Sebelum memejamkan mata untuk tidur dalam rangka mengakhiri aktifitas
‘dua puluh empat jam’ ini, mari kita melihat dan merenungkan suasana
tahajud kita masing-masing.
Apakah tahajud kita sebagai tahajudnya seorang hamba yang mencintai
penciptanya, ataukah sekedar tahajud tanpa makna. Yang melakukan shalat
hanya sekedarnya, setelah itu selesai dan bangga, karena sudah
melaksanakan sebuah ‘ritual’ shalat tahajud. Untuk mengetahui hal itu,
marilah kita mencoba mengukur diri masing-masing.
1. Tentang niat,
Apakah yang melatarbelakangi kita bangun malam?
Apakah kita shalat tahajud karena terpaksa. Mungkin dikarenakan
saudara kita, anak kita, istri / suami kita, atau ada orang dekat kita,
yang bangun malam melakukan shalat tahajud. Dan kita pun ikut bangun
malam lalu kita lakukan shalat tahajud itu.
Ataukah tiba-tiba kita ingin ke kamar mandi, lalu kita sekalian mengambil air wudhu’ dan kitapun melaksanakan shalat tahajud.
Atau kita sebelum tidur sudah berdo’a kepada Allah, agar Allah membangunkan diri kita untuk melakukan shalat tahajud.
Apapun yang menyebabkan kita bangun malam, dan kita lanjutkan dengan
shalat tahajud, maka semuanya merupakan perilaku istimewa di hadapan
Allah. Karena kita melakukan sesuatu yang memang istimewa.
Kalau kita hitung, pada saat di sepertiga malam menjelang pagi,
sekitar jam tiga malam wib, kira-kira ada berapa orang yang bangun untuk
melakukan shalat tahajud? Misalnya di sebuah kota? Atau di sebuah
kampung? Sungguh amatlah sedikitnya!
Tetapi marilah kita melihat diri kita masing-masing! Dimanakah posisi
kita? Apa yang menyebabkan kita melakukan shalat tahajud? Apakah demi
kecintaan kita kepada Allah Swt, sehingga kita begitu rindunya ingin
bertemu denganNya, ketika semua orang lelap dalam tidurnya? Ataukah
karena alasan lainnya? Setiap posisi itu tentu mempunyai nilai yang
berbeda…
2. Tentang pakaian,
Setelah kita melakukan wudhu’ di waktu malam yang cukup dingin itu,
ketika kita mengambil pakaian untuk melakukan shalat, apakah kita
mengenakan pakaian yang seadanya saja, ataukah pakaian tidur saja.
Ataukah kita mengenakan pakaian yang bagus, yang bersih, dan yang Allah
menyenanginya.
Ketika suatu saat kita shalat tahajud, dan waktu itu pakaian yang
kita kenakan adalah pakaian yang seadanya saja, maka bandingkanlah
dengan ketika kita pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at. Begitu
indah pakaian kita, begitu harum tubuh kita…
Untuk siapa pakaian kita yang bagus dan indah itu? Kalau untuk Allah
Swt, mengapa ketika shalat tahajud sendirian saat tidak ada orang yang
melihatnya, kita justru mengenakan pakaian yang tidak indah? Seorang
yang mencintai sesuatu, tentu ia akan memberikan yang terbaik buat si
Dia…
3. Tentang bacaan dan gerakan,
Demikian juga tentang bacaan dan gerakan shalat yang kita lakukan di
malam hari, ketika semua orang tidak ada yang mengetahuinya. Bagaimana
kondisi kita?
Apakah bacaan kita begitu `mesra’ saat kita bertemu dengan Dzat yang
kita cintai, ataukah bacaan kita terburu-buru agar shalat cepat selesai?
Apakah gerakan shalat kita begitu sempurna layaknya seorang prajurit
yang sedang berada di hadapan komandannya, ataukah gerakan kita semaunya
saja?
Setelah kita mengembara mulai saat bangun pagi, selanjutnya melakukan
perjalanan seharian di luar rumah, dan akhirnya kembali lagi ke rumah
untuk tidur lagi, begitu seringnya kita bertemu dengan Allah Swt dalam
berbagai macam peristiwa. Maka harapan kita tentulah saat ini kita telah
menjadi seorang hamba yang begitu dekat dengan Allah Swt. Kecintaan dan
kerinduan kepada Allah Swt akan tercermin dalam tahajud kita.
Tahajud cinta seorang hamba adalah tahajud kerinduan, bukan tahajud
paksaan. Tahajud cinta seorang hamba adalah tahajud yang mencerminkan
jiwa yang tenang, dan hati yang tentram,..
Itulah saat ending yang paling indah dalam hidup kita selama dua
puluh empat jam setiap hari. Kalaulah ending hidup setiap hari, kita
disuruh Rasul untuk dekat dengan Allah dalam tahajud, maka demikian pula
dengan ending hidup seluruhnya, kitapun harus berupaya untuk dekat
dengan Allah Swt.
Orang yang berhasil dalam hidupnya, adalah mereka yang pada akhir
hayatnya dipanggil oleh Allah Swt, dengan panggilan yang sangat mesra :
“yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah,irji’i ilaa rabbiki raadhiyatam mardhiyyah, fad khulli fii tibaadii wad khulii jannatii..”
Inilah tanda cinta yang sebenar-benarnya cinta…
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama