Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda, “Tidak seorang pun dimasukkan surga karena
amalannya..” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, “Tidak pula
engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dan saya pun tidak
termasuk, kecuali Rabbku melimpahkan rahmat-Nya kepada-Ku.” (HR..
Muslim).
Syariat, Hakekat, dan makrifat
Menjadi debat bagi para pengusungnya
Seakan ketiga konsepsi ini bersebrangan, terpolarisasi dalam kutubnya masing-masing
Inilah,
untuk memahami dinamika Islam secara utuh, kita dapat mengamati
bagaimana keadaan yang nampak dalam kesadaran kolektif umat Islam.
Setiap kelompok
memahami Islam berdasarkan (keadaan) keyakinan mereka yang secara umum
di bagi dalam 3 pilar utama melalui pemahaman syariat (Islam), hakekat
(Iman), dan Ihsan (makrifat). Melalui pendekatan methodology lengkap
dengan asumsi, hukum-hukum dan praktek-partek yang dapat mendukung
‘kebenaran’ keyakinan mereka.
Ketiga pilar
utama ini, yaitu Rukun Iman, Rukun Islam, dan Ihsan. Telah memberikan
nuansa ke-Islaman yang memiliki corak berbeda di setiap peradabannya.
Sehingga Isalm menjadi banyak sekali warna.
Pertama; Rukun Iman (AKIDAH), inilah jalur hakekat, jalan masuk ini telah dilalui banyak sekali penempuh jalan spiritual, pemahaman syariat, hakekat dan makrifat, ditempuh melalui jalan pembersihan Jiwa. Di jalur ini banyak sekali tarekat-tarekat, sekte-sekte, dengan mujahadah , riyadah, dan formulasi dzikir yang sudah diramu oleh penemunya. Kelompok ini kemudian memperkenalkan diri sebagai TASAWUF. Pelakunya selanjunya di sebut SUFI.
Kedua; Rukun Islam (SYARIAT), inilah jalur syarit, penempuh jalan ini mengedepankan ritual syariat untuk mencapai hakekat dan makrifat. Kita harus mengerti hukum-hukum syariat (fikih), dan menjalankannya dengan kedisplinan yang tinggi. Mulai dari bacaan Al qur’an dengan tata tertib- nya, sholat dengan hukum-hukumnya, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah lainnya, dan lain sebagainya.
Kedua gerbang ,
telah bertahta berabad-abad lamanya. Melahirkan fenomena yang mendunia,
penuh warna-warni. Terjadi debat, menghebat , dimulai dari abad ke dua
Hijrah perang pendapat memasuki ke tataran akidah umat.
Sebagian peneliti berpendapat bahwa orang yang pertama kali mengucapkan kata ‘sufi’ adalah Al-Hasan Al-Bahsri. Pendapat ini di dukung oleh Ath-Thusi dalam kitabnya yang berjudul Al-Luma. Salah satu riwayat mengatakan bahwa orang yang pertama kali di sebut sufi adalah Abu Hasyim Al Kufi, pada tahun 150 H.
Kelompok
ini mengumpul terpolarisasi di sudut satunya dikenal dengan kelompok
tarekat- tarekat sufi ; seperti Nahsyahbandi, Qodariyah, Sadziliyah,
Maulawiyah, dan masih piuluhan lagi lainnya, semua dalam dinamika dan
wahan yang ditawrkan.
Melahirkan
sekterian dalam pemahaman akidah. Masing-masing tarikat memecah menjadi
sekte-sekte dan sekte masih terpecah lagi menjadi sempalan-sempalan yang
lebih kecil. Hingga saat ini, banyak sekali selokan-selokan dari
berbagai aliran.
Perang pertama
dalam ranah teologi terjadi di dalam kelompok ini. Setiap kelompok
merasa methodology mereka paling benar. Pemahaman mereka yang paling pas
menurut Al qur an. Sehingga semua menafikan pemahaman dari yang
lainnya. Maka puncaknya dengan di hukum matinya salah seorang tokohnya.
Hingga saat ini kisah tersebut menjadi debat tak berkesudahan hingga
sekarang ini.
Perang kedua dalam teologi terjadi beberapa abad kemudian, banyak sekali tokoh-tokoh yang ber pengaruh. Melalui tokoh-tokohnya perang pendapat memasuki tataran syariat, maka kemudian kita kenal golongan-golongan, wahabi, salafi, aswaja, dan lain-lainnya.
Awalnya,
kelompok ioni menyerang kelompok pertama para pengusung Tasawuf. Mereka
menghantam dengan segala cara. Menggugat orang-orangyang senantiasa
hanya asyik berada di pojokan masjid, hidup hanya berdoa saja, hidup
hanya bermunajat saja. Mereka dianggap tidak mau memikirkan nasib
bangsa.
Pada awalnya
misi ini mulia. Kaum syariat berusaha mengembalikan ‘ruh’ Islam, kembali
kepada Al qur an dan sunnah. Mereka mendobrak kemapanan para kaum Sufi
yang sebagian besar di ‘kultus’kan. Kaum yang menerima penghormatan
melebihi nabi. Bahkan ada diantara telah dianggap sebagai AVATAR.
Diperlakukan sebagaimana mereka memperlakukan ‘penyembahan’ kepada
Tuhan.
Namun sayangnya,
kejadian yang sama terulang kembali. Sangat ironis dalam kelompok ini
pun mengalami ambivalensi, setelah mereka berhasil menggeser posisi
para Sufi dari pemerintahan. Mereka kemudian berebut pengaruh antara
mereka sendiri. Terjadilah debat tak berkesudahan. Kemudian diantara
mereka saling mengkafirkan dan mem-bid’ah-kan.
Jangan disangka
perang ini hanya sekelas debat saja , jika kemudian kekuasaan menjadi
niat, apalagi jika kemudian umat berkiblat pada salah satu mahzab~
Jadilah perang saudara.
Yah..perang saudara. Sejarah telah mencatat dengan sangat rapi. Saat kita menebas saudara muslim kita dengan raungan.. Allah hu Akbar..!.
Jiwa-jiwa pun lepas dari raga menghadap Tuhannya, sepuluh, seratus,
seribu bahkan beribu-ribu jiwa masih tak cukup, demi mempertahankan
paham mereka. Kemudian kadang kita bertanya, bukankah kita sama-sama
Islam ?. Angkasa hanya diam. Bahkan rumputpun tidak mampu bergoyang.
Ketiga ; Ihsan ; “Konsepsi
Ihsan adalah bagaimana agar KESADARAN kita berada pada melihat Allah
dan atau KESADARAN kita berada pada tahap sedang dilihat Allah”
Pintu masuk yang satu ini. Jarang sekali di sentuh.
Benar-benar masih perawan. Pintu inilah yang bebas dari perdebatan.
Sebab mereka hanya memohon bimbingan langsung dari Tuhannya. Tuhan
adalah Guru bagi mereka. Karenanya pintu ini tidak mengenal kelompok,
mahzab, golongan, dan lain sebagainya. Pintu ini menekankan hubungan
personil antara ‘hamba’ dan Tuhan-nya.
Semua orang
dianggapnya adalah teman seperjalanan dalam munuju Allah. Entah orangitu
dari Islam sendiri atau dari agama-agama lainnya. Bagi mereka semua
adalah makhluk ciptaan Allah. Tidak ada perbedaan antara satu dan yang
lainnya. Allah sendiri yang akan memberikan penilaian. Semua diserahkan
kepada Allah. Mereka tidak berani memberikan penilaian apa-apa kepada
lainnya.
Rasionalitas
alam semesta, peredaran bintang, matahari, silih bergantinya siang dan
malam. Pergiliran musim, hujan dan air yang jatuh berupa hujan,
menumbuhkan benih di bumi..kesadaran terus meroket tak
terkendali…menyapa hukum-hukum Allah dimana saja , di seantero alam
semesta. Menjadi pijakannya. Inilah pengajaran Allah kepada KESADARAN
mereka.
Nabi Ibrahim
bapak para Nabi yang membuka hijab atas pilar yang satu ini. Telah
diceritakan bagaimana upaya nabi Ibrahim mengamati alam semesta, dalam
kontempelasinya setiap waktu, dari malam ke siang, dari siang kemalam,
entah berapa lama, satu hari, bulan , tahun, tidaklah diceritakan.
Muncullah KESADARAN, demi KESADARAN, dari pengamatannya kepada bulan,
kepada matahari, dari malam ke siang. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Ketika muncul kesadaran tersebut pada diri Nabi Ibrahim, maka Allah membimbingnya, Allah menunjukkan kekuasaan-NYA pada KESADARAN (Ibrahim) itu untuk dapat melihat jauh ke lebih dalam lagi dari hanya nampak wujud materi hingga tampaklah wujud hakiki semua benda ~dengan KESADARAN Nabi Ibrahim telah melihat alam semesta secara hakiki. Nabi Ibrahim telah meletakan pondasi ini. Mengamati dan mengkontempelasi dan KESADARANNYA DIBANGUN ATAS RASIONALITAS DALAM TATARAN PEMAHAMAN MANUSIA. Untuk mampu ‘melihat’ Tuhan.
Setelah mampu
‘melihat’ Tuhan. Dan mengenalnya melalaui hukum-hukum alam semesta
(sunatulloh) nabi Ibrahim kemambali ‘membumi’ berjalan sebagaimana
manusia biasa. Mengingatkan kepada kesadaran-kesadaran lainnya.
Mengajarkan bagaimana hakekat ‘mengenal dan ‘menuju’ Tuhan.
Dan hakekat
inilah yang dilalui Rosululloh sepanjang perjalanan hidupnya sebelum
diangkat sebagai nabi. Inilah yang ingin saya katakan. Dalam tulisan
sebelum ini. Memasuki Islam secara utuh, memahami syariat, hakekat, dan
makrifat, melalui pengamatan dan pengumpulan informasi dan refernsi
terlebih dahulu. Kemudian secara paralel berusaha untuk mengerti
hakekat, dan dengan pemahaman ini akan mampu menjalankan syariat dengan
hati ikhlas, puas, tenang dan ridho.
Di wilayah
inilah, kita membebaskan diri dari debat atas syariat, menghindari
perdebatan hakekat. Langsung menuju Dzat Allah sang Kebenaran sejati.
Dengan keyakinan dan kesadarannya memasuki wilayah tauhid. Menerobos
melewati batasan-batasan dalam kesadaran manusia atas syariat, hakekat,
danmakrifat.
Diri sendirilah
yang tahu hunbungan CINTA seperti apa antara dia dengan Tuhannya. Sebab
CINTA adalah privacy. Maka dengan keykinan ini, jiwa mampu melepaskan
diri dari dari penghakiman persepsi manusia.
Dengan pemahaman
inilah, saya mencoba membebaskan diri saya dari ‘dendam’ turunan, debat
tak berkesudahan antara mahzab yang satu dengan yang lainnya.
Perdebatan antara syariat dengan syariat, hakekat dengan hakekat, dan
syariat dengan hakekat. Sebab sebagaimana hadist Rosululloh ;
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidak seorang pun dimasukkan
surga karena amalannya..” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
ditanya, “Tidak pula engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dan
saya pun tidak termasuk, kecuali Rabbku melimpahkan rahmat-Nya
kepada-Ku.” (HR.. Muslim).
Maka meski kita
lelah berdebat, semua itu akan sia-sia. Hanya akan mendapatkan capai dan
nelangsa. Maka carilah rahmat Allah saja. Dengan jalan itu, Insyaallah
kita akan SELAMAT.
Wolohualam
Blogger Comment