1/ Ilmu Ushuludin , yaitu
ilmu-ilmu yang membahas masalah keyakinan. Ilmu ushul fiqh bersumber
dari ilmu ushuludin, karena dalil yang dibahas di dalam ushul fiqh
adalah dalil yang terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah , dan
keduanya diturunkan oleh Allah swt. Kalau tidak ada keyakinan seperti
ini , niscaya ilmu ushul fiqh ini tidak akan pernah muncul ke
permukaan, karena salah satu tujuan ilmu ini adalah meletakkan
kaidah-kaidah di dalam proses pengambilan hukum dari kedua sumber tadi.
2/ Ilmu Bahasa Arab, yaitu
ilmu-ilmu yang membahas tentang Bahasa Arab dengan segala cabangnya.
Ilmu Ushul Fiqh bersumber dari Bahasa Arab, karena ilmu ini
mempelajari teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang
keduanya menggunakan bahasa Arab. Ilmu bahasa Arab ini mempunyai
hubungan yang paling erat dengan ilmu ushul fiqh, karena mayoritas
kajiannya adalah berkisar tentang metodologi penggunaan dalil-dalil
syar’I, baik yang bersifat al-lafdhi ( tekstual ) maupun yang bersifat
al ma’nawi ( substansial ) – sebagaimana yang pernah diterangkan - yang
pada hakekatnya adalah pembahasan tentang bahasa Arab.
3, 4, 5/ Ilmu Al Qur’an , dan
Hadist, serta Fiqh, karena pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini tidak bisa
dilepaskan dari tiga cabang ilmu tersebut.
Perbedaan antara Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu Qawa’d Fiqhiyah
Sebagian orang menyangka bahwa
Ilmu Ushul Fiqh identik dengan Ilmu Qawa’id Fiqhiyah, karena
kedua-duanya membahas tentang kaidah-kaidah di dalam fiqh. Namun
anggapan tersebut tidaklah tepat, karena keduanya mempunyai perbedaan
yang sangat menyolok. Diantara perbedaan itu adalah sebagai berikut :
1/ Ilmu Ushul Fiqh membahas
tentang kaidah-kaidah yang akan dijadikan sandaran di dalam pengambilan
suatu hukum . Sedang Ilmu Qawa’id Fiqhiyah membahas tentang
kaidah-kaidah hukum secara umum yang diambil dari berbagai permasalahan
fiqh yang berserakan., Masalah-masalah fiqh yang mempunyai persamaan
dalam hukum dijadikan satu, sehingga menghasilkan sebuah kaidah.
Walhasil, kaidah-kaidah tersebut mempunyai cabang-cabang yang sangat
banyak.
2/ Ilmu Ushul Fiqh membahas dalil-dalil fiqh secara umum, seperti :
الأصل في الأمر للوجوب ، الأصل في النهي للتحريم
sedang Ilmu Qawa’id Fiqhiyah membahas hukum-hukum fiqh secara umum, seperti :
الأمور بمقاصدها ، المشقة تجلب التيسير ، الضرر يزال ، العادة محكمة .
3/ Yang menjadi obyek Ushul Fiqh adalah dalil dan hukum, sedang obyek Ilmu Qowa’id Fiqhiyah adalah perbuatan mukallaf .
4/ Kaedah yang ada di dalam
Ushul Fiqh berlaku bagi seluruh masalah yang berada di dalamnya, sedang
kaedah yang terdapat Qawaid Fiqhiyah hanya berlaku bagi sebagian besar
masalah yang berada di dalamnya.
5/ Ushul Fiqh berada terlebih dahulu sebelum adanya hukum, sedang Qawa’id Fiqhiyah berada setelah terwujudnya hukum.
HUKUM-HUKUM SYARE’AH
Karena ushul fiqh adalah
sarana untuk untuk menyimpulkan hukum syare’ah dalam suatu masalah, maka
terlebih dahulu kita membahas tentang hukum-hukum syare’ah ;
pengertian hukum, peletak hukum ini, yang menjadi obyek hukum, dan
masalah-masalah yang di dalam hukum ini.
Pengertian Hukum :
Hukum Syar’I adalah :
pesan-pesan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik
yang bersifat tuntutan, atau pilihan atau apa yang djadikan oleh
syara’sebagai tanda atas syah atau tidaknya suatu pebuatan
( Pesan-pesan Allah )
adalah firman-firman Allah
yang ada di dalam Al Qur’an, Termasuk pesan-pesan Allah adalah apa yang
terdapat di dalam hadist, karena hadist adalah pesan Allah kepada
manusia melalui perantara Rosulullah saw dengan redaksi dari
Rosulullah saw .
Adapun Ijma’ , Qiyas dan dalil
–dalil lainnya, masuk dalam pesan Allah juga, walaupun secara tidak
langsung, karena dalil-dalil tersebut bersandar pada pesan Allah yang
ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadist.
(yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf )
Perbuatan mukallaf mencakup : perkataan dan perbuatan serta niat.
Dalil bahwa niat termasuk
dalam katagori perbuatan mukalaf adalah adanya hukum yang membedakan
antara kejahatan yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja,
seperti ; membunuh seorang muslim secara sengaja, hukumannya adalah
qishos. Adapun membunuh seorang muslim secara tidak sengaja, hukumannya
adalah membayar diyat. Makan di siang bulan Romadlan secara sengaja,
adalah perbuatan dosa besar dan puasanya tidak syah. Sedangkan kalau
dia makan secara tidak sengaja, karena lupa atau yang lainnya, maka dia
tidak berdosa dan puasanya syah. Oleh karenanya, di dalam Kaedah Fiqh
disebutkan bahwa : “ Segala sesuatu itu, tergantung pada niatnya.”
Adapun masalah “ keyakinan “
tidak dibahas di dalam hukum di sini. Begitu juga hal-hal yang
berhubungan dengan Dzat Allah , seperti firman Allah :
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ
“Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan
keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). “ ( Qs Ali Imran : 18 ) ([1])
Mukallaf adalah orang yang terkena kewajiban menjalankan syareat. Maka bayi dan orang gila tidak termasuk mukallaf. ([2])
Sebagian ulama melihat bahwa pada dasarnya bayi dan orang gila
termasuk mukallaf , hanya karena adanya halangan, sehingga keduanya
tidak dikenakan kewajiban.
Oleh karenanya, benda-benda
mati, seperti gunung , batu, pohon dan sebagainya, tidak terkena hukum ,
karena tidak masuk dalam katagori mukallaf ([3]) , walaupun ada juga pesan-pesan Allah yang berkaitan dengan benda mati , seperti firman Allah swt :
وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا
“ Dan (ingatlah) akan hari
(yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat
melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak
kami tinggalkan seorangpun dari mereka. “ ( QS Al Kahfi : 57 ) ([4])
Adapun Jin secara umum
termasuk mukallaf juga. Dia mempunyai kewajiban-kewajiban sebagaimana
manusia dan jika melanggar larangan-larangan Allah, niscaya akan
mendapatkan sangsi . Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. “ ( QS Adz Dzariyat : 56 )
Allah swt juga berfirman :
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ
وَالإِنسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ
آيَاتِي وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَاء يَوْمِكُمْ هَـذَا
“ Hai golongan jin dan
manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu
sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan
kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini. “ ( QS Al An’am : 130 ) .
( baik yang bersifat tuntutan )
Tuntutan ini meliputi tuntutan
untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Tuntutan untuk
mengerjakan, jika bersifat tegas disebut kewajiban, jika tidak, maka
disebut anjuran. Tuntutan untuk meninggalkan jika bersifat tegas
disebut haram, jika tidak, maka disebut ; makruh ( sesuatu yang dibenci
) .
( atau yang bersifat pilihan ) yaitu sesuatu yang mubah atau dibolehkan.
Akan tetapi hal-hal yang mubah
atau dibolehkan ini bisa menjadi sebuah kewajiban, atau anjuran atau
sesuatu yang dilarang atau dibenci . Itu semua tergantung kepada niat
dan keadaan. Seperti : makan, yang pada dasarnya hukumnya adalah mubah,
akan tetapi kalau diniatkan untuk memperkuat diri dalam beribadah, maka
hukumnya menjadi wajib atau mustahab, sebaliknya jika diniatkan untuk
memperkuat diri dalam perbuatan jahat, maka hukumnya menjadi haram.
(atau apa yang diletakkan oleh
syara’ - sebagai tanda atas syah atau tidaknya suatu pebuatan - )
Tanda-tanda ini mencakup : Sebab, Syarat dan Halangan.
(
[1] ) Ayat tersebut, walaupun berbicara tentang Dzat Allah, dan
bersifat informasi namun sebenarnya mengandung pesan agar umat manusia
ini ikut bersaksi akan ke-Esaan Allah swt. Akan tetapi isinya
perintah, dan ini berhubungan dengan perbuatan mukalaf, otomatis masuk
dalam pembahasan hukum .
(
[2] ) Dalam beberapa masalah, bayi atau anak kecil dan orang gila
mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan harta atau membayar kerugian
akibat perbuatannya, akan tetapi yang menjadi pelaksana adalah orang
tuanya atau walinya, seperti berkewajiban membayar zakat, jika ia
mempunyai harta sampai nishob dan sudah datang masa pembayaran. Begitu
juga, jika dia merusak barang milik orang lain, maka orang tua atau
walinya berkewajiban untuk menggantikannya.
(
[3] ) Ada beberapa benda yang mukallaf, diantaranya adalah batu yang
membawa lari baju nabi Musa as, ketika beliau sedang mandi . Oleh
karena itu nabi Musa mengejarnya dan memukulinya ( HR Bukhari , no : 278
, dan Muslim no : 754 ) Tentunya ini adalah pengecualian dan hanya
dalam keadaan tertentu saja. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama