Demikian pula dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi t bahwa dalam perkara
ini tidak ada ketentuan yang paten sehingga diperkenankan bersutrah
dengan sesuatu yang tebal/lebar ataupun yang tipis. (Al-Majmu’, 3/227)
Shalat Menghadap Wajah Manusia
Al-Mirdawi berkata, “Dibenci seseorang shalat menghadap wajah manusia.”
(Al-Masail Fiqhiyah 1/239). Demikian pula pendapat Malikiyah dan
Syafi’iyah (Al-Majmu’, 3/230-231, Adz-Dzakhirah, 2/157).
Dalam hadits ‘Aisyah x disebutkan:
لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْقِبْلَةِ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ، فَتَكُوْنُ لِي
الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ فَأَنْسَلُّ انْسِلاَلاً .
“Sungguh aku pernah melihat Nabi n shalat dan aku berada di antara
beliau dengan kiblat dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur.
Kemudian aku mempunyai keperluan, sementara aku tidak suka menghadap ke
arah beliau, maka aku pun beringsut pelan-pelan.” (HR. Al-Bukhari no.
511)
Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah x mengetahui bahwa Nabi n membenci bila
seseorang menghadapkan wajahnya kepada beliau sementara beliau sedang
shalat. Kejadian ini terjadi di malam hari dan tidak ada penerangan di
rumah-rumah pada waktu itu sebagaimana dinyatakan secara jelas dalam
haditsnya yang lain. Sehingga dibencinya seorang yang shalat menghadap
wajah manusia bukan semata-mata karena tersibukkannya orang yang shalat
dari shalatnya disebabkan melihat pada orang yang di hadapannya, namun
karena dalam hal ini ada keserupaan dengan peribadatan kepada makhluk.
Maka perkara ini dibenci sebagaimana dibencinya shalat menghadap gambar
yang terpancang. (Al-Mughni, Kitabush Shalat, fashl Ash-Shalatu
Mustaqbilan Wajha Insan ilan Nar, Fathul Bari li Ibni Rajab, Kitabush
Shalah, bab Istiqbalur Rajul Ar-Rajul wa Huwa Yusalli)
Sebagai kesimpulan, sebab dibencinya shalat menghadap wajah manusia ada dua:
Pertama, tersibukkannya hati orang yang shalat dari shalatnya, sebagaimana jika ia melihat pada sesuatu yang melalaikannya.
Kedua, keadaan ini menyerupai sujud atau peribadatan kepada orang yang berada di hadapannya.
Tidak Membiarkan Sesuatu Lewat di Depannya
Nabi n tidak membiarkan sesuatu pun lewat antara dirinya dengan sutrahnya, hingga pernah suatu ketika:
كَانَ مَرَّةً يُصَلِّي، إِذْ جَاءَتْ شَاةٌ تَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ،
فَسَاعَاهَا حَتَّى أَلْزَقَ بَطْنَهُ بِالْحَائِطِ وَمَرَّتْ مِنْ
وَرَائِهِ
“Suatu kali beliau sedang shalat, tiba-tiba datang seekor kambing bersegera hendak lewat di hadapan beliau, maka beliau pun mendahuluinya dengan maju hingga perut beliau menempel ke dinding dan hewan tersebut lewat di belakang beliau.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, Al-Hakim 1/254, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Al-Imam Al-Bukhari”, dan disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih sebagaimana ucapan keduanya.” Lafadz hadits ini dari Ath-Thabarani. Dan tambahan (مَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ ) sanadnya hasan dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/122-123)
Pada kali lain, Rasulullah n:
صَلَّى صَلاَةً مَكْتُوْبَةً فَضَمَّ يَدَهُ. فَلَمَّا صَلَّى، قَالُوْا:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَحَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ
أَنَّ الشَّيْطَانَ أَرَادَ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيَّ، فَخَنَقْتُهُ
حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ لِسَانِهِ عَلَى يَدِي، وَأَيْمُ اللهِ، لَوْلاَ
مَا سَبَقَنِي إِلَيْهِ أَخِي سُلَيْمَانُ، لَأَرْتَبِطُ إِلَى سَارِيَةٍ
مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى يَطِيْفَ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ
الْمَدِيْنَةِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ
فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ
dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan dari Abu Sa’id Al-Khudri z.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/124)
Mencegah Orang yang Hendak Lewat
Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di
depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak, baik manusia maupun hewan.
(Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl Raddu Man Yamurru baina Yadail
Mushalli)
Abu Said Al-Khudri z berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ
أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ،
فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang
menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin
melintas di hadapannya, hendaklah ia menolaknya pada lehernya. Kalau
orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah
(tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Al-Bukhari no.
509 dan Muslim no. 1129)
Ibnul Arabi t menyatakan yang dimaksud dengan muqatalah dari lafadz:
فَلْيُقَاتِلْهُ adalah menolak/mendorong bukan maknanya al-qatl
(membunuh). (Al-Qabas fi Syarhi Muwaththa’ Malik, 1/344).
Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr t berkata, “Kami memandang pernyataan mudafa’ah
ini diinginkan dengannya penekanan untuk betul-betul mendorong orang
yang lewat dan tentunya segala sesuatu ada batasnya.” (Al-Istidzkar
6/163)
Orang yang shalat mencegah orang yang hendak lewat pertama kali dengan
cara yang halus, dengan menggunakan isyarat. Namun bila tetap memaksa
ingin lewat, didorong lebih kuat dibandingkan dorongan sebelumnya.
(Syarhus Sunnah 2/456, Subulus Salam, 1/230)
Bila hal itu sampai mengakibatkan kematian orang yang lewat tersebut
tanpa kesengajaan orang yang shalat itu untuk membunuhnya, maka tidak
ada tanggungan apa-apa dan tidak ada kewajiban yang dibebankan atas
orang yang shalat tersebut2. (Al-Muhalla, 2/130, Al-Majmu’ 3/228, Fathul
Bari, 1/754)
Ulama sepakat ia tidak boleh memerangi/melawan orang yang lewat tersebut
dengan menggunakan senjata. (Al-Istidzkar 6/163, Subulus Salam 1/230,
Nailul Authar, 3/8)
Untuk mencegah orang yang ingin lewat, ia tidak boleh sampai berjalan ke
depannya, tapi ia hanya mencegah dalam batas yang bisa dijangkau oleh
tangannya dari tempat berdirinya. (Fathul Bari, 1/754, Al-Minhaj
4/446,447)
Apabila seseorang telah telanjur lewat di depan orang yang shalat,
apakah dia ditarik kembali ke tempatnya semula? Dalam hal ini didapati
dua pandangan ahlul ilmi. Pendapat jumhur, di antaranya Asy-Sya’bi,
Ats-Tsauri, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, mengatakan, tidak disukai
menariknya kembali ke tempat semula. Adapun ahlul ilmi yang lainnya
memandang untuk mengembalikannya. Dan yang rajih adalah pendapat jumhur,
karena dengan mengembalikannya akan membuat dia lewat dua kali. (Fathul
Bari li Ibni Rajab, bab Yaruddul Mushalli Man Marra baina Yadaihi,
Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl in Marra baina Yadaihi Insaan fa
‘Abara, lam Yustahabba Radduhu, Fathul Bari, 1/754)
Besarnya Dosa Lewat di Hadapan Orang Shalat
Abu Juhaim ibnul Harits z berkata, “Rasulullah n bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ،
لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ
يَدَيْهِ
“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat (dalam jarak yang dekat dengan orang yang shalat, pent.) mengetahui apa yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)
Hadits ini menunjukkan haramnya lewat di hadapan orang yang shalat dalam
jarak yang dekat karena makna hadits ini adalah larangan yang
ditekankan dan ancaman yang keras dari perbuatan demikian. Dengan begitu
melewati orang yang shalat terhitung dosa besar. (Fathul Bari, 1/757)
Al-Imam Ibnu Hazm t menyatakan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang
dibencinya lewat di antara orang shalat dengan sutrahnya dan berdosa
siapa yang melakukan perbuatan tersebut. (Maratibul Ijma’ hal 54 )
Dalam hadits di atas kita dapatkan keterangan bahwa dosa yang disebutkan
dalam hadits di atas diberikan kepada orang yang tahu adanya larangan
lewat di depan orang shalat tapi ia tetap lewat. Dzahir hadits ini juga
menunjukkan bahwa ancaman yang disebutkan khusus bagi orang yang lewat,
bukan orang yang hanya diam berdiri dengan sengaja di depan orang shalat
atau duduk ataupun tidur, akan tetapi bila alasan pelarangan adalah
karena mengganggu/mengacaukan konsentrasi orang yang shalat maka sekadar
diam di depan orang shalat pun bisa masuk ke dalam makna melewati.
Faedah
Adapun tambahan lafadz مِنَ الْإِثْمِ dalam hadits yang didapatkan di
sebagian kitab, di antaranya dalam Ahkam lil Bukhari oleh Al-Muhibb
Ath-Thabari, ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi, dinyatakan
oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab t, “Lafadz ini ghairu mahfuzh (tidak
terjaga/tidak shahih).”
Ibnu ‘Abdil Barr t menyebutkan bahwa tambahan lafadz ini dari riwayat
Ats-Tsauri dari Salim Abun Nadhar, dan telah didapati pada kitab Ibnu
Abi Syaibah riwayat Ats-Tsauri mudrajah (sisipan dari periwayat) dengan
lafadz ini. Dengan demikian, keterangan yang ada menunjukkan lafadz
tersebut mudrajah dari sebagian perkataan perawi dan merupakan tafsir
dari makna (مَاذَا عَلَيْهِ). (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Al-Maarru
baina yadail Mushalli)
Al-Imam Ibnu Shalah t berkata, “Lafadz tersebut tidak disebutkan dalam hadits secara sharih (jelas).” (Fathul Bari, 1/756)
Faedah
Ulama berselisih pandang tentang jarak yang diharamkan dan dibenci untuk
dilewati oleh orang yang ingin lewat bila di hadapan orang yang shalat
tanpa ada sutrah. Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah mengatakan, “Haram
dilewati antara tempat telapak kaki orang yang shalat sampai ke tempat
sujudnya.” Adapun Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat yang
diharamkan adalah sejarak tiga hasta dari telapak kaki orang yang
shalat. (Al-Fatawal Hindiyah 1/128, Bada`i’ush Shana’i 2/83-84 Taudhihul
Ahkam, 2/62)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata, “Pendapat yang paling dekat dengan
kebenaran adalah antara kedua kakinya dan tempat sujudnya, karena
seorang yang shalat tidak berhak mendapatkan tempat lebih dari apa yang
ia butuhkan dalam shalatnya sehingga ia tidak punya hak menahan orang
yang lewat di tempat yang tidak dibutuhkannya. Adapun bila ia meletakkan
sutrah maka tidak boleh dilewati antara dia dan sutrahnya. Namun kami
katakan, “Bila engkau meletakkan sutrah maka jangan engkau berdiri jauh
darinya tapi mendekatlah di mana nantinya sujudmu dekat dengan sutrah
tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/709)
(bersambung, insya Allah)
1 Dishahihkan hadits ini oleh Al-Imam Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 2783
2 Adapun Malikiyah dalam masalah qishash mereka berpandangan tidak
dibebankan kepadanya, akan tetapi dalam masalah diyat mereka terbagi
menjadi dua antara dibebankan dan tidaknya. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh
2/419)
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama