PASTIKAN KESHAHIHAN RIWAYAT DAN MAKNA
Dalam menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam kita harus berhati-hati dan teliti. Dalam masalah ini kita harus mem-perhatikan beberapa kaidah yang telah para ulama tetapkan agar penerapan su-nah itu tidak justru berbalik memancing orang untuk mencemoohkannya, padahal hal itu diakibatkan oleh kesalahan kita dalam penerapannya. Kesahalan tersebut dapat berasal dari dua sisi. Pertama, hadits yang dijadikan sandaran adalah hadits yang dlaif (lemah) atau bahkan palsu. Atau pemahaman kita yang keliru terhadap hadits yang kita jadikan sebagai sandaran walaupun shahih.
Oleh karena itu kaidah pertama yang harus kita perhatikan dalam pene-rapan sunah adalah memastikan kesahi-han hadits dan memastikan kebenaran istinbat hukumnya. Yang pertama diis-tilahkan dengan riwayah, dan yang kedua diistilahkan dengan dirayah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Tai-miyah: “Tidak boleh kita menyandarkan syariat agama ini pada hadits-hadits yang dlaif (lemah), yang tidak shahih ataupun tidak hasan. (Majmu’ Fatawa juz I, hal.250)
Berkata Syaikh Zakariya bin Mu-hammad al-Anshari: “Jalan orang yang ingin berdalil dengan hadits dari kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab musnad, jika dia memiliki kemampuan untuk me-meriksa hadits-hadits tersebut, hendak-lah meneliti sanadnya (bersambung atau tidak -pent). Juga perawi-perawinya (terpercaya atau tidak) dan seterusnya. Kalau tidak mampu dan telah ada para ulama ahlul hadits yang menshahihkan-nya atau menghasankannya, boleh bagi-nya untuk mengikutinya”.
Semua ucapan para ulama tersebut, membimbing kita agar jangan kita ter-jerumus dalam pemakaian hadits yang lemah yang akibatnya akan fatal terha-dap diri kita dan terhadap dakwah. Ja-ngan sampai kita digolongkan ke dalam orang-orang yang berdusta atas nama nabi, menyampaikan bahwa Rasulullah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berkata begini dan begitu ternyata beliau tidak pernah mengatakannya.
Rasulullah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengancam:
Barang siapa yang dengan sengaja ber-dusta atas namaku, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya da-lam api neraka. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah)
Adapun hadits-hadits yang dlaif (lemah) tidak bisa menentukan suatu hu-kum apapun. Juga tidak bisa mewajibkan sesuatu atau menjadikannya mustahab (sunat) seperti ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Tidak seorangpun dari para ulama yang menyatakan bolehnya menganggap sesuatu adalah wajib atau mustahab dengan hadits dlaif. Barang-siapa yang mengatakan demikian, maka dia telah menyelisihi ijma’ dan kesepa-katan para ulama!”.(Majmu’ Fatawa, 251)
Demikianlah prinsip ahlus sunnah dalam penerapan sunnah. Hal ini ber-beda dengan ahlul bid’ah dari kalangan tarikat-tarikat sufi, baik yang tergabung dalam kelompok jamaah tabligh ataupun kelompok-kelompok dzikir atau dalam bentuk sosok-sosok sufi yang ditokohkan sebagai ulama. Mereka menganggap bah-wa hadits dlaif dapat menjadi dalil dalam fadlailul a’mal. Sehingga buku mereka dipenuhi dengan hadits-hadits dlaif, maudlu’ (palsu) dan lainnya. Ketika dite-gur mereka menjawab dengan enteng: ”Dlaif-dlaif juga merupakan hadits”. Akibatnya jelas, yaitu membawa mereka pada kesesatan dan penyimpangan.
Untuk itu, dalam masalah istimbath kita harus merujuk kepada mereka yang telah dipastikan kebenarannya dalam penerapan Qur’an dan as-Sunnah, yaitu generasi para shahabat, sebagaimana Allah berfirman:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari go-longan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini Allah meridlai tiga golongan manusia yakni kaum muhajirin, anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (baik). Hanya merekalah yang telah mendapatkan rekomendasi dan pujian dari Allah. Hal ini menunjukkan kalau mereka telah te-pat dalam menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupannya.
Karena kita bukan dari kaum mu-hajirin dan bukan pula kaum anshar, maka hendaknya kita menjadi para pengikut mereka dengan ihsan, baik dalam memahami, istimbath hukum, me-nafsirkan dan ataupun penerapannya agar kita termasuk dalam golongan yang diridlai-Nya.
Barangsiapa yang tidak mau meng-ikuti mereka, berarti mereka telah me-nentang Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan tidak mau mendengarkan ucapan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berikut:
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang berikutnya. (HR. Bukhari Muslim)
Manusia yang terbaik adalah para sha-habat, kemudian yang mengikuti mereka setelahnya (para tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (atba’ut tabi’in).
Para shahabat merupakan generasi yang telah dipastikan keimanan mereka dalam ucapan Allah:
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah (kaum muhajirin), dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin yakni kaum an-shar), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka mempe-roleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (al-Anfaal: 74)
Dengan demikian barangsiapa yang tidak mau mengikuti orang-orang yang beriman tersebut terancam dengan kesesatan di dunia dan adzab jahannam di akhirat. Allah tegaskan dalam firman-Nya:
Dan barangsiapa yang menentang Ra-sul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisaa’: 115)
Oleh karena itu barangsiapa yang mengikuti mereka akan mendapatkan pe-tunjuk, dan yang meninggalkannya ter-ancam akan mendapatkan kesesatan.
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petun-juk; dan jika mereka berpaling, sesung-guhnya mereka berada dalam permu-suhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 137)
Dalam ayat ini yang dimaksud kata ganti orang kedua yaitu “kalian” dalam ucapan Allah: “Jika mereka beriman seperti kalian beriman” adalah para shahabat. Artinya, jika mereka beriman seperti para shahabat beriman, maka dia akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar dan lurus. Namun sebaliknya jika mereka tidak mau mengikuti para shahabat, mereka akan terus berada da-lam pertikaian dan perselisihan, me-nyimpang dari jalan yang lurus dan terjerumus ke dalam kesesatan dan kebid’ahan.
Demikian pula yang tidak mema-hami hadits-hadits nabi dengan pema-haman para shahabat niscaya yang ter-jadi justru kesesatan pula. Dengan demi-kian menyalahi kaidah pertama ini kon-sekwensinya adalah terjerumus dalam kebid’ahan dan kesesatan.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqti-dla’ Sirathil Mustaqiem Fie Mukhalafati Ash-habil Jahim menyatakan bahwa golongan yang mematikan sunnah ada dua jenis: Per-tama, yang tidak mau mengamalkan sunah; Kedua, mereka yang menambah-nambahinya dengan perkara baru.
Yakni mereka yang menambahi sunah dengan perkara baru, pemahaman baru, cara istimbath hukum yang baru atau hadits-hadits baru (yakni hadits yang maudlu’ dan palsu) secara tidak sa-dar mereka juga ikut membantu mema-tikan sunnah nabawiyah.
Dengan kata lain menerapkan sunnah tidak dengan kaidah sunnah adalah justru menghancurkan dakwah sunnah.
Ustadz Muhammad As-Sewed
Dalam menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam kita harus berhati-hati dan teliti. Dalam masalah ini kita harus mem-perhatikan beberapa kaidah yang telah para ulama tetapkan agar penerapan su-nah itu tidak justru berbalik memancing orang untuk mencemoohkannya, padahal hal itu diakibatkan oleh kesalahan kita dalam penerapannya. Kesahalan tersebut dapat berasal dari dua sisi. Pertama, hadits yang dijadikan sandaran adalah hadits yang dlaif (lemah) atau bahkan palsu. Atau pemahaman kita yang keliru terhadap hadits yang kita jadikan sebagai sandaran walaupun shahih.
Oleh karena itu kaidah pertama yang harus kita perhatikan dalam pene-rapan sunah adalah memastikan kesahi-han hadits dan memastikan kebenaran istinbat hukumnya. Yang pertama diis-tilahkan dengan riwayah, dan yang kedua diistilahkan dengan dirayah.
Riwayat
Dalam penerapan sunnah kita harus memastikan kebenaran hadits tersebut dari sisi riwayatnya. Dengan demikian dengan yakin kita mengamalkan hadits yang shahih dan benar-benar merupakan ucapan Rasulullah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Karena hadits-ha-dits yang dlaif, palsu, atau mungkar atau yang sejenisnya tidak dapat dijadikan sandaran dalam seluruh amalan kita.Berkata Syaikhul Islam Ibnu Tai-miyah: “Tidak boleh kita menyandarkan syariat agama ini pada hadits-hadits yang dlaif (lemah), yang tidak shahih ataupun tidak hasan. (Majmu’ Fatawa juz I, hal.250)
Berkata Syaikh Zakariya bin Mu-hammad al-Anshari: “Jalan orang yang ingin berdalil dengan hadits dari kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab musnad, jika dia memiliki kemampuan untuk me-meriksa hadits-hadits tersebut, hendak-lah meneliti sanadnya (bersambung atau tidak -pent). Juga perawi-perawinya (terpercaya atau tidak) dan seterusnya. Kalau tidak mampu dan telah ada para ulama ahlul hadits yang menshahihkan-nya atau menghasankannya, boleh bagi-nya untuk mengikutinya”.
Semua ucapan para ulama tersebut, membimbing kita agar jangan kita ter-jerumus dalam pemakaian hadits yang lemah yang akibatnya akan fatal terha-dap diri kita dan terhadap dakwah. Ja-ngan sampai kita digolongkan ke dalam orang-orang yang berdusta atas nama nabi, menyampaikan bahwa Rasulullah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berkata begini dan begitu ternyata beliau tidak pernah mengatakannya.
Rasulullah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengancam:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. (متفق عليه
Barang siapa yang dengan sengaja ber-dusta atas namaku, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya da-lam api neraka. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah)
Adapun hadits-hadits yang dlaif (lemah) tidak bisa menentukan suatu hu-kum apapun. Juga tidak bisa mewajibkan sesuatu atau menjadikannya mustahab (sunat) seperti ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Tidak seorangpun dari para ulama yang menyatakan bolehnya menganggap sesuatu adalah wajib atau mustahab dengan hadits dlaif. Barang-siapa yang mengatakan demikian, maka dia telah menyelisihi ijma’ dan kesepa-katan para ulama!”.(Majmu’ Fatawa, 251)
Demikianlah prinsip ahlus sunnah dalam penerapan sunnah. Hal ini ber-beda dengan ahlul bid’ah dari kalangan tarikat-tarikat sufi, baik yang tergabung dalam kelompok jamaah tabligh ataupun kelompok-kelompok dzikir atau dalam bentuk sosok-sosok sufi yang ditokohkan sebagai ulama. Mereka menganggap bah-wa hadits dlaif dapat menjadi dalil dalam fadlailul a’mal. Sehingga buku mereka dipenuhi dengan hadits-hadits dlaif, maudlu’ (palsu) dan lainnya. Ketika dite-gur mereka menjawab dengan enteng: ”Dlaif-dlaif juga merupakan hadits”. Akibatnya jelas, yaitu membawa mereka pada kesesatan dan penyimpangan.
Kebenaran Istimbath Hukum
Perkara yang kedua, jika telah dipas-tikan keshahihan suatu hadits, kita harus meneliti pula makna yang dimaksudkan. Kita harus benar dalam mengambil hu-kum (istimbath hukum) dari hadits terse-but. Tentunya, harus kita ketahui bahwa yang paling tepat dalam melakukan is-timbath hukum dan penerapannya terha-dap sunnah adalah generasi pertama dan utama dari umat ini, yakni dari kalangan para shahabat radhiallahu 'anhum. Ja-ngan sampai kita keliru dalam menafsir-kan atau mengambil kesimpulan terha-dap hadits-hadits yang shahih tersebut. Sebagai contoh, ada sebagian kaum mus-limin yang menafsirkan kalimat khuruj fie sabilillah dengan mengembara yang diistilahkan oleh syaikhul Islam dengan siyahah. Beliau menjelaskan bahwa siya-hah adalah perkara kebid’ahan kaum sufi. Padahal dalam al-Qur’an dan as-Sunah maksud kalimat “khuruj fie sabilillah” adalah jihad dan berperang di jalan Allah.Untuk itu, dalam masalah istimbath kita harus merujuk kepada mereka yang telah dipastikan kebenarannya dalam penerapan Qur’an dan as-Sunnah, yaitu generasi para shahabat, sebagaimana Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. التوبة: 100
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari go-longan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini Allah meridlai tiga golongan manusia yakni kaum muhajirin, anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (baik). Hanya merekalah yang telah mendapatkan rekomendasi dan pujian dari Allah. Hal ini menunjukkan kalau mereka telah te-pat dalam menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupannya.
Karena kita bukan dari kaum mu-hajirin dan bukan pula kaum anshar, maka hendaknya kita menjadi para pengikut mereka dengan ihsan, baik dalam memahami, istimbath hukum, me-nafsirkan dan ataupun penerapannya agar kita termasuk dalam golongan yang diridlai-Nya.
Barangsiapa yang tidak mau meng-ikuti mereka, berarti mereka telah me-nentang Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan tidak mau mendengarkan ucapan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berikut:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ. (متفق عليه
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang berikutnya. (HR. Bukhari Muslim)
Manusia yang terbaik adalah para sha-habat, kemudian yang mengikuti mereka setelahnya (para tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (atba’ut tabi’in).
Para shahabat merupakan generasi yang telah dipastikan keimanan mereka dalam ucapan Allah:
وَالَّذِينَ
ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ
ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ
مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. الأنفال: 74
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah (kaum muhajirin), dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin yakni kaum an-shar), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka mempe-roleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (al-Anfaal: 74)
Dengan demikian barangsiapa yang tidak mau mengikuti orang-orang yang beriman tersebut terancam dengan kesesatan di dunia dan adzab jahannam di akhirat. Allah tegaskan dalam firman-Nya:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. النساء: 115
Dan barangsiapa yang menentang Ra-sul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisaa’: 115)
Oleh karena itu barangsiapa yang mengikuti mereka akan mendapatkan pe-tunjuk, dan yang meninggalkannya ter-ancam akan mendapatkan kesesatan.
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ
بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ . البقرة: 137
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petun-juk; dan jika mereka berpaling, sesung-guhnya mereka berada dalam permu-suhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 137)
Dalam ayat ini yang dimaksud kata ganti orang kedua yaitu “kalian” dalam ucapan Allah: “Jika mereka beriman seperti kalian beriman” adalah para shahabat. Artinya, jika mereka beriman seperti para shahabat beriman, maka dia akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar dan lurus. Namun sebaliknya jika mereka tidak mau mengikuti para shahabat, mereka akan terus berada da-lam pertikaian dan perselisihan, me-nyimpang dari jalan yang lurus dan terjerumus ke dalam kesesatan dan kebid’ahan.
Para perusak Sunnah
Mereka yang menyelisihi kaidah pertama dalam penerapan sunnah ini bukanlah orang yang termasuk meng-hidupan sunnah, tetapi justru mematikan sunnah. Karena mereka yang memakai hadits-hadits dlaif, maudlu’, palsu, dan sejenisnya justru menjatuhkan martabat sunnah nabawiyah. Karena riwayat-riwa-yat yang mungkar dan palsu tersebut adalah buatan manusia biasa yang banyak mengandung kesalahan, keku-rangan atau sebaliknya mengandung ekstrimitas dan berlebih-lebihan. Dan semua penyimpangan tersebut diatas namakan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.Demikian pula yang tidak mema-hami hadits-hadits nabi dengan pema-haman para shahabat niscaya yang ter-jadi justru kesesatan pula. Dengan demi-kian menyalahi kaidah pertama ini kon-sekwensinya adalah terjerumus dalam kebid’ahan dan kesesatan.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqti-dla’ Sirathil Mustaqiem Fie Mukhalafati Ash-habil Jahim menyatakan bahwa golongan yang mematikan sunnah ada dua jenis: Per-tama, yang tidak mau mengamalkan sunah; Kedua, mereka yang menambah-nambahinya dengan perkara baru.
Yakni mereka yang menambahi sunah dengan perkara baru, pemahaman baru, cara istimbath hukum yang baru atau hadits-hadits baru (yakni hadits yang maudlu’ dan palsu) secara tidak sa-dar mereka juga ikut membantu mema-tikan sunnah nabawiyah.
Dengan kata lain menerapkan sunnah tidak dengan kaidah sunnah adalah justru menghancurkan dakwah sunnah.
Ustadz Muhammad As-Sewed
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama