[1]. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang
Kaidah
fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya
riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau
menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan
tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang
yang mengerti membalas budi.
Syaikh Shalih Al-Fauzan
–hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang
untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan.
(Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan
syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan
syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku
sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan
untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang,
adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau
karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun
berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [1]
[2]. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah
makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat
Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia
telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya
dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal
seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara
keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama
membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut,
saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
“Artinya
: Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan
usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata,
“Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya,
akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari
untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab,
“Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam
pengembalian” [2]
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.
“Aku
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan
beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam
menambahkannya” [3]
[3]. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang mengambil harta
orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya),
maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa
mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
membinasakannya” [4]
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam
diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda
Nabi diatas [5] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan
azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk
melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa
hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang
baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang
tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari,
tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan
hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana
dengan akhirat yang baqa (kekal)?
[4]. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena
ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang
meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke
dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan
dengan harga lebih mahal dari biasanya.
[5]. Wajib memabayar hutang
Ini
merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya
memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di
pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan
membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat” [An-Nisa : 58]
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun
aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika
tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran
hutang” [HR Bukhari no. 2390]
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.
a). Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. : “Seseorang menagih hutang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan
kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si
empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan
kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan,
kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya.
Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran”
[6]
Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang
oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa
besar no. 20
b). Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [7]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :
“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.
Sufyan
Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan
‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya”
[8]
c). Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa
yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia
lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [9]
d). Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika
seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh
hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi
apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.
Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [10]
Bahkan
Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak
diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan,
maka dikembalikan” [11]
Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.
[6].
Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang
yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman,
karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah
berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud
kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[7]. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.
[8]. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [12]
[9]. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika
seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan
kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus
menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :
“Menunda
pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman.
Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka
hendaklah dia menurutinya. [13]
[10]. Diperbolehkan bagi yang
berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan,
dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir
bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah
meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon
kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya,
akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun
tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan
kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang
lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.
(Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma
masih tersisa seperti tidak disentuh. [14]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. ]
____________________________________________________________________________________
Foot Note.
[1]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[2]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[3]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[4]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[5]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[6]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[7].
Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud,
kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal
Mulazamah, no. 2427
[8]. Ibid, no. 2401
[9]. Ibid, no. 2402
[10]. Fathul Bari (5/62)
[11]. Ibid (5/54)
[12}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[13]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[14]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama