“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Sukakah salah seorang di antara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah menjadi bangkai? Maka,
tentulah kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” QS Al Hujuraat:12
Menapaki hari demi hari dari bulan Ramadhan yang paling utama di
antara segala bulan ini ternyata kita tidak semata-mata sedang menjalani
suatu kewajiban dari Allah. Akan tetapi pada hakikatnya kita tengah
menapaki nikmat demi nikmat, pahala demi pahala, serta ampunan demi
ampunan dari-Nya.
Rasulullah SAW diutus oleh Allah ke dunia ini bertugas untuk
menyempurnakan akhlak. Beliau ajarkan akhlak mulia pada keluarga,
sahabat, dan umatnya. Terhadap siapa pun beliau menghormati. Beliau
tidak berbicara cepat seperti orang angkuh. Namun beliau juga tidak
berbicara pelan seperti orang yang malas berkata-kata.
Lisan Rasulullah dilimpahi curahan berkah yang melimpah. Beliau
berbicara jelas, tegas, penuh makna dan menghujam ke hati para shahabat
yang mendengarnya. Ucapan beliau sarat dengan hikmah, indah dan
bernilai. Beliau tidak berbicara kecuali perlu. Beliau selalu membuka
dan menutup pembicaraan dengan menyebut nama Allah.
Dengan demikian, maka sangat mustahil bagi Rasulullah SAW untuk
berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain atau menceritakan
keburukan orang lain tanpa sepengetahuan mereka.
Allah berfirman dalam hadits Qudsi, yang artinya : “Aku sebagaimana
prasangka hamba-Ku. Kalau ia berprasangka baik, maka ia akan mendapatkan
kebaikan. Bila ia berprasangka buruk, maka keburukan akan menimpanya”.
Allah SWT menuntun manusia hidup dengan adab kesopanan yang luhur.
Jika mereka berpegang dengan adab tersebut, insya Allah akan tumbuh rasa
cinta dan kebersamaan di antara mereka. Hidup bermasyarakat akan rawan
konflik. Disengaja atau tidak selalu saja akan muncul potensi sakit
hati. Dan Allah telah mengajari kita agar hidup jauh dari prasangka
buruk (su’uzhan), mencari-cari kesalahan orang (tajassus), dan (ghibah)
yaitu membicarakan aib saudaranya, yang jika mereka mendengarnya tentu
akan sakit hati dan membencinya.
Berburuk sangka atau su’uzhan akan membuat hati kita capek dan busuk.
Kita tahu bahwa prasangka-prasangka buruk akan memengaruhi cara
berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan. Selain merusak hati
su’uzhan juga akan melenyapkan kebahagiaan, merusak akhlak dan akan
menodai kedudukan kita di sisi Allah. Jika kita sadar bahwa su’uzhan itu
buruk akibatnya, maka mengapa kita tidak berbaik sangka (husnuzhan)
saja kepada orang lain?
Saat kita mengucapkan salam pada orang lain, kemudian tidak mendapat
jawaban sedikit pun, maka cobalah untuk berbaik sangka. Siapa tahu orang
yang kita salami tidak mendengar suara kita atau mungkin saja ia tengah
konsentrasi berdzikir pada Allah. Biasakanlah kita melatih diri untuk
mencari seribu satu alasan positif agar dapat memaklumi orang lain.
Respons positif kita bisa dijadikan salah satu cara untuk menghindari
kebiasaan ber-su’uzhan.
Orang yang gemar berburuk sangka, maka akan menderita sendiri.
Hidupnya akan sempit, sesempit gelas yang terisi air. Kalau dimasukkan
ke dalamnya sesendok garam saja, maka akan terasa asin seluruh airnya.
Berbeda dengan danau, walaupun dimasukkan sekarung garam, maka airnya
tidak akan menjadi asin, sebab airnya melimpah. Demikian juga hati kita,
jika hati kita sempit sesempit gelas maka sedikit saja masalah akan
membuat hati kita sakit. Dan bila hati sudah sakit maka apa pun yang
terjadi, akan terlihat buruk oleh mata kita. Maka jika kita gemar
berbaik sangka (husnuzhan), insya Allah hidup akan terasa tenang dan
lapang.
Lingkungan juga dapat membentuk akhlak seseorang. Lingkungan
orang-orang beriman dan terpuji akhlaknya, insya Allah akan
menghindarkan diri kita dari berburuk sangka. Ketika ada orang tak
dikenal datang ke rumah kita, jangan langsung su’uzhan. Tapi juga jangan
sampai hilang kewaspadaan, waspada tetap dibutuhkan di samping
kewajiban kita berbaik sangka. Kita kenali yang mendatangi rumah kita,
maka jangan langsung kita su’uzhan terlebih dahulu. Tapi, tidak ada
salahnya kalau kita selalu waspada agar dapat mengendalikan keadaan
dengan tepat.
Belajar untuk mencari seribu satu alasan sebagai jawaban dari
berbagai permasalahan dapat menjadikan kita selalu husnuzhan dengan
tepat. Jangan sampai kita berbaik sangka pada para penjahat. Bisa-bisa,
sebelum kita menyadarinya ternyata kita telah menjadi korban
kejahatannya. Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau kita berbaik
sangka pada maling. Ber-husnuzhan juga ada ilmunya, jangan sampai kita
tertipu karena telah ber-husnuzhan pada orang yang tidak tepat.
Ber-husnuzhan lah pada orang beriman dan akhlaknya mulia. Dan
biasakanlah untuk selalu dapat memaklumi sikap orang lain dan tetap
harus waspada.
Selain menghindari su’uzhan, Allah mengajarkan hamba-Nya melalui
Rasulullah SAW untuk tidak ber-tajassus (mencari-cari aib orang lain)
dan ber-ghibah (menceritakan aib orang lain). Dua hal buruk ini sangat
akrab sekali dalam kehidupan manusia. Kadang malah bisa menjadi
kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.
Ghibah adalah menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia
sukai dan tanpa sepengetahuannya. Ghibah itu dimisalkan dengan memakan
daging bangkai, sebab dengan ber-ghibah berarti kita telah merobek-robek
kehormatan pribadi dan orang lain yang serupa dengan merobek-robek dan
memakan daging yang sudah menjadi bangkai. Lebih dari itu, ayat dari
surat al Hujuraat sebagaimana tersebut di atas, menganggap bahwa daging
yang dimakan itu adalah daging saudara sendiri yang telah mati, sebagai
gambaran betapa kejinya perbuatan seperti itu yang dianggap menjijikan
oleh perasaan orang lain.
Saudaraku, apabila kita terlanjur ber-su’uzhan, tajassus, dan ghibah,
maka wajiblah bagi kita untuk bertaubat dengan taubat yang
sesungguhnya. Ketika perbuatan dosa itu kita lakukan, maka secara
langsung kita harus bertaubat, yaitu dengan cara berhenti dari perbuatan
dosa dan menyesal atas keterlanjurannya serta bertekad kuat untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan yang sudah terlanjur dilakukan itu.
Selain bertaubat, kita harus meminta maaf pada orang yang telah kita
sakiti dengan su’uzhan, tajassus, dan ghibah yang telah kita lakukan.
Jika kita tidak sempat meminta maaf padanya karena ia telah tiada, maka
doakanlah kebaikan bagi diri dan keluarganya. Dengan demikian,
mudah-mudahan Allah mengampuni dosa yang telah kita perbuat dan tentu
saja kita berharap menjadi golongan orang-orang yang bertakwa.
Wallahu
a’lam.
(KH Abdullah Gymnastiar )
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama