Kepada siapakah manusia mesti bertuhan? Semuanya sangat bergantung
pada kecerdasan akalnya. Apakah dia bisa menemukan Tuhan yang paling
Perkasa atau tidak. Apakah dia bisa menemukan Tuhan yang Paling Baik
ataukah tidak. Apakah dia bisa bertemu Tuhan yang Paling Besar di antara
segala eksistensi alam semesta ataukah tidak.
Banyak orang memilih Tuhan yang begitu sepele dan lemah. Misalnya,
berupa kalung azimat. Atau, patung sesembahan. Atau, Dewi Keberuntungan.
Atau, bahkan dirinya sendiri yang dijadikan Tuhan. Kita bisa berdiskusi
panjang untuk menunjukkan betapa lemah dan sepelenya Tuhan-Tuhan yang
mereka pilih itu. Dan sungguh tidak pantas menjadi Tuhan bagi
orang-orang yang memiliki akal dan kecerdasan cukup baik. Apalagi
kecerdasan tinggi.
Seseorang yang memiliki kecerdasan cukup baik, pasti akan memilih
Tuhan yang layak dijadikan tempat bergantung. Bukan Tuhan yang ‘tidak
layak’, yang justru bergantung kepada kita. Tuhan yang ‘memberikan
manfaat’ ketika disembah. Bukan Tuhan yang justru ‘memanfaatkan’ kita,
atau kita yang memberikan manfaat kepada dia. Tuhan yang jauh lebih
Perkasa dari kita, Bukan Tuhan yang kalah perkasa oleh kita. Tuhan yang
mampu memberikan pertolongan ketika kita butuhkan, bukan Tuhan yang
justru membutuhkan pertolongan kita.
Sayangnya banyak manusia tidak melakukan pemikiran seperti itu di
dalam mencari Tuhan yang pantas dia ‘sembah’ dan agung-agungkan.
Entahlah, kenapa banyak manusia lebih suka bertuhan secara
untung-untungan, ikut-ikutan, menduga-duga, dan bahkan asal-asalan.
Jarang yang sengaja melakukan pencarian dengan melewati pemikiran
panjang yang terstruktur dengan baik. Sehingga dia memperoleh kesimpulan
meyakinkan, yang bisa dipertanggung jawabkan.
Saya lebih suka melakukan pendekatan yang terakhir ini, dalam mencari
Tuhan. Saya juga tidak mau sekadar ikut-ikutan dalam bertuhan. Sebab,
semua akibatnya adalah saya sendiri yang menanggungnya. Bahagia maupun
derita. Dunia maupun akhirat.
Kepada siapakah kita sebaiknya bertuhan? Tentu pertanyaan ini sangat
relevan untuk diajukan kepada siapa pun. Termasuk kepada saya dan Anda.
Ya, cobalah Anda pikirkan jawabannya. Menurut Anda, kepada siapakah Anda
ingin bertuhan?
Kepada ‘sesuatu’ yang lemah ataukah yang kuat dan perkasa? Pasti Anda
akan menjawabnya: ya, pastilah kepada yang kuat dan perkasa. Masa iya,
kita mau bertuhan kepada yang lemah?!
Kepada siapakah Anda ingin bertuhan, kepada yang pintar ataukah yang
bodoh? Pastilah juga Anda akan menjawab: tentu saja kepada yang pintar
bahkan sangat pintar!! Tahu segala macam sehingga bisa menjadi tempat
bertanya dan berkonsultasi!
Kepada siapakah juga Anda ingin bertuhan, kepada yang besar ataukah
yang kecil? Tentu pula Anda akan menjawab: saya kira kita semua ingin
bertuhan kepada sesuatu yang besar Jauh lebih besar dari kita. Bahkan
sangat besar, sehingga lebih besar dari apa pun yang pernah kita pahami!
Kepada siapakah Anda ingin bertuhan, kepada yang suka ngasih rezeki
atau yang malah moroti rezeki kita? Sudah juga bisa dipastikan, bahwa
Anda akan bertuhan kepada yang suka ngasih rezeki.
Dan seterusnya. Dan seterusnya. Anda bisa menginventarisasi
spesifikasi Tuhan yang Anda inginkan, beratus-ratus spesifikasi lagi.
Tapi intinya, pasti Anda ingin memiliki Tuhan yang bisa dibanggakan.
Tuhan yang bisa dijadikan tempat bergantung ketika butuh pertolongan.
Tuhan yang bisa ngajari ilmu pengetahuan dan kepahaman tentang segala
sesuatu. Tuhan yang selalu menjaga kesehatan kita dan selalu mencukupi
kebutuhan hidup kita. Ya, Tuhan yang menyayangi dan sekaligus ‘menarik’
untuk kita cintai dan kita sayangi.
Pokoknya Tuhan yang banyak memberikan manfaat dan kebahagiaan kepada
kita! Bukan Tuhan yang menyusahkan kita. Anda setuju??! Sudah pasti
setuju. Karena, saya juga ingin bertuhan kepada Tuhan yang demikian itu.
Bahkan saya juga ingin Tuhan itu begitu dekatnya dengan saya,
sehingga dimana pun dan kapan pun saya memerlukan pertolonganNya, saya
bisa langsung bertemu denganNya. Dan pasti, DIA mengabulkan
permintaan-permintaan kita dengan penuh kasih sayang.
Bukan Tuhan yang begitu jauh dan tak jelas ‘keberadaannya” sehingga
sulit dihubungi. Apalagi, Tuhan yang cuek terhadap kita. Tentu tidak
masuk dalam kriteria Tuhan yang kita inginkan. Dan, sulit untuk menjadi
klangenan kita, alias menjadi yang selalu kita rindukan.
Ya, ringkas kata, tuhan yang pantas dijadikan Tuhan adalah DIA yang
penuh perhatian kepada kita, sebagai hambaNya. Tuhan yang tidak
membutuhkan kita untuk membangun kepentinganNya, tapi justru DIA menjadi
kebutuhan kita, dan selalu memenuhi kepentingan kita. Tuhan yang
‘menguntungkan’ untuk disembah dan dijadikan pusat dari segala orientasi
kehidupan kita!
Wah, adakah eksistensi yang bisa memenuhi spesifikasi yang berat itu?
Benarkah ada ‘Sosok Sempurna’ yang demikian hebat? Itulah yang mesti
kita cari, kalau kita memang membutuhkan Tuhan dalam kehidupan kita.
(Tapi, sebagaimana telah kita bahas di depan, kenyataannya manusia
selalu butuh Tuhan, bukan?!)
Kalau Anda tanya saya, pasti saya katakan dengan sejujurnya bahwa
saya butuh Tuhan! Sebab saya sangat menyadari betapa ternyata saya
memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Sehingga kalau saya hidup di
atas kekuatan saya sendiri sepenuhnya, saya bakal menemui banyak problem
yang tidak terselesaikan.
Saya bakal mengalami stress berkepanjangan, karena saya sangat
menyadari ternyata begitu banyaknya persoalan dalam hidup ini yang
berada di luar kemampuan saya. Meskipun beberapa kawan mengatakan bahwa
saya ini termasuk orang yang tidak bodoh-bodoh banget, punya wawasan dan
skill lumayan, kemampuan manajerial yang cukup, dan sebagainya dan
sebagainya. Tapi, itu kan pandangan orang luar.
Saya sangat tahu diri saya. Bahwa saya seringkali menjadi demikian
bodoh dalam menghadapi banyak persoalan. Apalagi yang berat-berat dan di
luar dugaan.
Saya juga sering mengalami stress, ketika tidak mampu mencapai
sasaran-sasaran pekerjaan saya. Dan tidak jarang, itu menjadi stress
berkepanjangan yang sangat menekan jiwa.
Dulu, saya juga suka khawatir terhadap rezeki. Bukan ketika sedang
lapang. Tapi ketika sedang terjepit. Saya tak jarang, juga risau dengan
kesehatan.
Lebih gelisah lagi, kalau saya ingat usia. Saya sedang antri menuju
kematian. Sementara saya tidak tahu ada apakah di balik kematian itu?!
Saya menjadi sangat ngeri terhadap kematian. Cerita-cerita mistis di
sekitar saya menjadi penambah kegelisahan.
Dan seterusnya. Dan seterusnya. Puluhan, atau mungkin ratusan daftar
kelemahan, kekhawatiran, kegelisahan, dan problem saling silang dalam
kehidupan saya.
Saya butuh ‘Teman’ yang kuat. Yang kalau saya perlukan, IA selalu
siap menolong tanpa pamrih dan memberatkan saya. Saya juga butuh
‘Konsultan’ yang hebat, karena begitu banyak pekerjaan besar yang harus
saya lakukan dan selesaikan dalam hidup ini.
Disamping itu, saya butuh pula ‘Psikiater’ yang handal. Yang ketika
saya menemui masalah, saya bisa curhat sepuas-puasnya. Didengarkan
dengan penuh perhatian dan bisa memberikan solusi yang tepat dan
menentramkan.
Dalam hal rezeki, saya memerlukan ‘Partner Bisnis’ bermodal raksasa.
Karena saya ingin hidup sejahtera. Begitu pula saudara-saudara saya yang
butuh pertolongan bisa datang kapan saja kepada saya karena saya punya
‘backing Eyang demikian dermawan. Apalagi, saya juga ingin membuka
lapangan kerja seluas-luasnya bagi orang-orang yang tidak beruntung,
padahal mereka sebenarnya punya skill dan ingin bekerja keras dalam
hidupnya.
Ya, dan akhirnya saya butuh seorang ‘Sahabat’ yang selalu mendampingi dalam berbagai kondisi, suka dan duka, sedih dan gembira.
Adakah ‘orang’ yang bisa memenuhi segala keinginan itu? Apakah diri
saya sendiri bisa memenuhi segala yang saya sebut di atas? Saya tahu
pasti jawabannya: Tidak! Apakah kawan-kawan dan orang di sekeliling saya
mau memenuhi semua keinginan ‘gila’ tersebut? Pasti malah ditertawakan
oleh orang sedunia!
Kalau begitu, siapakah yang mau menjadi ‘Sahabat’ dari orang yang
egois menang sendiri seperti saya ini? Orang yang maunya cuma menerima
pertolongan atas kepentingannya sendiri. Sementara itu, orang lain yang
menolongnya tidak memperoleh imbalan sedikitpun dari apa yang kita minta
darinya. Jawabnya cuma satu: TUHAN! Lho, Tuhan yang mana? Tuhan yang
Sesungguhnya … !!
Begitulah Al Qur’an ngajari kita. Kalau bertuhan itu mbok ya jangan
kepada hal-hal yang remeh-temeh. Tapi bertuhanlah kepada yang hebat
sekalian. Jangan tanggung-tanggung! Masa iya bertuhan kepada patung,
kepada azimat, kepada sesama manusia, dan kepada segala sesuatu yang
jelas-jelas tidak hebat dan tidak bisa menolong kita.
QS. Ahqaf (46) : 28
Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk
mendekatkan diri, tidak dapat menolong mereka? Bahkan tuhan-tuhan itu
telah lenyap dari mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang
dahulu mereka ada-adakan.
QS. Al A’raaf (7) : 197
Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.”
QS. Al Anbiyaa (21) : 43
Atau adakah, mereka mempunyai tuhan-tuhan yang dapat memelihara
mereka dari (azab) Kami. Tuhan-tuhan itu tidak sanggup menolong diri
Mereka sendiri dan tidak (pula) mereka dilindungi dari (azab) Kami itu?
QS. Maryam (19) : 42
Ingatlah ketika la (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku,
mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan
tidak dapat menolong kamu sedikitpun?
Betapa telaknya Allah berfirman di dalam Al Qur’an terhadap
orang-orang yang bertuhan secara tidak masuk akal. Masa iya, kita
bertuhan kepada sesuatu yang tidak bisa menolong kita. Lha untuk apa
kita bertuhan kepadanya.
Wong, menolong dirinya sendiri pun tidak bisa. Ya nggak usah bertuhan aja lah! Ngrepoti! Buang- buang waktu dan energi!
Apakah yang disebut berhala? Allah menjelaskan dalam ayatNya yang
lain bahwa berhala adalah segala sesuatu selain ‘Tuhan yang
Sesungguhnya’. Jadi tidak selalu berupa patung. Dalam contoh di atas,
kebetulan yang dimaksud berhala adalah patung-patung yang dibuat oleh
orang tua nabi Ibrahim. Hal itu dikemukakan oleh Allah dalam ayat
berikut ini.
QS. An Nisaa (4) : 117
Yang mereka sembah selain DIA itu, tidak lain hanyalah berhala, dan
(dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah
syaitan yang durhaka,
Di era modern ini berhala bisa berarti segala macam selain Tuhan yang
mendominasi hidup dan kehidupan kita. Mulai dari kesombongan terhadap
diri sendiri, harta benda, kekuasaan, sampai kebergantungan kepada
benda-benda supranatural atau pun mistik.
Tapi begitulah memang cara bertuhan orang yang tidak menggunakan
akal. Sekadar ikut-ikutan orang-orang di sekitarnya atau apa yang
dilakukan nenek moyangnya saja.
Al Qur’an mengkritik habis-habisan cara bertuhan yang demikian.
Sebab, akan sangat mudah terjerumus kepada sesuatu yang salah. Allah
telah memberikan akal kepada kita untuk menimbang dan menyeleksi
informasi dari sekitar. Kita akan mempertanggung jawabkan segala
keputusan itu.
QS. Al Baqarah (2) : 170
Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,” mereka menjawab: ETidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami”. “(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”
Sehingga dalam ayat yang lain lagi, Allah mengingatkan dengan nada
‘mengejek tapi menyadarkan’ bahwa berhala-berhala yang mereka jadikan
Tuhan itu sebenarnya tidak berpengaruh apa pun bagi mereka. Sama saja
mereka berdoa kepada berhala itu ataupun tidak, tidak ada dampaknya!
QS. Al A’raaf (7) : 193
Dan jika kamu menyerunya (berhala) untuk memberi Petunjuk kepadamu,
tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja
buat kamu menyeru mereka ataupun kamu berdiam diri.
QS. Ar Ra’d (13) : 14
Hanya bagi Allah lah do’a yang benar Dan berhala-berhala yang mereka
sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka,
melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam
air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai
ke mulutnya. Dan do’a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia
belaka.
Kenapa Mesti Allah?
Lantas, kalau begitu : Siapakah ‘Tuhan Sebenarnya’ yang memenuhi
kriteria tersebut? Marilah kita cari bersama. Tidak sulit untuk
menemukannya, karena dalam sejarah kemanusiaan kita sudah mengenal
berbagai macam Tuhan, dari berbagai bangsa dan berbagai agama.
Islam sendiri tidaklah turun di zaman rasul Muhammad saja. Melainkan
sejak zaman pertama kali ada manusia, Allah telah menamakan agamaNya
sebagai Islam. Dan Pemeluknya disebut sebagai musslimuun alias orang
yang berserah diri. Hal itu bisa kita temukan dalam berbagai ayat Al
Qur’an al Karim.
QS. Al Baqarah : 132
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! sesungguhnya
Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali
dalam memeluk agama Islam”
Ayat di atas telah memberikan gambaran kepada kita bahwa sejak zaman
nabi Ibrahim, beliau telah menyebut agamanya sebagai agama Islam.
Padahal kita tahu, bahwa anak cucu Ibrahim inilah yang menurunkan
agama-agama besar yang sekarang kita kenal, yaitu Yahudi, Kristen dan
Islam. Semua itu sebenarnya hanya berasal dari satu agama saja, yaitu
agama Ibrahim, Islam.
QS. Ali 1mran (3) : 19
Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam, Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab Nya.
QS. Al Hajj (22) : 78
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama
orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi
atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah
sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
Ayat ini juga menegaskan bahwa sejak dulu yang namanya Agama yang
turun dari Allah itu adalah Islam, yang bermakna ‘berserah diri’
kepadaNya. Bahwa kemudian ada yang mengubah nama, itu baru terjadi di
kemudian hari karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan dari
penganutnya. Tapi, ‘berserah diri’ menjadi makna utama dari ‘Islam’
Bahkan, Al Qur’an juga memberikan gambaran bahwa yang disebut ‘Islam’
itu sebenarnya adalah makna universal dari sikap ‘berserah diri’. Bukan
hanya sekadar atribut, simbol, dan lambang-lambang. Bukan hanya untuk
manusia, tetapi semua makhluk berakal. Baik yang di langit maupun di
bumi. Hal itu digambarkan dalam ayat berikut ini.
QS. Ali Imran : 83
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nya-lah berserah diri siapa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan.
Maka, ‘Tuhan yang sebenarnya’ itu sesungguhnya adalah Tuhan yang
satu. Tuhannya siapa saja. Tuhan dari semua makhluk yang berakal. Tidak
ada yang berhak mengklaim bahwa Tuhan yang benar itu adalah Tuhan
golongan atau kelompok tertentu.
Selama kita mengacu kepada sifat-sifat yang benar dari Dzat ketuhanan
itu, maka kita telah mengacu kepada Tuhan yang sama. Apa pun namanya.
Dalam konteks Al Qur’an itulah yang kita sebut sebagai Allah.
Akan lain halnya, ketika kita mengacu kepada substansi dan
sifat-sifat yang berbeda. Tentu saja Tuhan yang kita maksudkan lantas
berbeda pula. Al Qur’an sendiri menegaskan hal itu. Bahwa Tuhan para
penganut Al Kitab sejak dulu kala, sesungguhnya adalah Tuhan yang sama.
Dan kepadaNya sepatutnya setiap kita berserah diri. Sekali lagi, asalkan
substansi sifat-sifatNya layak disebut Tuhan.
QS. Al Ankabut : 46
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan
katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah
satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri”
Ayat di atas mengingatkan kepada kita, bahwa kita dilarang ‘berdebat
kusir’ dengan para penganut kitab lainnya dalam hal ketuhanan. Apalagi
sampai menimbulkan pertengkaran. Yang dianjurkan adalah berdiskusi
secara baik untuk mencari kebenaran. Kecuali dengan orang-orang yang
memang zalim, mau menang sendiri. Percuma, tidak akan menemukan
solusinya. Lebih baik hentikan saja.
Sebenarnya ‘Tuhanku dan Tuhanmu adalah Tuhan yang satu’ kata Al Qur’an. Dan kepadaNya kita semua berserah diri.
Jadi persoalan pokoknya sebenarnya bukan pada nama penyebutannya,
tetapi pada sifat-sifatNya. Meskipun kita menyebut nama Tuhan yang sama,
tetapi sifat yang kita maksudkan berbeda, maka sesungguhnya kita telah
bertuhan kepada Dzat yang berbeda. Sebaliknya, ketika kita menyebut nama
yang berbeda, tetapi mengacu kepada sifat-sifatNya yang sama, maka
sebenarnya kita telah menyembah kepada Tuhan yang sama.
Sayangnya, kebanyakan manusia menyembah Tuhan yang namanya berbeda,
dengan sifat yang berbeda pula. Sehingga, Tuhan yang dimaksudkan pun
menjadi berbeda. Dan, ketika sifat-sifat itu tidak sesuai dengan
kriteria ‘Tuhan Yang Sempurna’, maka Allah mengatakan itu sebagai ‘nama
kosong’ belaka.
QS. Yusuf (12) : 40
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)
nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu
hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui,
QS. An Najm (53) : 23
Itu tidak lain hanyalah nama-nama Yang kamu dan bapak-bapak kamu
mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuknya.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang
diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk
kepada mereka dari Tuhan mereka.
Coba bayangkan, Allah dengah sangat tegas mengatakan, bahwa orang
yang menyembah Tuhan yang karakternya tidak mengarah kepada Allah,
disebutNya sebagai hanya menyembah ‘nama’. Bukan menyembah Dzat!
Allah tidak pernah mempermasalahkan nama-nama. Karena yang lebih
substansial adalah Dzat. ‘Nama’ hanyalah pepesan kosong. Dengan kata
lain, Allah ingin menegaskan bahwa Tuhan di alam semesta ini tidak bisa
tidak ya cuma satu saja. Apa pun namaNya, jika Ia benar-benar Tuhan,
maka pasti akan mengarah kepada Dzat yang Tunggal, yaitu Allah.
Karena itu, meskipun Allah memperkenalkan dirinya di dalam Al Qur’an
ribuan kali tidak kurang dari 2500 kali namun Allah memperbolehkan kita
menyebut Nya dengan nama apa saja yang kita suka, selama sesuai dengan
sifat-sifatNya.
QS. Israa’(17): 110
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar Rahman, Dengan nama yang
mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang
terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua
itu”
Inilah yang diamalkan oleh para sufi sejak lama. Mereka lebih suka
menyebut Allah dengan Huwa (DIA). Sedangkan Nama-NamaNya lebih
menunjukkan Sifat-Sifat, yang seketika mengisi ‘makna’ dalam jiwa sang
sufi ketika menyebut Huwa.
Ayah saya pernah mengajarkan kepada saya, bahwa Allah hadir di setiap
nafas kita. Karena itu, ‘barengilah tarikan dan hembusan nafasmu dengan
kata Huwa’ dalam hati, tanpa bersuara, katanya.
Ketika menarik nafas,’HU’ Ketika menghembuskan nafas,’WA’ ‘ Maka,
keluar masuknya nafas adalah sebuah dzikir yang tiada pernah terputus.
Sementara itu, batinnya langsung mengarah kepada Allah yang SATU, dengan
segala Sifat Ketuhanan yang terdapat dalam Asmaaul Husna. Ada juga yang
menyebut asma ‘Allah Eketika menghembuskan nafas atau menarik nafas.
Hal ini sesuai dengan firman-Nya
Ali Imron : 191.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.
QS. An Nisaa’ (4): 103
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila
kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.”
Dengan tegas Allah swt memerintahkan kita agar selalu berdzikir
(mengingatNya), baik itu di waktu berdiri, duduk, maupun berbaring.
Karena kelak di Yaumul Hisab Allah menghisab setiap manusia dengan
sangat teliti, sehingga hembusan dan tarikan nafaspun dimintai
pertanggungan jawab.
Maka, kita melihat korelasi yang jelas antara Islam sebagai agama
universal yang bermakna ‘berserah diri’ dengan Allah sebagai Tuhan yang
juga universal – Tuhannya seluruh umat manusia. Bahkan Tuhan bagi segala
yang ada di dalam alam semesta.
Coba telaah kembali ayat-ayat di atas. Bahwa Islam adalah agama
universal bagi siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Bagi mereka
yang menggunakan akal dalam beragama. Bukan orang-orang yang sekadar
ikut-ikutan, dikarenakan nenek moyang dan orang-orang di sekitarnya
berlaku demikian.
Sementara itu, Allah sebagai Tuhannya orang-orang Islam juga bersifat
universal. Tuhan yang menyediakan diri menjadi Tuhan umat manusia.
Bukan hanya menjadi Tuhan bagi orang-orang yang berKTP dan beratribut
Islam. Puluhan ayat dalam Al Qur’an bercerita demikian. Di antaranya
adalah berikut ini.
QS. An Nas : 1 -3
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia. Rajanya manusia. Sesembahan manusia.
QS. Al A’raaf (7) : 67
Hud berkata: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam.
QS. Az Zumar (39) : 38
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi? Eniscaya mereka menjawab: “Allah”.
Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru
selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku,
apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau
jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmatNya? Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku “. Kepada Nyalah
bertawakkal orang-orang yang berserah diri.
Begitulah, dengan sangat meyakinkan Allah mengatakan bahwa dirinyalah
satu-satunya Tuhan alam semesta dengan segala isinya. Bukan hanya
karena namaNya, melainkan karena sifat-sifatNya yang Maha Sempurna. Maha
Suci dari segala kekurangan. Satu-satunya Dzat yang pantas disebut
Tuhan…
QS. At Hasyr (S9) 24
Dia lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa,
Yang Mempunyai Nama-nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada Nya apa
yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia lah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama