Adapun rinciannya sebagai berikut :
“ Ushul” berasal dari kata “ Ashlun “ yang berarti : dasar, pondasi atau akar.
Allah swt berfirman :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء
“ Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. “ (Qs Ibrahim : 24)
Ayat di atas menunjukkan bahwa
pembagian suatu masalah , atau suatu ilmu menjadi : Ashlun ( Dasar )
dan Far’un ( Cabang ) , mempunyai landasan dari Al Qur’an.
Ayat di atas juga menunjukkan
bahwa seseorang yang mempunyai dasar-dasar ilmu yang kuat , atau
menguasai dasar-dasar ilmu, niscaya dia akan bisa menguasai
cabang-cabangnya juga, dan hal tersebut berlaku sebaliknya juga . Ada
sebuah ungkapan :
من حرم الأصول حرم الوصول
« Barang siapa yang tidak bisa menguasai dasar-dasar suatu ilmu, tentunya dia tidak akan bisa menguasai cabang-cabangnya . «
Sedangkan Fiqh berarti pemahaman .
Allah berfirman :
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
« dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku supaya mereka memahami perkataanku « (Qs Toha : 27-28)
Allah juga berfirman :
وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
“ Tetapi kamu sekalian tidak memahami tasbih mereka. “ ( QS. Al Isra’ : 44 )
Allah juga berfirman :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ
النُّجُومَ لِتَهْتَدُواْ بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ
فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ وَهُوَ الَّذِيَ أَنشَأَكُم مِّن
نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ فَمُسْتَقَرٌّ وَمُسْتَوْدَعٌ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَفْقَهُونَ
“ Dan Dialah yang menjadikan
bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan
di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda
kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. Dan Dialah yang
menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan
tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran
Kami kepada orang-orang yang memahami.” ( Qs Al An’am : 97-98 )
Dalam dua ayat di atas Allah
membedakan antara “ Al-Ilmu “ dan “ Al Fiqh“ . Untuk mengetahui
tentang penciptaan manusia, kita harus membutuhkan pemahaman yang ekstra
dan ketekunan yang luar biasa, karena seluk beluk tentang manusia
sangatlah rumit, tidak bisa memahaminya kecuali orang-orang tertentu.
Berbeda dengan pegetahuan tentang bintang-bintang di langit, mayoritas
pelayar dan orang yang sering mengadakan perjalan sering menjadikan
bintang-bintang di atas kangit tersebut, sebagai acuan di dalam
menentukan arah, jadi tidak perlu pemahaman yang mendetail.
Allah swt berfirman :
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا
“ maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat ([1]) ; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu . “ ( QsAl Anbiya’ : 79 )
Di sini Allah juga membedakan
antara “ Al Fahmu “ dengan “ Al Ilmu “. Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
masing-masing diberikan kepadanya ilmu dan hikmah, akan tetapi Nabi
Sulaiman mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh Nabi Daud yaitu Al
Fahmu. Adapun “ Al Fahmu “ di dalam ayat ini adalah pemahaman
tentang hukum yang sangat mendetail, ini sesuai dengan sebab turunnya
ayat seperti yang disebutkan Ibnu Abbas. Al Fahmu di sini juga bisa
berarti Firasat yang benar.
Adapun pengertian Ilmu Fiqh
itu sendiri ( arti Fiqh secara istilah keilmuan ) adalah : “ Ilmu yang
mempelajari ( Pengetahuan tentang ) Hukum-hukum Syare’ah yang terkait
dengan praktek ibadah dengan dalil-dalil yang terperinci . “
Ilmu Fiqh ini bukan ilmu yang
pasti, karena pengetahuan tentang hukum-hukum syare’ah ada yang
bersifat pasti dan ada yang bersifat praduga. Seorang ahli fiqh di dalam
menentukan hukum pada suatu masalah , kemungkinan bisa salah. Oleh
karenanya, sebagian ulama di dalam menyebutkan pengertian Ilmu Fiqh ,
mereka menggunakan kata “ Ma’rifat “ bukan dengan “ Ilmu “ . Adapun
perbedaaan Ma’rifat dengan Ilmu adalah sebagai berikut :
- Ma’rifat mencakup sesuatu yang bersifat pasti dan yang bersifat praduga. Sedang Ilmu bersifat pasti.
- Ma’rifat biasanya digunakan untuk hal-hal yang bisa diraba dan dirasakan , sedang Ilmu biasanya digunakan untuk sesuatu yang bisa dicerna dan dipikirkan.
ya, Allah mempunyai sifat “ ‘Alim “ , bukan “ ‘Arif “ , walaupun kedua- duanya berarti mengetahui , tetapi secara rinci terjadi perbedaan sebagaimana yang diterangkan di atas.
- ( Hukum-hMa’rifat adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tersembunyi baginya, sedangkan Ilmu tidaklah demikian.
Oleh karenanukum Syare’ah )
Ilmu Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum yang diambil dari Syareah Islam, bukan dari akal maupun kebiasaan.
Dari sini hukum terbagi menjadi tiga macam :
- Hukum Syar’I : Hukum yang diambil dari Syareah Islam
- Hukum ‘Aqly : Hukum yang berdasarkan akal , seperti 1+1 = 2
- Hukum ‘Ady : Hukum yang beradasarkan kebiasaan, seperti : kepala akan terasa sakit kalau dipukul dengan palu.
( yang terkait dengan praktek ibadah )
Yang dipelajari di dalam Ilmu
Fiqh adalah hukum yang terkait dengan praktek Ibadah, seperti kewajiban
melakukan sholat 5 waktu. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan
keyakinan, seperti kewajiban beriman kepada Allah swt tidak dibahas di
dalam Ilmu Fiqh.
Bagaimana dengan sebagian
ulama yang memasukkan masalah keyakinan dan aqidah ke dalam katagori
Fiqh ? Jawabannya bahwa hal itu ditinjau dari segi bahasa , oleh
karenanya mereka menyebutnya dengan Fiqh Akbar.
Masalah-masalah Aqidah, Ilmu
Tafsir , Ilmu Hadist , Ilmu Bahasa Arab, kesemuanya termasuk di dalam
Fiqh secara bahasa. Ini sesuai dengan sabda Rosulullah saw :
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“ Barang siapa yang
dikehendaki Allah kebaikan baginya, niscaya Allah akan memberikan
pemahaman baginya tentang agama . “ ( HR Bukhari no 71 , Muslim no :
2354 )
Dan agama mencakup seluruh ilmu-ilmu yang disebut di atas.
Sebagian ulama tidak setuju
dengan pembagian Hukum-hukum Syare’ah menjadi : masalah –masalah yang
mendasar ( Ushul ) dan masalah-masalah yang tidak mendasar ( Furu’ )
. Masalah-masalah yang mendasar adalah beberapa permasalahan yang jika
seorang muslim mengingkarinya, dia menjadi kafir, seperti tidak beriman
kepada nabi Muhammad saw. Sedang masalah yang tidak mendasar adalah
beberapa permasalahan yang jika seorang muslim mengingkarinya , dia
tidak menjadi kafir, seperti kewajiban membaca sholawat dalam tasyahud
akhir. ([2])
Sebenarnya pembagian
Hukum-hukum Syare’ah menjadi Ushul ( masalah –masalah yang mendasar )
dan Furu’ ( yang tidak mendasar ) pada hakekatnya mempunyai
persamaan dengan pembagian sebagian ulama yang menjadi Al I’tiqadiyah
( masalah-masalahyang terkait dengan keyakinan ) dan Al ‘Amaliyah
(yang terkait dengan praktek ibadah) . Masing-masing pembagian tersebut
mempunyai beberapa kelemahan , karena praktek ibadahpun tidak bisa
dipisahkan dengan masalah keyakinan, sebagaimana masalah-masalah ushul
tidak bisa dipisahkan dengan masalah –masalah furu’. Pembagian tersebut
sebenarnya hanya untuk mempermudah pemahaman saja dan hanya dilihat
dari beberapa sisi.
( dengan dalil- dalil yang terperinci )
Artinya bahwa di dalam Ilmu
Fiqh masalah-masalah yang disebut di dalamnya disertai dengan
dalil-dalil yang terperinci dari Al Qur’an , As Sunnah, Ijma’, Qiyas dan
lain-lainnya. Seperti kewajiban berniat ketika hendak berwudlu,
dalilnya adalah firman Allah swt :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
“ apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. “ ( Qs Al Maidah : 6 )
(Apabila kamu hendak )
menunjukkan bahwa niat diwajibkan ketika hendak berwudlu . Hal ini
dikuatkan dengan sabda Rosulullah saw :
إنما الأعمال بالنيات
“ Hanyasanya segala perbuatan itu akan dihitung jika disertai niat. “ (HR Bukhari no : 1, Muslim no : 4844)
(
[1] ) Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak
tanaman di waktu malam. maka yang mempunyai tanaman mengadukan hal ini
kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu
harus diserahkan kepada yang mempunyai tanaman sebagai ganti
tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman a.s. memutuskan supaya
kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang mempunyai tanaman
untuk diambil manfaatnya. Dan orang yang mempunyai kambing diharuskan
mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman
yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mempunyai kambing
itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini
adalah keputusan yang tepat .
(
[2] ) Selama ini kriteria -kriteria atau batasan-batasan masalah ushul
dan furu’ yang ditawarkan para ulama tidak ada yang tepat dan pas.
Karena pada hakekatnya pembagian Ushul dan Furu’ ini hanyalah pembagian
akademis, dan realitanya sulit diterapkan , karena masalah ushul dan
furu’ biasanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama