaummu kekurangan dana”. Aku bertanya lagi: “Dan kenapa pintunya berada di atas?” Beliau menja-wab: “Dibangun sedemikian rupa supa-ya kaummu bisa memasukkan siapa yang dikehendaki dan melarang siapa yang dikehendakinya. Kalau saja bukan karena kaummu yang baru masuk Islam dan sangat dekat dengan jahiliyah --yang aku khawatir hati-hati mereka akan mengingkarinya, niscaya aku akan memasukkan al-Jadru ke dalam bangunan Baitullah dan niscaya aku tempelkan pintunya ke bumi.” ( HR. Bukhari dan Muslim ).
Hadist ini dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya dengan diberi judul: ”Bab meninggalkan sesuatu yang baik karena kekhawatiran kurangnya pemahaman manusia, hingga akan menyebabkan mereka bertambah jauh.” Ibnu Hajar dalam syarh hadist ini mengatakan: “Hadist ini memberikan faedah tentang bolehnya meninggalkan suatu maslahat karena kekhawatiran terjatuh ke dalam mafsadah”.
Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dianjurkan bagi sese-orang untuk memiliki tujuan melembutkan hati-hati manusia dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mustahab (tidak wajib). Karena maslahat menya-tunya hati-hati kaum muslimin terhadap agamanya lebih besar daripada maslahat yang akan didapatkan dengan mengerja-kannya. Sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan untuk membangun ka’bah (dengan menyatukan Hijr Ismail dengan bangunan ka’bah –pent), karena dengan cara yang demikian akan terjaga hati-hati kaum muslimin yang baru masuk Islam pada saat itu”.
Juga dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhuma. Ketika beliau melihat perbuatan khalifah Utsman ibn Affan yang tidak meng-qashar shalatnya ketika dalam safar. Beliau mengingkarinya dengan mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, aku shalat di belakang Abu Bakar dan Umar, keduanya mengqashar shalatnya. Namun Utsman bin Affan menyempurnakan shalatnya”. Meskipun demikian, beliau tetap sholat di belakang Utsman 4 rakaat. Ketika hal ini ditanyakan kepada-nya, beliau mengatakan bahwa perseli-sihan adalah suatu kejelekan.
Demikian pula jawaban khalifah Utsman bin Affan ketika beliau ditanya mengapa beliau menyempurnakan shalat dan tidak mengqasharnya. Beliau menja-wab bahwa karena pada saat itu banyak orang awam dan mereka yang baru masuk Islam, maka beliau khawatir jika mereka menganggap bahwa shalat dlu-hur itu dua rakaat.
Ini menunjukkan bahwa ta’liful qulub (menjinakkan hati) lebih besar maslahatnya daripada mengerjakan hal yang mustahab.
Oleh karena itu, mengerjakan suatu amalan sunah bisa jadi pada satu keada-an menjadi mustahab (dianjurkan); na-mun dalam keadaan lain, meninggal-kannya lebih afdhol sesuai dengan mas-lahat yang lebih unggul. (Majmu’ Fata-wa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juz 22, hal. 407)
Meskipun demikian, perlu diperha-tikan bahwa dalam masalah ini maslahat yang dimaksud adalah maslahat agama atau maslahat yang syar’iyah, bukan maslahat pribadi atau maslahat dunia (keuntungan dunia) belaka. Dan juga kaidah ini berlaku pada hal-hal yang hu-kumnya mustahab bukan pada perkara yang wajib. Adapun jika perkara itu ada-lah perkara yang wajib, maka mening-galkannya akan mendapat dosa dan dian-cam dengan adzab api neraka. Adakah mafsadah yang lebih besar dari pada masuknya seseorang ke dalam api neraka?
Kaidah ini tidak bertentangan dengan kaidah asal yang memerintahkan untuk senantiasa menghidupkan sunah. Karena kaidah yang sedang kita bahas ini bersifat sementara dan pada keadaan tertentu, bukan untuk mematikan sunah selama-lamanya.
Dalam masalah ini ada sebagian di antara kaum muslimin yang melampaui batas, seperti Ikhwanul Muslimin, Sururiyin (pengikut Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin), Qutbiyyun (pengikut Sayid Qutub) dan sejenisnya. Mereka menggunakan kaidah ini dalam metode dakwahnya secara berlebihan, hingga mereka mematikan sunah dan menggagap sunah sebagai penghalang da’wah. Bahkan di antara mereka ada yang mendudukkan “Maslahatu Da’wah” seakan-akan tuhan, mereka menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan Allah, mengharamkan hal-hal yang telah dihalalkan, merubah syari’at, mematikan sunah, bahkan membenci ahlussunah yang menghidupkan sunah hanya dengan alasan Maslahatud Da’wah (kepetingan dakwah).
Kita katakan bahwa kalau mening-galkan sunah secara keseluruhan, apala-gi meninggalkan perkara-perkara yang wajib, maka itu bukan maslahat untuk da’wah, bukan pula untuk agama ini, bahkan yang terjadi adalah mafsadah yang besar dan kehancuran Islam.
Berkata Ibnu Mas’ud radhiallahu anhuma: ”Akan muncul suatu kaum yang meninggalkan sunah seperti ini (yaitu satu ruas jari). Jika kalian biarkan, niscaya mereka akan mendatangkan bencana yang besar. Se-sungguhnya tidaklah ahlul kitab mening-galkan agamanya kecuali diawali dengan meninggalkan satu sunnah demi satu sunah, hingga berakhir dengan mening-galkan sholat. Kalau mereka tidak ber-usaha menghidupkan sunah niscaya mereka pun akan meninggalkan sholat.” (diriwayatkan oleh al-Lalikai di dalam Syarh Ushulul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, juz 1/91).
Untuk itu kita harus memiliki dan menerapkan kadah-kaidah dalam pene-rapan sunnah secara lengkap. Jangan mengambil salah satunya dan membuang yang lainnya. Kaidah yang pertama dan utama adalah bagaimana menghidupkan sunah secara keseluruhan pada diri kita dan masyarakat kita. Allah berfirman:
يَآ أَيُّهَا الَذِيْنَ ءَامَنُوْا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ
كَآفَةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِيْنٌ. البقرة: 208
Hai orang-orang yang beriman, masuk-lah kalian
ke dalam Islam secara keselu-ruhan. Dan janganlah kalian turuti
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.
(al-Baqarah: 208)
Kami berikan satu contoh, yaitu ketika kita melihat satu sunah yang tidak wajib hukumnya (mustahab) seperti su-nahnya sholat memakai sandal. Dalam keadaan masyarakat yang jahil dan diperkirakan akan dapat menjadi fitnah bagi mereka dengan mencela sunah ter-sebut atau mencela dakwah ahlu sunah, maka hendaknya kita tidak mengerjakan atau lebih tepatnya menunda hingga kita menyampaikan ilmunya, menerangkan dalilnya, menegakkan hujahnya, mem-buktikan keshahihan riwayatnya dan menjelaskan istimbat hukumnya menu-rut para ulama agar tidak membuat salah paham mereka.
Berkata Syaikh Abdussalam bin Bar-jas: “Pemahaman yang benar terhadap kaidah ini adalah jika pada penerapan suatu sunah dapat mengakibatkan maf-sadah yang jelas lebih besar dari mas-lahat yang didapatkannya maka tahanlah sunah tersebut di tempat tersebut (pada saat tersebut) dengan mengupayakan beberapa perkara:
1. Wajib menasehati mereka dan meng-ingatkan mereka tentang kedudukan sunah yang tinggi dan agung tersebut.
2. Tidak meninggalkan sunah tersebut untuk selamanya.
3. Jika diketahui bahwa para penentang sunah tersebut menolaknya bukan ka-rena bodoh, tetapi karena benci terha-dap sunah tersebut, karena ta’ashub (fanatik) kepada madzhab tertentu atau karena mengikuti aliran tertentu, maka sunah harus tetap ditegakkan. Tidak peduli dengan mereka atau seri-bu orang seperti mereka. Karena telah shahih riwayatnya bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
...فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّيْ... (رواه البخاري
...Barangsiapa yang benci pada sunah-ku, maka dia bukan dari golonganku... (HR. Bukhari)
Selanjutnya Syaikh Abdussalam bin Barjas mengatakan: “Karena maslahat besar yang kita inginkan adalah bagai-mana kita mewujudkan kasih sayang di antara ahlus sunah dan sebaliknya meng-hilangkan permusuhan dan kebencian di antara mereka, maka ketika telah dike-tahui seseorang atau sekelompok terten-tu benci kepada sunah, maka hilanglah kasih sayang kita kepada mereka dan wajib memboikot dan membenci mereka karena Allah.
Hal ini berbeda keadaannya jika yang membenci dan menolak sunah ada-lah orang awam seperti kebanyakan ka-um muslimin. Jika kita menunda bebe-rapa perkara yang tidak wajib karena mengimbangi mereka hingga mereka paham terhadap perkara tersebut, hal ini adalah satu sikap yang bijaksana dan per-kara yang disyari’atkan. Sikap ini dilaku-kan agar kebodohan mereka tidak mem-bawa mereka terjerumus dalam ucapan-ucapan yang tidak pantas diucapkan.
Langkah berikutnya adalah mengenalkan kepada mereka sunah-sunah tersebut dengan penuh hikmah dan kelembutan. Kalau perlu meminta bantuan kepada orang-orang yang berilmu dalam masa-lah tersebut.
Kalau upaya-upaya tersebut telah dilakukan dan telah jelas bagi mereka petunjuk, namun mereka tetap memben-ci dan menolaknya, maka gabungkanlah mereka dengan kelompok tadi (yakni ahlil bid’ah). (Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 96-97)
Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama