“Sungguh telah ada pada (diri)
Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan Dia banyak
mengingat Allah “
( Al-Ahzab ; 21)
Siapapun yang mengaku dirinya Islam, pasti akan berusaha untuk meneladani cara hidup Rosululloh. Namun masalah yang sering timbul adalah , apakah kita mencontoh nabi Muhammad ;
1. Hanya
pada periode setelah Beliau diangkat sebagai Rosul. Dan fase-fase
akhir kesempurnaan Islam. Fase pelaksanaan syariat Islam secara
sempurna.
2. (
Atau) Kita akan memahaminya secara utuh sebagai anak manusia yang
bergulat untuk mencari jalan kepada Tuhannya. Mulai sejak saat
dilahirkan , kemudian dia menjalani masa kecil yang penuh dengan
dinamika suka duka anak manusia yatim piatu lagi papa. Kemudian juga
bagaimana dia beranjak dewasa di tengah kerasnya kehidupan padang pasir,
dan peradaban masyarakat jahiliyah. Selanjutnya dia menikah, berdagang
layaknya manusia biasa. Hingga sampai mendapatkan pencerahan, dan
kemudian diangkat sebagai Rosul.
Pada masa-masa
awal kerosulannya, Beliau membimbing para sahabatnya dengan meletakkan
pondasi ketauhidan terlebih dahulu, sebagai pondasi pelaksanaan syariat
di kemudian hari. Fase ini berlangsung cukup lama.
Kita tahu bahwa
pengajaran ketauhidan diletakkan terlebih dahulu sebelum syariat.
Kesiapan mentalitas manusianya di ‘gembleng’ benar-benar, sehingga pada
saatnya nanti para sahabat akan mampu melaksanakan syariat dengan
sempurna.
Sekali lagi,
bahwa fase untuk sampai kepada pelaksanaan kesempurnaan syariat Islam
membutuhkan pondasi keimanan yang kuat terlebih dahulu dari para sahabat
itu sendiri.
Nah, bagaimana
dengan kondisi umat sekarang ?. Maka pertanyaan kembali di ulang; Pada
fase manakah kita umat islam mamu mencontoh teladan Rosululloh ? .
Sungguh sangat
naïf, jika umat dipaksa untuk menjalankan syariat secara sempurna tanpa
memiliki pondasi keimanan terlebih dahulu. Palingtidak kedua hal itu
haruslah sejalan. Peletakan pondasi keimanan seiring dengan pelaksanaan
syariat itu sendiri.
Islam dari kubu syariat hanya berorientasi pelaksanaaan syariat sebagaimana contoh Rosululloh saat ketika Islam sudah sempurna.
Islam kubu hakekat
hanya berorientasi kepada bagaimana kontemplasi pencarian hakekat yang
dilakukan Rosululloh pada masa-masa sebelum kenabiannya.
Kedua kubu ini seperti saling berseteru, saling mencemooh.
Maka kajian ini ,
lebih memilih pemahaman kedua , bahwa selayaknya kita memahami secara
utuh , yaitu sebagaimana seorang manusia mengalami pergulatan panjang
untuk mencari jalan kepada Tuhannya. Meletakan pondasi keimanan
sebagaimana perjalanan hidup Rosululloh itu sendiri. Dari kecil hingga
Beliau diangkat sebagai Rosul.
Semua ini harus
kita kaji dan menjadi teladan buta kita umat Islam. Jangan hanya
sepenggal kita melihat diri Nabi hanya setelah Islam di sempurnakan.
Semua harus utuh sebagaiamana perjalanan hidup anak manusia biasa yang
karena ke-luar biasa-an-nya, membuat Beliau diangkat sebagai Rosul, menjadi teladan seluruh umat manusia. Hal inilah yang samar kita lupakan.
Kita telusuri
satu demi satu perjalanan hidup beliau. Bagaimana pencarian beliau. Hal
ini dapat pula menjadi contoh kepada kita umat Muhammad, kita merasakan
betul, bagaimana upaya Beliau, keprihatinan Beliau, dengan situasi dan
kondisi masyarakat saat itu. Memikirkan situasi dan kondisi
masyarakatnya yang menyembah berhala, dan dimana pelbagai penyakit
sosial menghinggapinya.
Dalam
keprihatinan, Beliau mencari kebenaran melalui kontemplasi yang panjang,
berhari-hari, berbulan-bulan, dengan waktu yang tak terbilang. Kadang
menyusuri padang pasir , di teriknya siang, di dinginnya malam,
ditengah hujan dan diantara angin badai yang kadang tak ramah. Di tiap
bulan Romadhan , tak pernah terlewat, untuk melakukan tahanut di goa
Hiro. Di senyapnya malam, diantara kesunyian bintang-bintang di langit.
Dan lengangnya gurun pasir tak bertepi,sejauh pandangan mata. Menanti
jawaban, dalam pergulatan yang tak berhingga, sering meresahkan dirinya,
kadang menyedihkan, kadang menenangkan, kadang, mengecewakan, kadang
membuat nelangsa, dalam helaan nafas memberat, menyaksikan kaumnya dalam
kegelapan. Ini memberatkan Jiwa-nya.
Seiring waktu
berlalu, sejak saat terima wahyu, hingga waktu berikutnya, berhari-hari,
di banyak waktu, proses kontemplasi-pun mulai terjadi dalam diri
menguat dan mengkristal dalam sanubarinya yang dalam. Rosululloh,
mencoba membaca sebagaimana yang diajarkan Jibril padanya. Selama
periode tersebut, telah dimulai babak nyata pengajaran Allah, kepada
rosululloh.
Sebagaimana sumpah Allah “Demi Jiwa dan Penyempurnaannya, “
(As Syamsi ; 7). Allah bersumpah akan menyempurnakan jiwa rosululoh,
bahkan kepada Jiwa manusia seluruhnya yang berserah kepadaNYA untuk
memohon pengajaran kepada-NYA.. Maka ketika sudah saatnya Muhammad
diangkat sebagai Rosul. Dan memberikan khabar atas pengajaran ini kepada
umat manusia, Dunia dan alam semesta bertasbih mengakui kebesaran
proses belajar dan mengajar ini, yang menghasilkan JIWA YANG AMAT
SEMPURNA. Seorang manusia paripurna, yang mampu bersikap, berbuat ,
berucap dan bertingkah laku tidak dengan nafsunya. Berjalan berdasarkan
perintah Tuhannya. Maka sepantasnya pada diri rosululloh terdapat suri
tauladan yang sempurna.
Fase pergulatan anak manusia yang
demikian dahsyat, demikian mengharukan, demikian penuh tantangan. Sangat
sayang sekali jika fase ini dihilangkan dari pemahaman kita. Apakah
fase ini sama dengan MEDITASI yang dikenal kita dewasa ini.
Makna harfiah
meditasi adalah kegiatan mengunyah-unyah atau membolak-balik dalam
pikiran, memikirkan, merenungkan. Arti definisinya, meditasi adalah
kegiatan mental terstruktur, dilakukan selama jangka waktu tertentu,
untuk menganalisis, menarik kesimpulan, dan mengambil langkah-langkah
lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan atau penyelesaian
masalah pribadi, hidup, dan perilaku.
Dalam praktek memang kelihatan
hampir sama , namun sejatinya berbeda dalam hal yang mendasari dan dalam
konsepnya. Maka saya lebih suka menyebut sebagai KONTEMPLASI daripada
Meditasi itu sendiri. Nanti kita akan dapat melihat perbedaan yang
sangat nyata, baik dalam objek berpikir sebagai fokus meditasi, maupun
tata cara dan methodologinya. Yang sama adalah subjeknya, dan aktifitas
otak, berpikir, membolak balik, merenungkan, dan sebagainya.
Fase ini memerlukan
kontemplasi yang runut dan panjang, fase dimana diletakan pondasi dasar
ketauhidan umat. Inilah yang dilupakan system pengajaran Islam.
Dan, inilah titik
balik pemahaman yang sangat ‘krusial’ menrut saya, sebab ketika kita
memasuki Islam melalui jalannya Nabi. Langkah terasa sangat enteng,
sebab kita merasa tidak terlalu di bebani syariat pada awalnya.
Kita memiliki visi dan
misi, tekad yang mem-baja dan akan mencontoh rosululloh secara utuh.
Mulai dari saat kecil hingga setelah utuh sempurna sebagai Nabi. Maka
kita memiliki keyakinan bahwa di hasil akhirnya kita akan mampu
menjalankan syariat, (Rukun Islam).
Jikalau selama dalam
perjalanan spiritual kita masih berat, hanyalah sebuah ‘proses’ saja.
Kita sadar dalam menjalankan proses sehingga syariat tidak menjadi
beban kita lagi. Jika hari ini belum mampu sholat, kita yakin dengan
mengikuti langkah-langkah Nabi, suatu saat kita akan mampu sholat dengan
sempurna.
Dengan menempuh jalan
inilah, antara syariat, hakekat dan makrifat dalam satu perjalanan.
Tidak terkotak-kotak lagi. Memahami Islam secara utuh. Sebagaimana
perjalanan anak manusia.
Mudah-mudahan dengan
penjelasan ini mampu menjelaskan seharusnya akidah (tauhid) terlebih
dahulu ataukah syariat, yang kita pelajari dalam mempelajari Islam.
Manakah yang lebih penting syariat ataukah hakekat yang harus kita
pelajari terlebih dahulu.
Wolohualam
Blogger Comment