Malaikat Jibril pernah hadir di tengah-tengah majelis Rasulullah SAW
Ketika itu Jibril mengajukan serangkaian pertanyaan yang mampu dijawab
Rasul dengan baik. Setiap kali Rasul menjawab, Jibril mengatakan,
“Engkau benar!” Hal ini membuat heran para sahabat. Dia yang bertanya,
tapi dia pula yang membenarkan jawaban Rasul. Keheranan ini terjawab
ketika Rasul mengatakan kalau yang datang itu adalah Malaikat Jibril
yang sengaja memberi pelajaran kepada mereka tentang iman, Islam dan
ihsan.
Ihsan adalah beribadah seolah-olah melihat Allah. Bila kita tidak
melihat Allah, maka sesungguhnya Allah melihat kita. Demikian makna
ihsan menurut Rasulullah SAW (HR Muslim). Jadi, ihsan menunjukkan satu
kondisi kejiwaan manusia, berupa penghayatan bahwa dirinya senantiasa
diawasi oleh Allah. Perasaan ini akan melahirkan sikap hati-hati,
waspada dan terkendalinya suasana jiwa.
Iman, Islam, dan ihsan adalah tiga pilar bangunan Islam. Sehingga
ihsan tidak bisa dilepaskan dari rukun iman dan rukun Islam. Ketiganya
saling melengkapi. Kalau diilustrasikan, fondasinya adalah rukun iman,
pilar-pilar dengan keseluruhan bangunan yang ada di atasnya adalah rukun
Islam, dan ihsan sebagai ruhnya. Jadi, ihsan adalah penentu hadir dan
tidaknya ruh seorang Muslim dalam menjalankan aturan Islam. Ketika
seseorang beriman, berislam, namun tidak berihsan, maka saat itu ia
belum sampai pada ruh ajaran Islam. Karena itu sangat penting bagi
setiap Muslim untuk terus melakukan introspeksi diri, apakah sudah
melakukan tajdiidul ihsan atau belum. Jangan sampai karena sibuk mencari
dunia, aktivitas yang kita lakukan kehilangan ruhnya.
Membangun sikap ihsan
Sebentar lagi kita akan kembali memasuki bulan Ramadan. Tema sentral
Ramadan adalah menjalankan ibadah saum. Kita menahan diri dari hal-hal
yang sebenarnya halal dilakukan di luar Ramadan. Bukan hanya menahan
diri dari hal yang haram, tapi dari hal yang halal, seperti makan, minum
dan hubungan seks. Bila demikian saum erat kaitannya dengan ihsan.
Sebab, siapa pun yang tidak memiliki sifat ihsan, mustahil akan bisa
melakukan saum. Tanpa sikap ihsan, seseorang tidak akan memiliki
kemampuan untuk menahan diri dari hal yang dihalalkan maupun diharamkan.
Allah SWT mendesain waktu yang panjang demi berjalannya proses
penerapan rukun Islam. Dalam setahun, rukun Islam–khususnya rukun yang
empat sesudah syahadat–dijalankan sejak bulan Rajab sampai Muharam.
Perintah shalat hadir di bulan Rajab, melalui peristiwa Isra Mi’raj.
Lalu perintah saum terjadi di bulan Ramadan, zakat di akhir Ramadan, dan
haji di bulan Dzulqa’dah. Dari sana lalu masuk bulan Muharam atau tahun
baru Hijriyah. Setelah memasuki tahun baru hijrah, umat yang berhaji
diharapkan bisa kembali dengan membawa semangat hijrah yang membawa
perubahan pada dirinya. Mengapa syahadat tidak memiliki momen khusus?
Syahadat adalah transaksi kehidupan kita dengan Allah yang harus terus
berlangsung selama 12 bulan penuh.
Jadi kita tidak bisa menumbuhkan ihsan hanya pada bulan Ramadan saja.
Ihsan harus dilihat sebagai sebuah proses panjang, dari mulai shalat,
saum, zakat serta haji.
Ihsan dan keimanan
Pertanyaannya, bagaimana cara mempertahankan sikap ihsan ini?
Mempertahankan ihsan tidak jauh beda dengan mempertahankan iman. Dalam
sebuah hadis disabdakan bahwa al-iimanu yazid wa laa yankus. Iman itu
kadang bertambah, kadang berkurang, kadang naik, kadang turun. Kalau
dibuat grafik, naik turunnya iman ada tiga.
Pertama, garis turun dan garis naik berada dalam posisi sama. Naik
+10, turun -10. Keimanan seperti ini memungkinkan seseorang mendapatkan
khusnul khatimah (baik di akhir), bila Allah berkenan mencabut nyawanya
pada saat iman sedang naik +10. Namun bila Allah mencabut nyawanya pada
saat imannya turun (-10), maka ia akan mendapatkan su’ul khatimah (jelek
di akhir).
Kedua, naiknya sedikit, tapi mudah turun secara drastis. Misal, naik
+2, turun -15, dst. Orang yang memiliki keimanan seperti ini,
kemungkinan besar akan meninggal dalam kondisi su’ul khatimah. Ketiga,
naiknya cepat, tapi lambat turunnya dan sedikit. Orang dengan iman
konstruktif seperti ini, ketika ketaatannya naik, ia akan merasakan
betapa lezatnya keimanan. Namun saat ia terjatuh pada kemaksiatan, ia
akan resah dan ingin segera meninggalkan kemaksiatan tersebut.
Menjaga sikap ihsan
Ada tiga cara untuk meningkatkan kualitas iman dan ihsan. Pertama,
tadzwidul ‘ulum atau membekali diri dengan ilmu tentang hakikat
kebenaran dan jalan hidup. Kalau kita ingin memiliki ihsan yang
terpelihara, jadilah orang yang haus ilmu dan terus belajar tentang
kebenaran (agama).
Kedua, kita harus memiliki shahabatus shalihin atau bersahabat dengan
orang shalih. Kita boleh kenal dengan sembarang orang, tapi kita tidak
boleh bersahabat dengan sembarang orang. Rasulullah SAW bersabda bahwa
seseorang akan mengikuti agama dan keyakinan sahabat karibnya. Maka
hendaknya seseorang memerhatikan siapa yang akan dijadikan sahabat
karibnya (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Ketiga, amalkan hadis Nabi bahwa agama itu nasihat (saling
menasihati). Faktor ketiga ini sulit dilakukan sebagian besar masyarakat
kita. sebab, masyarakat kita memiliki tiga penyakit.
[1]. Penyakit ewuh
pekewuh, merasa sungkan, ada beban psikologis saat harus menasehati
orang lain dalam kebaikan.
[2]. Masyarakat kita belum menjadi masyarakat
yang digambarkan Rasul. Kata Rasul, umat Islam itu laksana sisir, di
mana anak sisir selalu sama tinggi dan sama rendah (egaliter).
Masyarakat kita cenderung paternalistik. Orang yang lebih rendah akan
sulit menasehati orang yang lebih tinggi. Padahal kehidupan Rasul dan
para sahabat sangat egaliter.
[3]. Cycle linguistic. Bahasa yang kita
miliki sangat kaya ungkapan kebencian dan miskin ungkapan cinta serta
kasih sayang.
Kalau tiga hal tersebut kita jalankan dengan baik, insya Allah bukan
hanya iman yang bisa dipertahankan, tapi juga ihsan. Bila ihsan tetap
menyala dalam hati seorang Muslim, niscaya ia akan jadi manusia unggul.
Ia tidak hanya berpikir sekadar beramal, tapi akan berpikir bagaimana
amal tersebut bisa optimal. Karena itu, seorang ihsan akan terhindar
dari sifat under achiever, minder, merasa cukup dengan nilai delapan
padahal ia mampu meraih nilai sepuluh.
Hakikatnya, ihsan itu dekat dengan itqan, yaitu selalu rapih, tertib
dan mampu menata hidup dengan baik. Itulah cerminan para muhsinin. (tri )
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama